Postingan

Menampilkan postingan dari 2008

Investor Politik

PEMILIHAN kepala daerah (pilkada) di negara kita benar-benar tidak bisa lepas dari yang namanya uang. Bahkan, perputaran uang yang terjadi sangat besar. Nilai uang yang keluar dari kantong para calon maupun pihak yang ’’mensponsori’’ untuk merebut kursi kekuasaan, kalau ditotal jendral bisa mencapai triliunan rupiah. Mulai sang calon memburu kendaraan pengusung hingga detik-detik menjelang pelaksanaan pilkada digelar. Ditambah biaya penyelenggaraan pilkada yang dikelola oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Para calon yang memilih lewat jalur partai sudah harus keluar duit mulai proses konvensi, rakercabsus, muskit, dan sejenisnya. Apalagi, bila calon itu bukan dari kader partai yang bersangkutan, biasanya kontribusi yang harus dikeluarkan jauh lebih besar. Termasuk untuk ngopeni (memelihara) para pengurus partai di tingkat ranting hingga pusat yang bisa membantu mengegolkan harapan dan kepentingan sang calon dalam menuju kursi kekuasaan. Demikian pula dengan calon yang memilih kendaraan

Derita Akibat Kebijakan

RAKYAT Indonesia terus-menerus dibuat ’’menderita’’ oleh kebijakan pemerintah pusat soal bahan bakar. Pekan lalu misalnya, pemerintah menaikkan lagi harga bahan bakar gas atau elpiji untuk masyarakat kelas menengah atas (pengguna tabung gas isi 12 kg ke atas). Elpiji 12 kg yang semula harganya Rp 63.000 per tabung, kini naik menjadi Rp 69.000. Elpiji 50 kg juga naik dari Rp 343.900 menjadi Rp 362.750 per tabung. Tapi, harga di pasaran bisa melambung melebihi harga di atas. Terkadang di beberapa daerah masih disertai dengan tidak tersedianya stok, hingga membuat konsumen kelimpungan. Kenaikan ini memicu beberapa pemakai tabung gas isi 12 kg beralih ke tabung gas isi 3 kg yang tidak mengalami kenaikan. Sebab, harga elpiji 3 kg disubsidi pemerintah dan diperuntukkan bagi kalangan warga tidak mampu. Karena tidak adanya pengawasan distribusi tabung elpiji 3 kg yang ketat, jatah elpiji untuk masyarakat tak mampu itu pun banyak yang diambil alih masyarakat kelas menengah. Sampai-sampai masyar

Politisi Koruptor

SEMAKIN hari jumlah politisi kita yang terjerat kasus hukum dengan sangkaan korupsi terus bertambah. Terutama setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin getol menunjukkan taringnya dalam memberantas korupsi di negeri ini. Satu persatu pejabat negara ditangkap. Tak ketinggalan para wakil rakyat yang ada di Senayan juga diseret ke kursi panas untuk diadili. Bak bola salju, sangkaan korupsi itu terus menggelinding ke politisi lain, baik yang masih menjabat sebagai wakil rakyat, purna tugas maupun yang sudah menjadi pejabat sekelas menteri atau duta besar. Secara beruntun beberapa kasus korupsi yang melibatkan politisi berhasil dibongkar KPK. Mulai dari kasus Al-Amin Nasution, Bulyan Royan, Yusuf Feisal hingga Hamka Yandhu yang kini diamankan aparat hukum untuk diproses lebih lanjut. Dari beberapa kasus korupsi dengan tersangka beberapa politisi Senayan, yang paling memprihatinkan adalah kasus korupsi penggunaan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI). Selain nilai ua

Rangsangan Hotel

MENGGELAR rapat di hotel, rupanya sudah menjadi ketergantungan bagi anggota DPRD Kabupaten Mojokerto. Bahkan, para wakil rakyat periode 2004–2009 ini boleh dibilang telah menciptakan sejarah baru sebagai legislator yang paling sering menyelesaikan tugas-tugasnya di hotel. Nyatanya, sudah berkali-kali mereka menggelar rapat di hotel. Umumnya di Malang, Batu, Pandaan dan Tretes yang udaranya cukup sejuk dan ’’menyegarkan’’. Meskipun sudah berkali-kali rapat di hotel itu disorot oleh beberapa pihak, tapi mereka sama sekali tak peduli. Bahkan, terus mengulang dan mengulang lagi. Yang terakhir, lembaga penampung dan penyalur aspirasi rakyat itu kembali menggelar rapat di Hotel Regent Malang pada Juli 2008 kemarin. Tidak tanggung-tanggung, tiga panitia khusus (pansus) diboyong untuk menyelesaikan tugasnya di hotel. Masing-masing Pansus KUPA-PPAP (19–20 Juli), Pansus Raperda (29–30 Juli) dan Pansus Panlih Wabup (30–31 Juli). Biaya yang dikeluarkan untuk rapat tiga pansus di hotel Regent itu

Legawa Kalah

PESTA demokrasi pemilihan kepala daerah Kabupaten Jombang dan Provinsi Jawa Timur baru saja berlalu. Meskipun hasilnya belum ditetapkan secara resmi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), tapi pemenangnya sudah bisa ditebak. Untuk Pilbup Jombang, sudah hampir bisa dipastikan pasangan incumbent Suyanto – Widjono tampil sebagai pemenang mengalahkan pasangan Nyono – Halim dan pasangan Soeharto – Mudjib. Sedangkan untuk Pilgub Jatim kemungkinan besar akan terjadi dua putaran. Sebab, tidak ada pasangan cagub yang suaranya mencapai 30 persen. Sesuai aturan, dua pasangan cagub yang memperoleh suara tertinggi berhak maju mengikuti pilgub putaran kedua. Sementara, dua pasangan cagub yang diperkirakan akan bertarung kembali dalam putara kedua adalah Soekarwo – Saifullah Yusuf (KarSa) dan Khofifah – Mudjiono (Kaji). Sedangkan yang tidak lolos adalah, pasangan Sutjipto – Ridwan (SR), pasangan Soenarjo – Ali Maschan (Salam) dan pasangan Achmady – Suhartono (Achsan). Ada yang patut kita syukuri bersama

Polling Pilbup

DUA hari setelah munculnya polling Pasangan Favorit Cabup – Cawabup Jombang Pilihan Pembaca Radar Mojokerto, saya ditelepon seorang teman yang juga anggota KPU Jombang. Kepada saya dia menyampaikan adanya keberatan dari beberapa pihak lewat KPU mengenai polling itu. Sehari kemudian, juga muncul keberatan via SMS di rubrik Kotak Suara Radar Mojokerto. Isinya sama, keberatan dengan adanya polling. Alasannya, polling di Radar Mojokerto itu bisa memengaruhi opini warga. Saya merasa bersyukur bila program yang diluncurkan Radar Mojokerto mendapat perhatian dari khalayak. Apalagi, program ini juga dinilai bisa memengaruhi warga (pembaca) dalam menentukan pilihan dalam Pilbub Jombang 23 Juli mendatang hingga membuat beberapa pihak merasa cemas dan khawatir. Meski, mereka tidak menyampaikan lebih detail korelasi pengaruh polling dengan pilihan warga terhadap cabup – cawabup yang bertarung dalam pesta demokrasi memperebutkan kursi kekuasaan eksekutif. Respon kekhawatiran yang dinilai bisa meme

Abdi Negara

KEBERADAAN Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang semakin proaktif dalam menjalankan tugasnya, ternyata tak menyurutkan para abdi negara menghentikan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Terbukti, tak sedikit abdi negara dari kalangan aparat penegak hukum, birokrat, hingga wakil rakyat yang sudah tertangkap basah KPK karena menerima uang hasil korupsi ataupun suap. Anehnya, masih ada saja abdi negara yang menyusul ditangkap KPK dengan kasus dan modus operandi yang hampir sama. Apakah ini suatu indikasi kalau para abdi negara kita tidak takut alias cuek bebek dengan gerakan proaktif yang dilakukan KPK? Logikanya, setelah beberapa pejabat –apakah itu dari kalangan eksekutif, legislatif maupun yudikatif– tertangkap basah KPK, seharusnya kasus KKN semakin menurun karena abdi negara lebih berhati-hati dalam bertindak. Tapi anehnya, KPK justru terus mendapatkan mangsa baru. Padahal, di luar kasus yang tidak terdeteksi atau tercium KPK, pasti jumlahnya jauh lebih banyak. Sungguh ini

Menggali Potensi Wisata

DI usianya yang genap 90 tahun pada 20 Juni 2008 kemarin, Kota Mojokerto di bawah kepemimpinan Abdul Gani Suhartono bertekad akan terus berbenah diri. Salah satu potensi yang sedang digali adalah mengembangkan pariwisata. Sedang program yang terkait dengan kinerja aparat pemerintah adalah meningkatkan pelayanan publik. Hal ini sejalan dengan tema hari jadi ke-90, yaitu meningkatkan kebersamaan dan pelayanan publik untuk kesejahteraan masyarakat. Ada beberapa tempat wisata yang sudah dibangun oleh pemkot, diantaranya tempat bermain anak-anak di alun-alun, pusat jajan dan olah raga di Jogging Track Mojokerto (JTM) di tepi sungai Brantas, hutan kota di Jl Raya Ijen dekat stadion dan kawasan olah raga sekaligus wisata keluarga di Jl Benteng Pancasila. Tempat lain yang dibangun dan dipersiapkan untuk obyek wisata adalah pembangunan kolam renang di Magersari dan rencana membangun wisata air di Kedungsari. Apa yang sudah ataupun sedang dalam persiapan pengembangan potensi wisata yang dilakuk

Syahwat Kekuasaan

MUSIM pemilihan kepala daerah (pilkada) seperti sekarang, banyak pihak yang ingin memanfaatkan moment ’’bersejarah’’ ini. Apakah itu dari kalangan partai politik yang memang sudah menjadi bidang garapannya, atau orang-orang yang memiliki libido tinggi terhadap kekuasaan. Juga para broker yang sudah gatal ingin tampil menjadi penghubung, pendukung, pengabdi ataupun tim sukses. Termasuk yang hanya sekedar menjadi penggembira dengan harapan dapat cipratan uang recehan. Semuanya sibuk mencari sasaran untuk mengegolkan keinginan dan kepentingannya. Di antara pihak yang paling bernafsu ingin mewarnai pesta demokrasi pilkada ini adalah parpol dan orang-orang yang memiliki syahwat kekuasaan tinggi. Sesuai dengan tujuannya, parpol harus bisa mengegolkan orang-orangnya untuk merebut kursi kekuasaan di eksekutif maupun legislatif. Dengan begitu, parpol akan bisa mewarnai arah dan kebijakan pembangunan daerah atau negara. Jadi sangatlah wajar manakala parpol harus mencari figur yang pas untuk dius

Selamat Datang Bupati Baru

KABUPATEN Jombang dan Mojokerto kini memiliki bupati baru. Ali Fikri yang sebelumnya menjadi wakil bupati Jombang, sejak beberapa minggu lalu telah naik status sebagai plt bupati. Sebab, Bupati Suyanto yang kini macung kembali untuk merebut jabatan bupati periode kedua, sesuai aturan harus mengundurkan diri. Ali Fikri bakal menikmati jabatan bupati sekitar lima bulan, sesuai dengan berakhirnya masa jabatan pemerintahan Suyanto-Ali Fikri hasil Pilkada Jombang 2003. Secara berkelakar Ali Fikri pernah menyatakan kepada wartawan, kalau statusnya kali ini tidak hanya sebagai bupati, tapi juga sebagai ’’penguasa tunggal’’ Jombang. Sebab, tidak hanya Bupati Suyanto yang telah mengundurkan diri, dua pejabat yang memiliki peran strategis dalam menggerakkan roda pemerintahan Jombang juga harus meletakkan jabatannya. Mereka adalah Ketua DPRD Halim Iskandar dan Sekretaris Daerah Widjono Soeparno. Kedua pejabat itu juga macung berebut jabatan wakil bupati dalam Pilkada Jombang yang bakal dihelat b

BLT

Oleh: Choliq Baya BANTUAN tunai langsung (BLT) dari pemerintah kepada keluarga miskin (gakin) atau rumah tangga miskin (RTM) sebagai kompensasi kenaikan bahan bakar minyak (BBM) kembali diberikan. Meskipun program serupa pernah diluncurkan pada tahun 2005 dan pembagiannya sempat kacau dan memakan korban, karena yang tua-tua banyak tergencet hingga pingsan bahkan tewas, ternyata pemerintah pusat tetap nekat. Mereka menilai, program bagi-bagi uang tunai sebesar Rp 100.000 per bulan ini dianggap sebagai win-win solution. Tahun ini, dana yang dianggarkan pemerintah pusat untuk program BLT mencapai Rp 14 triliun. Anggaran sebesar itu akan dibagi-bagikan kepada 19,1 juta RTM di Indonesia melalui Kantor Pos. Pada tahap awal ini, masing-masing RTM akan menerima rapelan tiga bulan di muka, yakni Rp 300 ribu. Tahap kedua dibagikan Rp 400 ribu untuk empat bulan sisanya. Rencananya, tahun depan, program BLT ini masih akan terus dilanjutkan. Anehnya, ada pemerintah daerah yang menolak. Ini menunjuk

Demokrasi Uang

PENDAFTARAN calon kepala daerah dan wakil kepala daerah Provinsi Jatim maupun Kabupaten Jombang saat ini sedang berlangsung (1-5 Mei 2008). Meski baru memasuki tahap awal jadwal proses pilkada yang dirancang secara resmi oleh KPU, tapi sudah hampir bisa dipastikan para kandidat yang akan macung, sebagian besar sudah menghabiskan banyak duit. Bahkan, nilai uang yang dikeluarkan sudah ada yang mencapai puluhan miliar. Padahal, mereka belum memasuki arena kampanye resmi yang biasanya membutuhkan banyak anggaran. ‘’Amunisi’’ para calon yang keluar sebelum tahapan resmi pilkada dimulai, umumnya banyak terserap saat proses sosialisasi dan untuk mendapatkan surat rekomendasi dari partai. Sosialisasi atau pengenalan ke masyarakat atau internal pengurus dan anggota partai, biasa dilakukan sebelum dan sesudah surat rekomendasi dari partai turun. Biasanya, calon harus membiayai agenda sosialisasi yang isinya pengenalan, pemaparan visi dan misi. Tak jarang, ada partai yang memanfaatkan untuk meng

Gosip Jalanan

Mau tau gak mafia di Senayan Kerjanya tukang buat peraturan Bikin UUD ujung-ujungnya duit UNTAIAN kalimat di atas merupakan penggalan dari syair lagu Gosip Jalanan yang biasa dinyanyikan grup band Slank. Lagu yang pernah dinyanyikan Slank saat kampanye antikorupsi di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini, awal pekan kemarin dipermasalahkan oleh beberapa anggota DPR. Bahkan, beberapa wakil rakyat dari komisi IV meminta Badan Kehormatan (BK) DPR supaya menggugat personel Slank ke pengadilan. Sebab, lagu itu dianggap telah melecehkan sekaligus merendahkan martabat dan eksistensi mereka. Wakil rakyat yang terhormat itu tidak terima bila tugas dan wewenang yang dilakukan selama ini seringkali disoroti dan dikait-kaitkan dengan duit, terutama dalam menggodok undang-undang. Artinya, kelancaran pembahasan peraturan atau undang-undang yang akan digolkan ataupun disahkan tak bisa lepas dari duit. Dengan kata lain, ada money (uang) apa yang dipesan bisa jadi honey (madu). Ada arta, pesan

Program Kemiskinan

WARGA kelas bawah maupun kelas menengah ke atas, sudah sejak beberapa minggu ini dicekam kepanikan. Pasalnya, sumber energi utama untuk kompor di dapur supaya bisa ngebul, yaitu minyak tanah (mitan) atau elpiji, tiba-tiba menjadi langka di pasaran. Akibatnya, banyak ibu-ibu rumah tangga yang panik karena tidak bisa menyiapkan masakan untuk keluarganya. Sementara bila menggunakan energi listrik untuk memasak, diperlukan peralatan khusus yang harganya kebanyakan hanya bisa dijangkau warga masyarakat kelas menengah ke atas. Di samping itu, biaya yang dikeluarkan jauh lebih mahal dari pada memakai mitan atau elpiji. Demi asap dapur agar tetap bisa ngebul, warga harus rela antri berjam-jam di pangkalan minyak tanah. Itupun, kalau barangnya ada. Terkadang, untuk menunggu pasokan mitan dari Pertamina, selaku penguasa tunggal monopoli BBM di negeri ini, jerigen kosong milik warga harus sudah antri sampai berhari-hari. Begitu pasokan datang, hanya dalam beberapa jam mitan sudah langsung ludes.

Nilai Kepatutan

RAPAT di hotel sepertinya menjadi kebiasaan yang mengasyikkan bagi anggota dewan. Sudah beberapa kali anggota dewan kita, khususnya dari Kabupaten dan Kota Mojokerto menggelar rapat di hotel. Hotel yang dipilih pun kebanyakan berada di kawasan yang bernuansa sejuk seperti di Batu, Malang, Trawas dan Pandaan. Mereka rupanya ingin meneruskan ’’tradisi’’ lama yang sekarang sudah mulai ’’membudaya’’ atau mulai menjadi ’’tren’’. Sebab, tahun 2007 lalu, para wakil rakyat itu sudah beberapa kali menikmati nyamannya rapat di hotel. Selain sejuk dan banyak ’’pemandangan’’, mereka juga akan mendapatkan tambahan uang saku. Tahun lalu, lewat rubrik ini, saya sudah mengkritisi ’’tradisi’’ yang tidak populis dan cenderung melukai perasaan rakyat. Khususnya rakyat yang sedang terhimpit ekonomi karena semakin mahalnya harga kebutuhan pokok. Ditambah lagi, perjuangan tak kenal lelah untuk antre mendapatkan minyak tanah ataupun elpiji. Namun, problematika dan jeritan rakyat kecil itu seolah hanya dian

Gizi Buruk

MARAKNYA kasus gizi buruk yang menimpa balita dan anak-anak, sungguh sangat memprihatinkan. Apalagi, beberapa kasus yang muncul tidak hanya membawa anak-anak yang kekurangan gizi itu masuk ke rumah sakit, tapi juga membawanya masuk ke liang kubur. Ya, mereka meregang nyawa. Bahkan, ada kasus yang sangat tragis, tidak hanya si anak yang meninggal, tapi sang ibu juga ikut mati secara mengenaskan karena kelaparan. Bukan karena makanan di negeri kita tidak ada, melainkan karena keluarga itu tak mampu membeli makanan karena tak memiliki cukup uang. Kejadian tragis itu menimpa Ny Basse, seorang ibu yang sedang hamil tujuh bulan dan anaknya Bahir, 5 tahun, warga Jl Daeng Tata, Talamate, Makasar, Sulawesi Selatan. Istri tukang becak itu meninggal setelah tiga hari tidak makan, karena di rumah memang tidak ada yang bisa dimakan. Sedangkan Bahir, menyusul ke alam baka lima menit setelah ibu bersama janin yang dikandungnya menghembuskan nafas terakhir. Beruntung, tiga saudara Bahir, masing-masing