Wartawan Abal-Abal
Oleh: A. Choliq Baya
CITRA wartawan di mata masyarakat akhir-akhir ini terus memburuk. Hal ini tidak
lepas dari ulah tidak terpuji, bahkan melanggar hukum yang dilakukan oleh
beberapa oknum wartawan atau oknum yang mengaku sebagai wartawan. Sebab, dalam
menjalankan tugas, mereka telah mengabaikan kode etik jurnalistik (KEJ) yang
seharusnya dijunjung tinggi. Anehnya, mereka banyak yang mengabaikan atau
mungkin tidak tahu dan tidak mengerti dengan KEJ karena memang tidak pernah
mendapatkan arahan ataupun pendidikan dari perusahaan tempatnya bekerja.
Terlebih lagi bagi mereka yang mengaku sebagai wartawan dan sama sekali tak
memiliki kemampuan menjalankan tugas jurnalistik, pasti tidak tahu KEJ apalagi
sampai menjalankan dan mematuhi ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya.
Ketidakpahaman terhadap KEJ inilah yang membuat wartawan beneran maupun
wartawan gadungan merusak citra wartawan. Sebab, dalam menjalankan tugas di
lapangan, mereka seringkali melakukan intimidasi, penipuan, pemerasan, bahkan
perampasan.
Tindakan mereka hampir tak ada bedanya dengan preman. Hanya saja, preman
yang membungkus jati dirinya dengan baju wartawan. Para wartawan preman ini
lebih dikenal dengan sebutan wartawan abal-abal. Ada juga yang menyebut
wartawan bodrex karena kemana-mana
selalu berkelompok, atau wartawan tanpa surat kabar (WTS). Mereka hanya
bermodal kartu pers yang dikeluarkan oleh medianya atau dari hasil memalsu.
Kualifikasi medianya banyak yang tidak jelas. Ada yang medianya hanya tinggal papan
nama alias sudah bubar, ada yang terbit tak jelas waktunya, terbit kalau ada
pesanan atau ketika ada even-even tertentu, dan lain sebagainya.
Apalagi, untuk membuat kartu pers yang dikeluarkan oleh institusi media
saat ini sangat mudah. Cukup dengan menyediakan uang tak sampai Rp 10 ribu,
sudah bisa mencetak kartu pers yang fisiknya mirip seperti kartu ATM di
beberapa tempat jasa usaha digital printing.
Bahkan, untuk memalsu kartu pers yang dikeluarkan oleh perusahaan-perusahaan
media terkenal pun juga sangat mudah. Ini yang membuat wartawan abal-abal
tumbuh subur.
Padahal, di luar itu, biasanya wartawan profesional juga ikut organisasi
profesi yang ditandai dengan adanya kartu anggota atau kartu pers. Diantaranya
yang paling eksis adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi
Jurnalistik Indonesia (AJI). Di organisasi profesi itu juga ada rambu-rambu
yang harus dipatuhi oleh wartawan. Termasuk, para wartawannya dibekali dengan
berbagai pendidikan yang bisa meningkatkan wawasan dan ketrampilan jurnalistik
agar mereka tidak ‘’melacur’’ atau menjadi wartawan abal-abal.
Selain itu, kualifikasi pendidikan dan kemampuan melakukan tugas
jurnalistik para wartawan abal-abal itu banyak yang tidak memadai. Mereka
umumnya tidak bisa menulis berita. Kalaupun bisa, pasti susunan tata bahasanya
amburadul. Bahkan, banyak ditemukan wartawan yang hanya lulusan sekolah dasar
(SD), termasuk juga ada yang tidak lulus SD. Bagaimana mereka bisa memahami
fenomena atau permasalahan yang demikian kompleks kalau kualifikasi
pendidikannya rendah. Sementara yang lulusan sarjana saja terkadang masih
banyak melakukan kesalahan interpretasi akibat rendahnya pemahaman terhadap
obyek berita yang ditulis.
Yang lebih memprihatinkan lagi, ketika Dewan Pers melakukan kunjungan ke
Sumatera, menemukan ada tujuh orang wanita tuna susila (WTS) memiliki kartu pers.
Ada pula tukang becak dan sopir truk yang juga punya kartu pers. Padahal,
menurut ketua komisi hukum dan perundangan
Dewan Pers Wina Armada Sukardi, mereka yang memiliki kartu pers belum tentu wartawan. Sebab, seorang wartawan harus melaksanakan
tugas jurnalistik minimal enam bulan berturut-turut dan tergabung dalam
perusahaan pers. Kalau tidak pernah menulis berita, berarti bukan wartawan. (Radar Banyuwangi,
13 Oktober 2011).
Sementara itu, para wartawan abal-abal yang berkeliaran saat ini hanya
mengandalkan kartu pers dan ‘’jurus pendekar mabuk’’. Yakni, mencari obyek-obyek
bermasalah sebagai sasaran tembak. Bahkan, obyek yang tidak bermasalahpun akan
dicari-cari kesalahannya, pelaksana atau pengelolanya ditakut-takuti,
diintimidasi, bahkan diperas. Umumnya mereka ‘’bergentayangan’’ tidak sendirian
tapi secara berkelompok.
Tak hanya itu, para wartawan abal-abal juga seringkali mencatut nama
wartawan dari media terkenal untuk melancarkan aksi tipu dayanya. Hal itu
biasanya dilakukan melalui telepon atau SMS kepada para pejabat, pengusaha atau
tokoh masyarakat. Misalnya minta sumbangan untuk kegiatan sosial, bantuan biaya
pengobatan untuk teman atau keluarganya yang sakit, transportasi, dan berbagai
alasan lainnya.
Aksi penipuan, intimidasi dan pemerasan yang dilakukan wartawan abal-abal
ini sudah sangat meresahkan masyarakat. Meski beberapa dari mereka sudah ada
yang ditangkap dan dijebloskan ke penjara karena terbukti melanggar hukum,
ternyata masih banyak yang berkeliaran melancarkan aksinya. Karena itu,
masyarakat harus ikut mencegah dan berani melawan wartawan abal-abal. Kalau
perlu dijebak bila mereka memeras minta kompensasi uang dengan melapor ke
polisi.
Adanya langkah kebersamaan dari beberapa elemen
masyarakat yang membentuk posko pengaduan korban wartawan abal-abal seperti di
Situbondo, merupakan bentuk partisipasi positif untuk mengembalikan citra
profesi wartawan. Termasuk, deklarasi menentang wartawan abal-abal seperti yang
dilakukan PWI Solo. Jika tidak, dunia
wartawan sampai kapanpun tidak akan memiliki imej bagus di masyarakat. Padahal,
mereka yang benar-benar wartawan sangat membantu dalam memajukan daerah.
Sementara itu, Dewan Pers juga telah melakukan beberapa langkah konkret
untuk menanggulangi sepak terjang wartawan abal-abal. Diantaranya melakukan
ratifikasi atau tindakan mengikatkan diri dari perusahaan pers secara sukarela
agar menerima dan memasukkan peraturan Dewan Pers. Peraturan itu meliputi Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Standar Perusahaan Pers (SPP), Standar
Perindungan Wartawan (SPW) dan Standar Kompetensi Wartawan (SKW) sebagai bagian dari peraturan perusahaan
persnya.
Untuk SKW misalnya, peraturan teknisnya sudah diberlakukan sejak 2 Pebruari
2011. Isinya mengenai rumusan kemampuan
kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan/keahlian dan sikap kerja yang
relevan dengan pelaksanaan tugas kewartawanan. Jadi, setiap wartawan harus memiliki sertifikat
kompetensi yang berlaku sepanjang pemegangnya menjalankan kegiatan jurnalistik.
Tujuan diberlakukannya SKW ini antara lain untuk meningkatkan
kualitas dan profesionalitas wartawan, menghindarkan penyalahgunaan profesi
wartawan, menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik. Selain itu, juga untuk menjaga
harkat dan martabat kewartawanan sebagai profesi khusus penghasil karya
intelektual, menempatkan wartawan pada kedudukan strategis dalam industri pers serta untuk acuan
sistem evaluasi kinerja wartawan oleh perusahaan pers.
Semoga berbagai upaya yang telah dirintis oleh elemen masyarakat,
organisasi profesi wartawan, perusahaan pers maupun Dewan Pers bisa mempersempit
ruang gerak wartawan abal-abal. Selanjutnya, bisa mengembalikan citra wartawan
yang sebenarnya. (cho@jawapos.co.id)
Komentar
Salam,
http://pencangkul.blogspot.com