Prostitusi Kota Santri
Oleh: A. Choliq Baya
PRAKTIK prostitusi kian
marak di Situbondo. Terutama di wilayah bagian barat, tepatnya di Kecamatan
Banyuglugur dan Besuki. Selain populasi pekerja seks komersial (PSK) jumlahnya
bertambah besar, mereka juga kian terang-terangan dalam melakukan praktik
kotor. Ironisnya lagi, tempat baru yang menyediakan jasa esek-esek juga tumbuh
subur bak cendawan di musim hujan. Bahkan, bisnis lendir itu juga mulai
merembet ke beberapa tempat lain seperti yang muncul di Desa Blimbing, Besuki.
Khusus di wilayah Situbondo bagian barat, setidaknya ada
empat lokasi yang dijadikan tempat praktik mesum secara terang-terangan.
Masing-masing di bekas lokalisasi Nyiuran, Rajawali, Timbangan dan sekitar
Demung. Bahkan, untuk menarik para lelaki hidung belang, di tempat mesum Rajawali
dan Nyiuran juga dilengkapi dengan fasilitas televisi LCD berukuran besar untuk
karaoke. Kenyataan ini sangat ironis dengan adanya peraturan daerah (perda) No.
27/2004 tentang larangan pelacuran.
Seharusnya, sejak tujuh tahun lalu setelah perda anti
pelacuran diberlakukan, tidak lagi ada praktik pelacuran di kota santri. Tapi
faktanya, aparat pemerintah seolah tidak berdaya dalam menindak praktik
pelacuran. Yang jadi pertanyaan, sudah seriuskah aparatur Pemkab Situbondo
dalam menegakkan perda anti pelacuran? Atau mereka memang tidak punya nyali
untuk bertindak? Atau memang mereka menegakkan peraturan ala kadarnya saja?
Atau ada sesuatu yang disembunyikan sehingga aparat pemerintah tidak bisa
bersikap tegas?
Karena kurang adanya keseriusan dan ketegasan dalam
menegakkan perda anti pelacuran, praktik bisnis lendir inipun akhirnya semakin
marak. Selain tetap eksis di bekas lokalisasi, bisnis esek-esek juga makin
menjamur di beberapa warung remang-remang. Jumlah PSK maupun warungnya juga
kian banyak. Berdasarkan data yang dihimpun LSM Awas, jumlah warung penyedia
layanan esek-esek kini mencapai 117 buah. Meningkat cukup drastis dari tahun
sebelumnya yang hanya ada 60 warung.
Secara otomatis, jumlah PSK yang dikaryakan juga semakin
banyak. Bahkan, sebagian PSK tidak hanya beroperasi di wisma dan warung
remang-remang tapi ada juga yang menjajakan tubuhnya di pinggir sungai dan dan
pinggir jalan. Tentu saja, kondisi ini sangat memprihatinkan banyak pihak.
Bahkan, kalau terus dibiarkan bisa mencoreng nama Situbondo yang dikenal dengan
sebutan kota santri berubah menjadi kota pelacur.
Karena sudah demikian mengkhawatirkan, sangatlah wajar
kalau beberapa ulama dengan didukung beberapa LSM dan elemen masyarakat,
akhirnya ‘’turun gunung’’. Mereka mendatangi kantor DPRD dan Pemkab Situbondo
mempertanyakan komitmen dan keseriusan para pejabat di dua lembaga itu dalam
memberantas pelacuran. Akan menjadi percuma dan sia-sia manakala eksekutif dan
legislatif sudah tidak komit lagi dengan perda yang telah dibuatnya. Hal ini
juga bisa menurunkan kewibawaan mereka di mata rakyatnya.
Apalagi bila para ulama dari pondok-pondok besar beserta
para santrinya nanti sampai turun jalan menegakkan perda anti pelacuran dengan
caranya sendiri. Tentu, semakin menunjukkan kalau aparat pemerintah tidak
memiliki kemampuan dalam menangani praktik pelacuran yang semakin marak.
Padahal, untuk menindak dan memberantas praktik pelacuran, pemerintah memiliki
segalanya. Mulai dari aparat, program pemberdayaan, anggaran dan regulasi.
Sayang sekali kalau hal itu sampai tidak bisa dimanfaatkan.
Terlebih lagi, jauh hari gubernur maupun wakil gubernur
Jawa Timur sudah beberapa kali mewacanakan penutupan lokalisasi. Bahkan, saat
acara Halaqah Menata Kota Bersih dari
Asusila yang diselenggarakan MUI Jatim di Hotel Elmi Surabaya Sabtu (19/11)
lalu, Gubernur Soekarwo dengan tegas mendukung penutupan lokalisasi yang ada di
Jatim. Untuk merealisasikan komitmennya itu, dalam waktu dekat gubernur akan
mengundang kepala daerah untuk menindaklanjuti rencana penutupan itu. Apalagi
sebelumnya pihaknya juga sudah mengeluarkan surat edaran Gubernur Jatim nomor
460/164744/031/2010 tentang pencegahan dan penanggulangan prostitusi dan
perdagangan perempuan. Surat edaran itu sekaligus untuk mempertegas perda nomor
7/1999 tentang larangan penggunaan bangunan untuk kegiatan prostitusi.
Dengan banyaknya regulasi yang mendukung pembatasan dan pemberantasan
pelacuran, saya kira tidak ada alasan untuk menunda-nunda eksekusi. Terutama
terhadap tempat-tempat yang secara terang-terangan dipakai untuk bisnis lendir.
Kalau beralasan untuk menghindari adanya ekses sosial, tentunya hal itu jauh
hari sudah dilakukan oleh pemerintah. Sebab, umur perda anti pelacuran di
Situbondo itu sendiri sudah tujuh tahun. Artinya, tenggang waktu selama itu
sudah sangat cukup untuk melakukan pembinaan dan pengentasan terhadap para PSK
maupun mucikari untuk dikembalikan ke masyarakat. Termasuk membekali mereka
dengan ketrampilan agar memiliki kemampuan untuk mandiri.
Selain itu, juga mengantisipasi
kemungkinan dengan ditutupnya lokalisasi itu para PSK akan berpindah ke tempat
lain. Seperti ke warung remang-remang di pinggir jalan, hotel, wisma, salon,
panti pijat maupun tempat yang lain. Ini juga harus dapat perhatian ekstra sekaligus memberi
peringatan dini kepada para pengelolanya agar tidak coba-coba menyalahgunakan
tempat usahanya untuk praktik
maksiat. Termasuk, melakukan pengawasan yang lebih ketat. Ini bisa terjadi manakala pemerintah
memiliki keseriusan dan komitmen dalam menegakkan peraturan yang telah dibuatnya sendiri.
Namun, dilihat dari perkembangan prostitusi di kota
santri ini, kecenderungannya kian hari kian meningkat drastis. Baik dari sisi
jumlah PSK maupun jumlah warung esek-esek yang terus bermunculan. Ini berarti,
aparat pemerintah maupun anggota legislatif di Situbondo kurang peduli dengan
kondisi ini. Padahal, secara tegas dan jelas ada perda larangan pelacuran di
kota santri yang nota bene hasil ‘’karya cipta’’ mereka. Sayangnya, perda itu
hanya menjadi pajangan formal karena aparatnya tak kunjung bertindak, persis
seperti macan ompong.
Karena itu, agar predikat kota santri
tidak berubah menjadi kota prostitusi diperlukan ketegasan dan keberanian dari
aparat pemerintah untuk bertindak, terutama komitmen dari kepala
daerahnya. Bahkan,
akan lebih baik lagi manakala muspida juga memberikan dukungan dan bantuan
langsung dalam membebaskan kota santri dari adanya praktik pelacuran. Kalau hal
ini masih belum jalan, bisa jadi para ulama dan santri yang akan turun ke
jalan, Sebab, MUI Jatim sudah memerintahkan jajarannya yang ada di daerah untuk
memerangi kemaksiatan.
Komentar