Demokrasi Uang
PENDAFTARAN calon kepala daerah dan wakil kepala daerah Provinsi Jatim maupun Kabupaten Jombang saat ini sedang berlangsung (1-5 Mei 2008). Meski baru memasuki tahap awal jadwal proses pilkada yang dirancang secara resmi oleh KPU, tapi sudah hampir bisa dipastikan para kandidat yang akan macung, sebagian besar sudah menghabiskan banyak duit. Bahkan, nilai uang yang dikeluarkan sudah ada yang mencapai puluhan miliar. Padahal, mereka belum memasuki arena kampanye resmi yang biasanya membutuhkan banyak anggaran.
‘’Amunisi’’ para calon yang keluar sebelum tahapan resmi pilkada dimulai, umumnya banyak terserap saat proses sosialisasi dan untuk mendapatkan surat rekomendasi dari partai. Sosialisasi atau pengenalan ke masyarakat atau internal pengurus dan anggota partai, biasa dilakukan sebelum dan sesudah surat rekomendasi dari partai turun. Biasanya, calon harus membiayai agenda sosialisasi yang isinya pengenalan, pemaparan visi dan misi. Tak jarang, ada partai yang memanfaatkan untuk mengeruk uang sang calon dengan berbagai dalih kebutuhan.
Belum lagi sosialisasi yang digelar di luar partai. Apakah itu dilakukan secara personal, bersama-sama maupun mendompleng agenda kegiatan yang digelar oleh elemen masyarakat. Selain ikut membantu membiayai acara, seorang kandidat biasanya juga bagi-bagi duit atau souvenir kepada undangan yang hadir. Salah seorang tim sukses calon, pernah bercerita kepada saya, untuk sosialisasi ke tokoh-tokoh masyarakat selama sepuluh hari saja ‘’bosnya’’ pernah menghabiskan Rp 1,5 miliar.
Khusus calon dari incumbent, biasanya kegiatan seperti ini, yang bersangkutan tidak banyak mengeluarkan uang. Sebab, anggarannya bisa disiasati dengan memakai APBD. Termasuk saat memberikan sumbangan kepada pihak yang mengundangnya. Realita inilah yang sering dikritisi calon lain maupun masyarakat luas.
Demikian pula saat sang kandidat berupaya mendapatkan surat rekomendasi dari partai, pasti akan keluar uang. Mulai dari saat penggodokan calon --apakah itu lewat konvensi, muskit, rakercabsus, rakerdasus, maupun ditentukan oleh segelintir elit partai-- di tingkat anak cabang, cabang, daerah, wilayah hingga ke tingkat pusat, semuanya harus digelontor dengan fulus. Bahkan, kalau usulan nama calon itu sudah masuk ke pusat, sebagian besar partai ada yang berani mematok harga hingga puluhan miliar rupiah untuk sebuah surat rekomendasi calon yang bakal diusung dalam pilkada.
Besar kecilnya dana yang dipatok partai atau oknum elit partai untuk meloloskan surat rekomendasi sang calon tentu tidak sama. Tergantung dari pendekatan sang calon ke elit partai. Termasuk juga dilihat, apakah calon itu kader sendiri atau bukan, popularitasnya, peluangnya untuk menang, maupun parameter politis lainnya. Isunya yang beredar, konon ada calon gubernur yang sampai mengeluarkan dana belasan miliar, tapi gagal dapat rekomendasi. Ada pula yang sudah mengantongi rekomendasi dengan mengeluarkan dan Rp 10 miliar, dan masih banyak isu minor yang lain.
Dana yang harus dikeluarkan oleh sang calon tidak cukup berhenti sampai di sini. Masih ada beberapa tahapan lagi yang harus dilalui dengan suplai logistik cukup besar. Misalnya pembentukan tim sukses mulai dari tingkat provinsi hingga kecamatan. Bahkan, bisa jadi hingga ke tingkat wilayah RT (rukun tetangga) untuk membantu sosialisasi atau kampanye sang calon ke masyarakat. Belum lagi, merekrut para saksi untuk di tempatkan di TPS (tempat pemungutan suara). Itu semua juga membutuhkan biaya yang cukup besar.
Karena begitu besarnya dana yang harus ditanggung oleh sang calon, sampai-sampai beberapa calon --meskipun uangnya sudah cukup berlimpah— masih banyak yang harus cari ‘’investor’’. Ada yang disokong pengusaha, penjudi atau NGO. Bila calon yang disokong itu menang, pasti ada kompensasi yang harus dikembalikan. Biasanya dalam bentuk pemberian proyek. Ada pula yang disokong dari uang slintutan APBD, iuran dari anggota dewan asal partai yang mengusung calon itu, serta sokongan dari hasil penggalangan dana yang dilakukan pengurus pusat maupun daerah.
Misalnya, untuk memuluskan calon gubernur Jatim, Partai Golkar menyiapkan anggaran senilai Rp 100 miliar. Baik dalam bentuk barang maupun uang segar. Dana itu iakui sebagai sumbangan dari para kader. Sedangkan PDIP menyiapkan Rp 40 miliar. Dana itu diperoleh dari kader PDIP di DPR RI per anggota setor Rp 50 juta dan bantuan sejumlah pengusaha.
Apakah memang seperti ini konsekuensi dari pesta demokrasi pemilihan langsung oleh rakyat? Sedemikian mahalkah harga sebuah jabatan kepala daerah? Apakah hanya orang berduit saja yang bisa macung menjadi kepala daerah? Apakah proses demokrasi pemilihan kepala daerah dengan model penggelontoran uang seperti di atas bisa menghasilkan pemimpin yang amanah? Bagaimana nasib orang-orang yang memiliki skill, pengalaman, kemampuan leadership, bersih dan memiliki moralitas yang baik tapi miskin materi?
Melihat konstelasi perpolitikan di negeri kita, rupanya hanya orang berduit atau yang disokong dengan duit yang bisa macung menduduki kursi kekuasaan. Yang tidak berduit atau disokong pihak berduit, jangan pernah berani coba-coba. Sebab, elit partai di negeri ini, elemen masyarakat, maupun rakyat jelata semuanya masih butuh duit. Mereka semua tak akan memberi restu atau dukungan secara cuma-cuma. Yang memberikan dukungan secara tulus ikhlas atau mengedepankan hati nurani masih sangat minim. Sebab, kondisi dan budaya di negeri kita memang sudah terpola seperti itu. Dan, kondisi seperti ini rupanya masih akan terus ‘’dinikmati’’ oleh para praktisi politik dan kader penerusnya.
Karena itu, esensi demokrasi dalam pemilihan langsung kepala daerah yang seharusnya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat telah bergeser menjadi dari uang, oleh uang dan untuk uang. Artinya seseorang yang memiliki banyak uang bisa memanfatkan uangnya untuk ‘’membeli’’ kekuasaan. Dan, setelah berkuasa, tentu dia berharap bisa mendapatkan uang yang telah dikeluarkan. Bahkan, kalau bisa hasil yang diperoleh harus lebih besar dari yang telah dikeluarkan.
Buktinya, hampir tidak ada orang yang tambah miskin setelah menduduki puncak kekuasaan. Meski, saat ‘’berjuang’’ untuk meraih kursi kekuasaan dia harus mengeluarkan banyak duitnya. Mungkin, ini merupakan ‘’berkah’’ dari ‘’demokrasi uang’’. Wallahu a’lam bissawab. (choliqbaya@gmail.com)
‘’Amunisi’’ para calon yang keluar sebelum tahapan resmi pilkada dimulai, umumnya banyak terserap saat proses sosialisasi dan untuk mendapatkan surat rekomendasi dari partai. Sosialisasi atau pengenalan ke masyarakat atau internal pengurus dan anggota partai, biasa dilakukan sebelum dan sesudah surat rekomendasi dari partai turun. Biasanya, calon harus membiayai agenda sosialisasi yang isinya pengenalan, pemaparan visi dan misi. Tak jarang, ada partai yang memanfaatkan untuk mengeruk uang sang calon dengan berbagai dalih kebutuhan.
Belum lagi sosialisasi yang digelar di luar partai. Apakah itu dilakukan secara personal, bersama-sama maupun mendompleng agenda kegiatan yang digelar oleh elemen masyarakat. Selain ikut membantu membiayai acara, seorang kandidat biasanya juga bagi-bagi duit atau souvenir kepada undangan yang hadir. Salah seorang tim sukses calon, pernah bercerita kepada saya, untuk sosialisasi ke tokoh-tokoh masyarakat selama sepuluh hari saja ‘’bosnya’’ pernah menghabiskan Rp 1,5 miliar.
Khusus calon dari incumbent, biasanya kegiatan seperti ini, yang bersangkutan tidak banyak mengeluarkan uang. Sebab, anggarannya bisa disiasati dengan memakai APBD. Termasuk saat memberikan sumbangan kepada pihak yang mengundangnya. Realita inilah yang sering dikritisi calon lain maupun masyarakat luas.
Demikian pula saat sang kandidat berupaya mendapatkan surat rekomendasi dari partai, pasti akan keluar uang. Mulai dari saat penggodokan calon --apakah itu lewat konvensi, muskit, rakercabsus, rakerdasus, maupun ditentukan oleh segelintir elit partai-- di tingkat anak cabang, cabang, daerah, wilayah hingga ke tingkat pusat, semuanya harus digelontor dengan fulus. Bahkan, kalau usulan nama calon itu sudah masuk ke pusat, sebagian besar partai ada yang berani mematok harga hingga puluhan miliar rupiah untuk sebuah surat rekomendasi calon yang bakal diusung dalam pilkada.
Besar kecilnya dana yang dipatok partai atau oknum elit partai untuk meloloskan surat rekomendasi sang calon tentu tidak sama. Tergantung dari pendekatan sang calon ke elit partai. Termasuk juga dilihat, apakah calon itu kader sendiri atau bukan, popularitasnya, peluangnya untuk menang, maupun parameter politis lainnya. Isunya yang beredar, konon ada calon gubernur yang sampai mengeluarkan dana belasan miliar, tapi gagal dapat rekomendasi. Ada pula yang sudah mengantongi rekomendasi dengan mengeluarkan dan Rp 10 miliar, dan masih banyak isu minor yang lain.
Dana yang harus dikeluarkan oleh sang calon tidak cukup berhenti sampai di sini. Masih ada beberapa tahapan lagi yang harus dilalui dengan suplai logistik cukup besar. Misalnya pembentukan tim sukses mulai dari tingkat provinsi hingga kecamatan. Bahkan, bisa jadi hingga ke tingkat wilayah RT (rukun tetangga) untuk membantu sosialisasi atau kampanye sang calon ke masyarakat. Belum lagi, merekrut para saksi untuk di tempatkan di TPS (tempat pemungutan suara). Itu semua juga membutuhkan biaya yang cukup besar.
Karena begitu besarnya dana yang harus ditanggung oleh sang calon, sampai-sampai beberapa calon --meskipun uangnya sudah cukup berlimpah— masih banyak yang harus cari ‘’investor’’. Ada yang disokong pengusaha, penjudi atau NGO. Bila calon yang disokong itu menang, pasti ada kompensasi yang harus dikembalikan. Biasanya dalam bentuk pemberian proyek. Ada pula yang disokong dari uang slintutan APBD, iuran dari anggota dewan asal partai yang mengusung calon itu, serta sokongan dari hasil penggalangan dana yang dilakukan pengurus pusat maupun daerah.
Misalnya, untuk memuluskan calon gubernur Jatim, Partai Golkar menyiapkan anggaran senilai Rp 100 miliar. Baik dalam bentuk barang maupun uang segar. Dana itu iakui sebagai sumbangan dari para kader. Sedangkan PDIP menyiapkan Rp 40 miliar. Dana itu diperoleh dari kader PDIP di DPR RI per anggota setor Rp 50 juta dan bantuan sejumlah pengusaha.
Apakah memang seperti ini konsekuensi dari pesta demokrasi pemilihan langsung oleh rakyat? Sedemikian mahalkah harga sebuah jabatan kepala daerah? Apakah hanya orang berduit saja yang bisa macung menjadi kepala daerah? Apakah proses demokrasi pemilihan kepala daerah dengan model penggelontoran uang seperti di atas bisa menghasilkan pemimpin yang amanah? Bagaimana nasib orang-orang yang memiliki skill, pengalaman, kemampuan leadership, bersih dan memiliki moralitas yang baik tapi miskin materi?
Melihat konstelasi perpolitikan di negeri kita, rupanya hanya orang berduit atau yang disokong dengan duit yang bisa macung menduduki kursi kekuasaan. Yang tidak berduit atau disokong pihak berduit, jangan pernah berani coba-coba. Sebab, elit partai di negeri ini, elemen masyarakat, maupun rakyat jelata semuanya masih butuh duit. Mereka semua tak akan memberi restu atau dukungan secara cuma-cuma. Yang memberikan dukungan secara tulus ikhlas atau mengedepankan hati nurani masih sangat minim. Sebab, kondisi dan budaya di negeri kita memang sudah terpola seperti itu. Dan, kondisi seperti ini rupanya masih akan terus ‘’dinikmati’’ oleh para praktisi politik dan kader penerusnya.
Karena itu, esensi demokrasi dalam pemilihan langsung kepala daerah yang seharusnya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat telah bergeser menjadi dari uang, oleh uang dan untuk uang. Artinya seseorang yang memiliki banyak uang bisa memanfatkan uangnya untuk ‘’membeli’’ kekuasaan. Dan, setelah berkuasa, tentu dia berharap bisa mendapatkan uang yang telah dikeluarkan. Bahkan, kalau bisa hasil yang diperoleh harus lebih besar dari yang telah dikeluarkan.
Buktinya, hampir tidak ada orang yang tambah miskin setelah menduduki puncak kekuasaan. Meski, saat ‘’berjuang’’ untuk meraih kursi kekuasaan dia harus mengeluarkan banyak duitnya. Mungkin, ini merupakan ‘’berkah’’ dari ‘’demokrasi uang’’. Wallahu a’lam bissawab. (choliqbaya@gmail.com)
Komentar