BLT
Oleh: Choliq Baya
BANTUAN tunai langsung (BLT) dari pemerintah kepada keluarga miskin (gakin) atau rumah tangga miskin (RTM) sebagai kompensasi kenaikan bahan bakar minyak (BBM) kembali diberikan. Meskipun program serupa pernah diluncurkan pada tahun 2005 dan pembagiannya sempat kacau dan memakan korban, karena yang tua-tua banyak tergencet hingga pingsan bahkan tewas, ternyata pemerintah pusat tetap nekat. Mereka menilai, program bagi-bagi uang tunai sebesar Rp 100.000 per bulan ini dianggap sebagai win-win solution.
Tahun ini, dana yang dianggarkan pemerintah pusat untuk program BLT mencapai Rp 14 triliun. Anggaran sebesar itu akan dibagi-bagikan kepada 19,1 juta RTM di Indonesia melalui Kantor Pos. Pada tahap awal ini, masing-masing RTM akan menerima rapelan tiga bulan di muka, yakni Rp 300 ribu. Tahap kedua dibagikan Rp 400 ribu untuk empat bulan sisanya. Rencananya, tahun depan, program BLT ini masih akan terus dilanjutkan.
Anehnya, ada pemerintah daerah yang menolak. Ini menunjukkan tidak kompaknya pemerintah. Komando dari atas, ternyata belum tentu bisa diterima aparat yang ada di bawah. Terlepas ada kepentingan politik berbeda antara yang di pusat dengan di daerah, kenyataan ini justru semakin memperburuk wibawa pemerintah yang dinilai rakyatnya plin- plan.
Selain itu, banyak pula anggota dewan, kepala desa, hingga ketua RW yang dengan tegas menolak program BLT. Selain alasannya tidak mendidik dan tidak menyelesaikan masalah kemiskinan, pemberian BLT rawan konflik dan bisa menimbulkan aksi anarkis warga. Sebab, data RTM yang dipakai acuan saat ini adalah hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2005. Padahal, data tersebut sudah banyak terjadi perubahan. Misalnya, bertambahnya RTM, ada yang statusnya sudah tidak masuk kategori RTM, ada yang sudah pindah alamat, ada pula kepala RTM yang sudah meninggal. Kalau data itu tidak sesuai dengan kenyataan sekarang, pasti bisa menimbulkan masalah.
Mengapa BBM harus naik? Mengapa pula harus ada kompensasi BLT kepada RTM? Tidak adakah solusi lain yang lebih mengarah kepada pemberdayaan masyarakat yang cerdas dan dinamis?
Salah satu faktor naiknya harga BBM dipicu oleh melambungnya harga minyak mentah dunia yang mencapai USD 130 lebih per barel. Kondisi ini mempengaruhi APBN kita karena subsidi BBM yang harus ditanggung terus membengkak. Sebab, dalam APBN Perubahan Kedua 2008 harga minyak mentah sudah dipatok USD 110 per barel. Ternyata, laju harga minyak mentah terus meroket. Pemerintah pun akhirnya memutuskan menaikkan harga BBM sebesar 28,7 persen. Harga premium yang semula Rp 4.500 per liter naik menjadi Rp 6.000. Solar yang semula harganya Rp 4.300 menjadi Rp 5.500. Dan minyak tanah yang semula Rp 2.000, naik menjadi Rp 2.500 per liter.
Ketika pemerintah masih membahas rencana menaikkan harga BBM, masyarakat sudah panik. Dampaknya, harga-harga kebutuhan bahan pokok sudah mendahului naik. Bahkan, kenaikannya banyak yang melebihi persentase kenaikan BBM. Tak hanya itu, suplai BBM ke SPBU juga tersendat. Akibatnya, terjadi kelangkaan BBM di sejumlah SPBU. Warga masyarakat menjadi panik, khususnya kelas menengah ke bawah. Selanjutnya, masyarakat kelas menengah pasti akan merasakan dampak yang sama.
Pasca kenaikan BBM, sejumlah masalah masih terus menghadang. Di antaranya kenaikan harga barang dan jasa yang diikuti kenaikan angka inflasi. Lonjakan inflasi sangat berbahaya bagi perekonomian negara kita karena akan menurunkan nilai uang yang ada di masyarakat. Akibatnya, kualitas hidup masyarakat menjadi merosot karena turunnya daya beli.
Sebagai ’’penghibur lara’’, pemerintah kembali meluncurkan program BLT untuk RTM. Sayangnya, tidak semua pihak bisa menerima bantuan dari pemerintah. Sebab, bantuan itu tidak menyelesaikan masalah orang miskin yang sebenarnya. Karena pemerintah tidak memberi lapangan kerja atau memberi kail yang bisa memacu warga miskin untuk berusaha dan meningkatkan penghasilannya.
Saat BLT kali pertama diluncurkan pada tahun 2005, Menko Perekonomian Abu Rizal Bakrie (kini Menko Kesra) pernah mengatakan, setelah satu tahun, program BLT akan distop dan akan dialihkan pada program lain yang bisa meningkatkan lapangan kerja. Tapi, pengalihan program seperti yang dijanjikan itu hingga kini belum diketahui realisasinya. Sebab, jumlah pengangguran maupun keluarga miskin justru semakin bertambah. Terbukti, banyak warga yang mengklaim dirinya miskin supaya sering dapat bantuan. Dan kini, program BLT itu muncul kembali.
Sejatinya, masih ada jalan yang bisa dilakukan oleh pemerintah kita untuk menanggulangi beban anggaran yang terus merosot akibat kenaikan harga BBM. Di antaranya pemerintah harus membiasakan diri melakukan penghematan menyangkut anggaran yang tidak diperlukan. Anggaran itu seharusnya dimasukkan dalam subsidi BBM, sehingga kenaikan BBM bisa ditekan menjadi tidak terlalu tinggi.
Selain itu, pemerintah harus bisa mengelola sendiri sumber daya alam yang cukup berlimpah, tidak menyerahkan kepada pihak asing. Khususnya tehadap tambang-tambang minyak, emas, batu-bara, dan lain sebagainya. Seharusnya, negara kita mendapatkan keuntungan yang cukup dari kenaikan harga minyak dunia. Tetapi, karena pengelolaan yang tidak optimal terhadap sumber-sumber minyak yang ada dan kebanyakan dikelola pihak asing, hasilnya pun tidak bisa dirasakan maksimal.
Kondisi ini secara otomatis juga menyeret rakyat ikut mengalami penderitaan. Coba seandainya tambang-tambang minyak kita bisa dikelola secara maksimal dengan tenaga ahli yang kita miliki, pasti kita akan merasakan limpahan kemakmuran seperti yang sekarang dinikmati rakyat di negara Timur Tengah selaku penghasil minyak. Termasuk sebagian negara di perbatasan Asia dan Eropa seperti Rusia. Wallahua’lam bis shawab. (choliqbaya@gmail.com)
BANTUAN tunai langsung (BLT) dari pemerintah kepada keluarga miskin (gakin) atau rumah tangga miskin (RTM) sebagai kompensasi kenaikan bahan bakar minyak (BBM) kembali diberikan. Meskipun program serupa pernah diluncurkan pada tahun 2005 dan pembagiannya sempat kacau dan memakan korban, karena yang tua-tua banyak tergencet hingga pingsan bahkan tewas, ternyata pemerintah pusat tetap nekat. Mereka menilai, program bagi-bagi uang tunai sebesar Rp 100.000 per bulan ini dianggap sebagai win-win solution.
Tahun ini, dana yang dianggarkan pemerintah pusat untuk program BLT mencapai Rp 14 triliun. Anggaran sebesar itu akan dibagi-bagikan kepada 19,1 juta RTM di Indonesia melalui Kantor Pos. Pada tahap awal ini, masing-masing RTM akan menerima rapelan tiga bulan di muka, yakni Rp 300 ribu. Tahap kedua dibagikan Rp 400 ribu untuk empat bulan sisanya. Rencananya, tahun depan, program BLT ini masih akan terus dilanjutkan.
Anehnya, ada pemerintah daerah yang menolak. Ini menunjukkan tidak kompaknya pemerintah. Komando dari atas, ternyata belum tentu bisa diterima aparat yang ada di bawah. Terlepas ada kepentingan politik berbeda antara yang di pusat dengan di daerah, kenyataan ini justru semakin memperburuk wibawa pemerintah yang dinilai rakyatnya plin- plan.
Selain itu, banyak pula anggota dewan, kepala desa, hingga ketua RW yang dengan tegas menolak program BLT. Selain alasannya tidak mendidik dan tidak menyelesaikan masalah kemiskinan, pemberian BLT rawan konflik dan bisa menimbulkan aksi anarkis warga. Sebab, data RTM yang dipakai acuan saat ini adalah hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2005. Padahal, data tersebut sudah banyak terjadi perubahan. Misalnya, bertambahnya RTM, ada yang statusnya sudah tidak masuk kategori RTM, ada yang sudah pindah alamat, ada pula kepala RTM yang sudah meninggal. Kalau data itu tidak sesuai dengan kenyataan sekarang, pasti bisa menimbulkan masalah.
Mengapa BBM harus naik? Mengapa pula harus ada kompensasi BLT kepada RTM? Tidak adakah solusi lain yang lebih mengarah kepada pemberdayaan masyarakat yang cerdas dan dinamis?
Salah satu faktor naiknya harga BBM dipicu oleh melambungnya harga minyak mentah dunia yang mencapai USD 130 lebih per barel. Kondisi ini mempengaruhi APBN kita karena subsidi BBM yang harus ditanggung terus membengkak. Sebab, dalam APBN Perubahan Kedua 2008 harga minyak mentah sudah dipatok USD 110 per barel. Ternyata, laju harga minyak mentah terus meroket. Pemerintah pun akhirnya memutuskan menaikkan harga BBM sebesar 28,7 persen. Harga premium yang semula Rp 4.500 per liter naik menjadi Rp 6.000. Solar yang semula harganya Rp 4.300 menjadi Rp 5.500. Dan minyak tanah yang semula Rp 2.000, naik menjadi Rp 2.500 per liter.
Ketika pemerintah masih membahas rencana menaikkan harga BBM, masyarakat sudah panik. Dampaknya, harga-harga kebutuhan bahan pokok sudah mendahului naik. Bahkan, kenaikannya banyak yang melebihi persentase kenaikan BBM. Tak hanya itu, suplai BBM ke SPBU juga tersendat. Akibatnya, terjadi kelangkaan BBM di sejumlah SPBU. Warga masyarakat menjadi panik, khususnya kelas menengah ke bawah. Selanjutnya, masyarakat kelas menengah pasti akan merasakan dampak yang sama.
Pasca kenaikan BBM, sejumlah masalah masih terus menghadang. Di antaranya kenaikan harga barang dan jasa yang diikuti kenaikan angka inflasi. Lonjakan inflasi sangat berbahaya bagi perekonomian negara kita karena akan menurunkan nilai uang yang ada di masyarakat. Akibatnya, kualitas hidup masyarakat menjadi merosot karena turunnya daya beli.
Sebagai ’’penghibur lara’’, pemerintah kembali meluncurkan program BLT untuk RTM. Sayangnya, tidak semua pihak bisa menerima bantuan dari pemerintah. Sebab, bantuan itu tidak menyelesaikan masalah orang miskin yang sebenarnya. Karena pemerintah tidak memberi lapangan kerja atau memberi kail yang bisa memacu warga miskin untuk berusaha dan meningkatkan penghasilannya.
Saat BLT kali pertama diluncurkan pada tahun 2005, Menko Perekonomian Abu Rizal Bakrie (kini Menko Kesra) pernah mengatakan, setelah satu tahun, program BLT akan distop dan akan dialihkan pada program lain yang bisa meningkatkan lapangan kerja. Tapi, pengalihan program seperti yang dijanjikan itu hingga kini belum diketahui realisasinya. Sebab, jumlah pengangguran maupun keluarga miskin justru semakin bertambah. Terbukti, banyak warga yang mengklaim dirinya miskin supaya sering dapat bantuan. Dan kini, program BLT itu muncul kembali.
Sejatinya, masih ada jalan yang bisa dilakukan oleh pemerintah kita untuk menanggulangi beban anggaran yang terus merosot akibat kenaikan harga BBM. Di antaranya pemerintah harus membiasakan diri melakukan penghematan menyangkut anggaran yang tidak diperlukan. Anggaran itu seharusnya dimasukkan dalam subsidi BBM, sehingga kenaikan BBM bisa ditekan menjadi tidak terlalu tinggi.
Selain itu, pemerintah harus bisa mengelola sendiri sumber daya alam yang cukup berlimpah, tidak menyerahkan kepada pihak asing. Khususnya tehadap tambang-tambang minyak, emas, batu-bara, dan lain sebagainya. Seharusnya, negara kita mendapatkan keuntungan yang cukup dari kenaikan harga minyak dunia. Tetapi, karena pengelolaan yang tidak optimal terhadap sumber-sumber minyak yang ada dan kebanyakan dikelola pihak asing, hasilnya pun tidak bisa dirasakan maksimal.
Kondisi ini secara otomatis juga menyeret rakyat ikut mengalami penderitaan. Coba seandainya tambang-tambang minyak kita bisa dikelola secara maksimal dengan tenaga ahli yang kita miliki, pasti kita akan merasakan limpahan kemakmuran seperti yang sekarang dinikmati rakyat di negara Timur Tengah selaku penghasil minyak. Termasuk sebagian negara di perbatasan Asia dan Eropa seperti Rusia. Wallahua’lam bis shawab. (choliqbaya@gmail.com)
Komentar