Derita Akibat Kebijakan
RAKYAT Indonesia terus-menerus dibuat ’’menderita’’ oleh kebijakan pemerintah pusat soal bahan bakar. Pekan lalu misalnya, pemerintah menaikkan lagi harga bahan bakar gas atau elpiji untuk masyarakat kelas menengah atas (pengguna tabung gas isi 12 kg ke atas). Elpiji 12 kg yang semula harganya Rp 63.000 per tabung, kini naik menjadi Rp 69.000. Elpiji 50 kg juga naik dari Rp 343.900 menjadi Rp 362.750 per tabung. Tapi, harga di pasaran bisa melambung melebihi harga di atas. Terkadang di beberapa daerah masih disertai dengan tidak tersedianya stok, hingga membuat konsumen kelimpungan.
Kenaikan ini memicu beberapa pemakai tabung gas isi 12 kg beralih ke tabung gas isi 3 kg yang tidak mengalami kenaikan. Sebab, harga elpiji 3 kg disubsidi pemerintah dan diperuntukkan bagi kalangan warga tidak mampu. Karena tidak adanya pengawasan distribusi tabung elpiji 3 kg yang ketat, jatah elpiji untuk masyarakat tak mampu itu pun banyak yang diambil alih masyarakat kelas menengah. Sampai-sampai masyarakat kecil juga ikut menanggung susahnya mendapatkan elpiji 3 kg.
Sebelumnya, rakyat sudah beberapa kali diombang-ambingkan kebijakan pemerintah seputar BBM. Mulai kenaikan harga minyak tanah (mitan), langkanya mitan di pasaran, melambungnya harga mitan, amburadulnya program konversi mitan ke gas elpiji, BBM langka dan harganya melonjak tinggi menjelang adanya kenaikan harga. Ditambah lagi krisis energi listrik yang membuat lampu di rumah kita byar pet. Belum lagi pemakai listrik dari kalangan industri yang merasa dirugikan akibat PLN tak bisa memenuhi kebutuhan pelanggannya.
Itulah sebagian rentetan masalah bahan bakar yang cukup meresahkan dan membuat rakyat ’’menderita’’. Pemerintah melalui Pertamina selaku pemegang otoritas monopoli bahan bakar di negeri ini bisa menaikkan harga kapan saja. Alasannya pun macam-macam. Mulai naiknya harga minyak mentah dunia yang tidak bisa dibendung, hingga kerugian Pertamina yang tahun 2008 ini mencapai Rp 6 triliun lebih. Dan, langkah termudah untuk menanggulangi kerugian adalah, menaikkan harga jual ke konsumen.
Namun, yang agak aneh dan membuat kita prihatin adalah, adanya kebijakan pemerintah yang menjual gas ke luar negeri dengan harga lebih murah daripada dijual ke rakyatnya sendiri. Bahkan, dibandingkan harga pasaran dunia gas yang dijual Indonesia ke China itu harganya hanya 1/6 nya saja. Dalam kontrak Liqud Natural Gas (LNG) Tangguh, Papua yang diteken pemerintah era Presiden Megawati, harga LNG yang dijual ke China hanya USD 3,8 per MMBTU. Padahal, harga pasaran dunia saat ini USD 25 MMBTU. Akibatnya, negera kita rugi triliunan rupiah. Kini, pemerintah berencana menegosiasi ulang kontrak penjualan LNG ke China.
Sejatinya, sejak 30 tahun lalu, sebenarnya negara kita sudah punya formula dalam menjual LNG. Yaitu, harga ekuivalen dengan tingkat persentase harga minyak. Dan, formula kontrak LNG di Tangguh, Papua adalah yang terjelek dan terparah dalam sejarah perminyakan. Sebab, kalau Arun (Aceh) 30 tahun yang lalu saja bisa 7,5 persen, Bontang (Kaltim) 25 tahun yang lalu bisa 15 persen, Tangguh (Papua) hanya 5 persen terhadap harga minyak.
Kita semua sangat menyayangkan lemahnya pemerintah kita dalam berdiplomasi, bernegosiasi maupun membuat kesepakatan dengan pihak asing. Sepertinya kita tak punya kekuatan, kemampuan ataupun daya tawar yang tinggi. Kesepakatan yang dihasilkan sering kali tidak imbang, kita selalu diposisi yang lemah. Lihat saja hampir semua pertambangan besar yang dimiliki negara kita dikelola pihak asing. Mulai tambang minyak, gas, batu bara, emas, dan lain sebagainya banyak dikuasai perusahaan asing. Padahal, hasilnya cukup besar.
Nama-nama perusahaan tambang dari luar negeri seperti Freepot, Newmont, Exxon Mobil, China Petro Oil, dan lain sebagainya cukup dominan menjadi pengeruk sumber alam negeri kita. Beberapa pakar, praktisi dan politisi sering mengkritisi pemerintah agar meninjau ulang kontraknya khususnya menyangkut profit sharing dengan perusahaan tambang asing, tapi tetap tak dihiraukan. Sehingga, deal-deal kesepakatan yang tidak menghasilkan keuntungan yang seimbang bagi kemakmuran rakyat Indonesia harus dicurigai.
Sebab, banyak kesepakatan-kesepakatan atau MoU yang dibuat oleh para pejabat kita yang duduk di pemerintahan, di kemudian hari ternyata bermasalah. Tak sedikit pula yang akhirnya ditemukan adanya penyimpangan ataupun kepentingan tertentu yang menguntungkan segelintir orang atau pihak tertentu dengan mengorbankan kepentingan rakyat dan negara.
Sekarang, rakyat Indonesia sedang dirundung sedih oleh kebijakan bahan bakar yang merupakan kebutuhan vital. Mereka tidak hanya merasa diombang-ambingkan oleh kenaikan harga mitan, premium, solar, pertamax dan elpiji, tetapi juga disulitkan dengan kurangnya ketersediaan bahan bakar. Bahkan, untuk mendapatkan bahan bakar itu, rakyat harus antri berjam-jam. Janji manis program konversi mitan ke elpiji, ternyata malah banyak menyengsarakan karena kurang ketatnya pengawasan distribusi.
Memasuki Bulan Ramadan yang jatuh tepat pada hari ini, persoalan kebutuhan ekonomi yang dihadapi rakyat kecil kian berat. Selain direpotkan oleh susahnya mendapatkan elpiji 3 kg, harga kebutuhan bahan pokok sejak seminggu lalu juga mengalami kenaikan signifikan.
Kondisi yang menyusahkan ini membuat sebagian rakyat kecil memanfaatkan kayu bekas, ranting pohon kering atau apa pun yang bisa dijadikan bahan bakar. Back to natural, kembali ke zaman purba. Kenapa tidak? Daripada terus dibikin pusing oleh kebijakan pemerintah, lebih baik rakyat kecil yang mengalah. Tinggal pembalasannya di pemilu nanti, tidak akan memilih alias golput.
Semoga kehadiran Ramadan kali ini bisa membuka mata hati para pejabat kita untuk lebih peduli pada rakyatnya. Terutama dalam membuat kebijakan yang berimbas pada kepentingan rakyat. Dan, ’’penderitaan’’ yang sedang dialami rakyat Indonesia, khususnya masyarakat kelas bawah saat ini bisa diterima dengan sabar dan lapang dada. Semoga pula instansi dan rakyat yang mampu tak lupa menebar sedekah atau zakatnya kepada saudara-saudaranya yang tak mampu supaya bisa mengurangi beban penderitaan yang dipikul. Amin. (cho@jawapos.co.id)
Kenaikan ini memicu beberapa pemakai tabung gas isi 12 kg beralih ke tabung gas isi 3 kg yang tidak mengalami kenaikan. Sebab, harga elpiji 3 kg disubsidi pemerintah dan diperuntukkan bagi kalangan warga tidak mampu. Karena tidak adanya pengawasan distribusi tabung elpiji 3 kg yang ketat, jatah elpiji untuk masyarakat tak mampu itu pun banyak yang diambil alih masyarakat kelas menengah. Sampai-sampai masyarakat kecil juga ikut menanggung susahnya mendapatkan elpiji 3 kg.
Sebelumnya, rakyat sudah beberapa kali diombang-ambingkan kebijakan pemerintah seputar BBM. Mulai kenaikan harga minyak tanah (mitan), langkanya mitan di pasaran, melambungnya harga mitan, amburadulnya program konversi mitan ke gas elpiji, BBM langka dan harganya melonjak tinggi menjelang adanya kenaikan harga. Ditambah lagi krisis energi listrik yang membuat lampu di rumah kita byar pet. Belum lagi pemakai listrik dari kalangan industri yang merasa dirugikan akibat PLN tak bisa memenuhi kebutuhan pelanggannya.
Itulah sebagian rentetan masalah bahan bakar yang cukup meresahkan dan membuat rakyat ’’menderita’’. Pemerintah melalui Pertamina selaku pemegang otoritas monopoli bahan bakar di negeri ini bisa menaikkan harga kapan saja. Alasannya pun macam-macam. Mulai naiknya harga minyak mentah dunia yang tidak bisa dibendung, hingga kerugian Pertamina yang tahun 2008 ini mencapai Rp 6 triliun lebih. Dan, langkah termudah untuk menanggulangi kerugian adalah, menaikkan harga jual ke konsumen.
Namun, yang agak aneh dan membuat kita prihatin adalah, adanya kebijakan pemerintah yang menjual gas ke luar negeri dengan harga lebih murah daripada dijual ke rakyatnya sendiri. Bahkan, dibandingkan harga pasaran dunia gas yang dijual Indonesia ke China itu harganya hanya 1/6 nya saja. Dalam kontrak Liqud Natural Gas (LNG) Tangguh, Papua yang diteken pemerintah era Presiden Megawati, harga LNG yang dijual ke China hanya USD 3,8 per MMBTU. Padahal, harga pasaran dunia saat ini USD 25 MMBTU. Akibatnya, negera kita rugi triliunan rupiah. Kini, pemerintah berencana menegosiasi ulang kontrak penjualan LNG ke China.
Sejatinya, sejak 30 tahun lalu, sebenarnya negara kita sudah punya formula dalam menjual LNG. Yaitu, harga ekuivalen dengan tingkat persentase harga minyak. Dan, formula kontrak LNG di Tangguh, Papua adalah yang terjelek dan terparah dalam sejarah perminyakan. Sebab, kalau Arun (Aceh) 30 tahun yang lalu saja bisa 7,5 persen, Bontang (Kaltim) 25 tahun yang lalu bisa 15 persen, Tangguh (Papua) hanya 5 persen terhadap harga minyak.
Kita semua sangat menyayangkan lemahnya pemerintah kita dalam berdiplomasi, bernegosiasi maupun membuat kesepakatan dengan pihak asing. Sepertinya kita tak punya kekuatan, kemampuan ataupun daya tawar yang tinggi. Kesepakatan yang dihasilkan sering kali tidak imbang, kita selalu diposisi yang lemah. Lihat saja hampir semua pertambangan besar yang dimiliki negara kita dikelola pihak asing. Mulai tambang minyak, gas, batu bara, emas, dan lain sebagainya banyak dikuasai perusahaan asing. Padahal, hasilnya cukup besar.
Nama-nama perusahaan tambang dari luar negeri seperti Freepot, Newmont, Exxon Mobil, China Petro Oil, dan lain sebagainya cukup dominan menjadi pengeruk sumber alam negeri kita. Beberapa pakar, praktisi dan politisi sering mengkritisi pemerintah agar meninjau ulang kontraknya khususnya menyangkut profit sharing dengan perusahaan tambang asing, tapi tetap tak dihiraukan. Sehingga, deal-deal kesepakatan yang tidak menghasilkan keuntungan yang seimbang bagi kemakmuran rakyat Indonesia harus dicurigai.
Sebab, banyak kesepakatan-kesepakatan atau MoU yang dibuat oleh para pejabat kita yang duduk di pemerintahan, di kemudian hari ternyata bermasalah. Tak sedikit pula yang akhirnya ditemukan adanya penyimpangan ataupun kepentingan tertentu yang menguntungkan segelintir orang atau pihak tertentu dengan mengorbankan kepentingan rakyat dan negara.
Sekarang, rakyat Indonesia sedang dirundung sedih oleh kebijakan bahan bakar yang merupakan kebutuhan vital. Mereka tidak hanya merasa diombang-ambingkan oleh kenaikan harga mitan, premium, solar, pertamax dan elpiji, tetapi juga disulitkan dengan kurangnya ketersediaan bahan bakar. Bahkan, untuk mendapatkan bahan bakar itu, rakyat harus antri berjam-jam. Janji manis program konversi mitan ke elpiji, ternyata malah banyak menyengsarakan karena kurang ketatnya pengawasan distribusi.
Memasuki Bulan Ramadan yang jatuh tepat pada hari ini, persoalan kebutuhan ekonomi yang dihadapi rakyat kecil kian berat. Selain direpotkan oleh susahnya mendapatkan elpiji 3 kg, harga kebutuhan bahan pokok sejak seminggu lalu juga mengalami kenaikan signifikan.
Kondisi yang menyusahkan ini membuat sebagian rakyat kecil memanfaatkan kayu bekas, ranting pohon kering atau apa pun yang bisa dijadikan bahan bakar. Back to natural, kembali ke zaman purba. Kenapa tidak? Daripada terus dibikin pusing oleh kebijakan pemerintah, lebih baik rakyat kecil yang mengalah. Tinggal pembalasannya di pemilu nanti, tidak akan memilih alias golput.
Semoga kehadiran Ramadan kali ini bisa membuka mata hati para pejabat kita untuk lebih peduli pada rakyatnya. Terutama dalam membuat kebijakan yang berimbas pada kepentingan rakyat. Dan, ’’penderitaan’’ yang sedang dialami rakyat Indonesia, khususnya masyarakat kelas bawah saat ini bisa diterima dengan sabar dan lapang dada. Semoga pula instansi dan rakyat yang mampu tak lupa menebar sedekah atau zakatnya kepada saudara-saudaranya yang tak mampu supaya bisa mengurangi beban penderitaan yang dipikul. Amin. (cho@jawapos.co.id)
Komentar