Investor Politik

PEMILIHAN kepala daerah (pilkada) di negara kita benar-benar tidak bisa lepas dari yang namanya uang. Bahkan, perputaran uang yang terjadi sangat besar. Nilai uang yang keluar dari kantong para calon maupun pihak yang ’’mensponsori’’ untuk merebut kursi kekuasaan, kalau ditotal jendral bisa mencapai triliunan rupiah. Mulai sang calon memburu kendaraan pengusung hingga detik-detik menjelang pelaksanaan pilkada digelar. Ditambah biaya penyelenggaraan pilkada yang dikelola oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Para calon yang memilih lewat jalur partai sudah harus keluar duit mulai proses konvensi, rakercabsus, muskit, dan sejenisnya. Apalagi, bila calon itu bukan dari kader partai yang bersangkutan, biasanya kontribusi yang harus dikeluarkan jauh lebih besar. Termasuk untuk ngopeni (memelihara) para pengurus partai di tingkat ranting hingga pusat yang bisa membantu mengegolkan harapan dan kepentingan sang calon dalam menuju kursi kekuasaan.
Demikian pula dengan calon yang memilih kendaraan lewat jalur independen. Dia harus bekerja keras mengumpulkan dukungan dari warga melalui tanda tangan dan fotokopi KTP. Isu yang merebak, untuk memperoleh surat dukungan dan fotokopi KTP warga, biaya yang harus dikeluarkan calon antara Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu per warga. Jumlah itu tinggal mengalikan dengan 3 persen sampai 6,5 persen jumlah penduduk di tingkat provinsi untuk calon gubernur atau di kota/kabupaten untuk calon wali kota/bupati.
Untuk calon yang memilih lewat jalur partai, biaya yang harus keluar selanjutnya adalah, memburu tiket atau surat rekomendasi dari pengurus partai di tingkat pusat. Meskipun kontribusi yang diminta setiap partai tidak sama, konon ada partai yang menarik ’’kontribusi’’ dengan nilai miliaran untuk calon kepala daerah. Kontribusi itu belum termasuk uang yang diberikan kepada partai di tingkat cabang dan provinsi dengan alasan untuk biaya administrasi, rapat, penggalangan, koordinasi, dan lain sebagainya.
Uang yang mengalir dari kantong si calon masih belum berhenti sampai di situ. Sebab, dia juga harus menggalang pencitraan dirinya agar dikenal masyarakat secara luas. Karena itu, dia harus pesan alat peraga seperti banner, spanduk, baliho, umbul-umbul, kaos, stiker, topi, rompi, tas, bendera, dan lain sebagainya. Dia juga harus pasang iklan di media cetak dan elektronik, menggelar beberapa even untuk memikat warga, hingga memberi bantuan yang dikemas dalam agenda bakti sosial. Selain itu, masih banyak agenda lain yang menguras harta sang calon.
Saat masa kampanye, dia juga harus habis-habisan mengeluarkan uang dengan harapan bisa mendapatkan dukungan signifikan. Ada yang mendatangkan grup musik, kiai, tokoh masyarakat, pejabat dan artis. Termasuk bagi-bagi hadiah dan duit kepada sejumlah warga, kelompok pengajian, panti asuhan, pondok pesantren, tempat ibadah, kelompok tani, pedagang, dan lain sebagainya. Bahkan, detik-detik terakhir menjelang pemilihan, ada pula yang melakukan ’’serangan fajar’’ dengan cara bagi-bagi uang dan beras disertai imbauan agar di Tempat Pemungutan Suara (TPS) nanti mencoblos gambar dirinya.
Besarnya anggaran yang harus dikeluarkan oleh seseorang yang ingin tampil menjadi kepala daerah mencerminkan sistem demokrasi di negeri ini masih berjalan timpang. Yakni, tidak murni dan tidak tulus seperti jargon demokrasi yang berbunyi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dengan kata lain, proses demokrasi baru jalan manakala disokong dengan uang.
Melihat kenyataan ini, berarti untuk menjadi seorang kepala daerah syaratnya harus kaya, agar bisa mencukupi berbagai ’’kebutuhan politik’’ seperti yang saya paparkan di atas. Logikanya memang harus seperti itu. Meskipun demikian, para calon yang finansialnya pas-pasan, masih bisa mencari investor. Ya, sejak Reformasi bergulir di negeri ini banyak ’’investor politik’’ yang berkeliaran ’’mencari mangsa’’. Dan, banyak pula calon kepala daerah yang begitu bersemangat mencari ’’investor politik’’ untuk mengegolkan ambisinya. Semakin besar peluang sang calon menang, maka tidak terlalu sulit untuk mendapatkan kucuran dana dari investor.
Memang, tidak semua calon yang kuat mau memanfaatkan jasa ’’investor politik’’. Lebih-lebih bagi calon yang memiliki integritas, kapabilitas dan moralitas tinggi. Dan, tidak semua ’’investor politik’’ juga mau begitu saja menyerahkan uangnya kepada setiap orang yang akan macung sebagai kepala daerah. Semuanya pasti sudah dihitung untung-ruginya secara politis dan ekonomis. Jadi, antara anggaran yang dikeluarkan dengan kompensasi yang nantinya akan didapat investor sudah dipertimbangkan, termasuk dampaknya kalau calon yang didukung kalah.
Para ’’investor politik’’ itu ada yang dari kalangan penjudi kelas kakap, konglomerat hitam, mantan pejabat tinggi, pengusaha yang memiliki kedekatan dengan sang calon, politisi yang memiliki ambisi merebut kekuasaan di tingkat nasional, LSM dari luar negeri hingga perwakilan negara asing. Besarnya anggaran yang digelontor investor politik juga bervariasi. Konon, ada cagub yang ditawari bantuan anggaran hingga Rp 300 miliar. Sedangkan untuk calon bupati/wali kota ditawari Rp 50 miliar. Ada pula yang ditawari hanya Rp 7 miliar agar mau mencalonkan diri sebagai wali kota.
Orang awam pasti geleng-geleng kepala dan tidak terlalu percaya dengan ’’permainan’’ seperti itu. Apalagi melihat nilai uangnya yang begitu besar. Memang, masalah nilai uang yang dikucurkan investor bisa jadi nilainya berkurang tidak sebesar angka di atas. Bisa pula rumor yang berkembang tidak sesuai kenyataan. Tapi, praktik kotor yang dimainkan para ’’investor politik’’ dalam pilkada jelas ada. Sebab, itu tak beda jauh dengan praktik yang terjadi dalam pemilihan kepala desa (pilkades). Yakni, ’’investor politik’’-nya lebih dikenal dengan sebutan botoh.
Kenapa begitu mudahnya ’’investor politik’’ itu melepas uangnya? Semuanya pasti ada kompensasinya. Kompensasi itu bisa berupa proyek-proyek besar dengan model tender yang sudah diatur. Ada pula yang terkait dengan pemilihan presiden, agar mendapat back-up dari daerah. Ada juga yang minta kompensasi agar aset-asetnya di daerah tidak dipersoalkan. Dan, masih banyak lagi.
Melihat peran uang dalam kekuasaan sangat besar, sikap sebagian besar rakyat juga berubah menjadi materialis. Siapa yang bisa membantu uang atau natura, tentu akan didukung. Model demokrasi seperti ini tidak bisa menghasilkan pemimpin yang kapabel. Siapa yang memiliki uang banyak atau didukung oleh investor politik, dialah yang bakal berkuasa. Kalau yang berkuasa ini tidak memiliki keterampilan memimpin, tidak menguasai persoalan daerah dan tidak bisa memberikan solusi yang tepat, maka rusaklah tatanan daerah itu.
Karena itu, paradigma politik masyarakat yang sudah telanjur ’’dikotori’’ jiwa materialis ini harus segera diubah. Yang memiliki peran besar untuk bisa mengubah adalah parpol. Di antaranya, dengan melakukan rekrutman calon kepala daerah yang lebih transparan, baik mekanisme maupun kriterianya. Selain itu, parpol, pemerintah, LSM, ormas, media massa dan elemen masyarakat yang lain hendaknya tidak lelah memberikan pendidikan politik yang benar kepada masyarakat luas. (cho@jawapos.co.id)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prostitusi Kota Santri

Wartawan Abal-Abal

Promosi di Media Berkelas