Potensi Dibalik Pesona Gunung Ijen
SENIN (6/12) lalu, saya mengikuti agenda Konsultasi Publik Pembentukan Taman Wisata Nasional Ijen di Hotel Ijen View Bondowoso mewakili Radar Banyuwangi. Saya tertarik mengikuti agenda itu karena ingin mengetahui lebih detail eksistensi dan potensi Gunung Ijen. Selain kawahnya yang terkenal sangat indah, Ijen juga menjadi salah satu kawasan wisata segi tiga emas kebanggaan Banyuwangi, di samping Pantai Sukamade dan Pantai Plengkung. Yang terbaru, di Ijen juga ditemukan tambang energi panas bumi. Bahkan, kini sudah ada investor yang sudah memenangkan tender untuk mengolah energi panas bumi ini menjadi pembangkit tenaga listrik.
Selain itu, secara geografis, Gunung Ijen berada di tiga wilayah kabupaten, yaitu Banyuwangi, Situbondo dan Bondowoso yang juga masuk wilayah edar Radar Banyuwangi. Tentu, kami juga ingin tahu kepedulian dan upaya ketiga daerah ini dalam merespon dan mengembangkan potensi yang ada di Ijen. Termasuk, mengantisipasi kemungkinan munculnya konflik kepentingan ataupun klaim-klaim tidak produktif yang bisa merusak reputasi cagar alam (CA) ataupun taman wisata alam (TWA) Ijen yang namanya sudah sangat dikenal di dunia pariwisata mancanegara.
Dengan mengikuti agenda ini, saya berharap ada pengetahuan, masukan ataupun inspirasi baru bagi Radar Banyuwangi untuk ikut mendorong terciptanya lingkungan alam yang sehat, tumbuhnya sektor pariwisata dan bergairahnya iklim investasi. Sebab, Kami sudah berkomitmen, apapun yang bisa membawa kemajuan dan kemaslahatan bagi masyarakat luas, tidak ada alasan bagi kita untuk menghambatnya. Sebagai bagian dari stake holder, Radar Banyuwangi akan senantiasa ‘’mengawal’’ daerah ini supaya berkembang lebih maju. Tak lupa juga mengkritisi sikap, kinerja, budaya maupun sistem yang kurang bisa bekerja ataupun bergerak cepat mengikuti perkembangan zaman.
Memang, yang namanya konsultasi publik, tentu yang diharapkan adalah masukan dari para stake holder, setelah terlebih dahulu dilakukan berbagai kajian terkait dengan rencana perubahan CA dan TWA menjadi taman nasional (TN). Namun, bisa pula kajian-kajian yang diungkap dalam agenda itu, termasuk masukan-masukannya, juga menjadi ilmu pengetahuan yang cukup berharga. Apalagi, proses pembahasan perubahan fungsi kawasan Ijen yang sekarang berstatus CA dan TWA akan diubah menjadi TN sudah berlangsung cukup lama, yaitu sejak tahun 2000. Kebetulan, saya juga tidak mengikutinya mulai awal terhadap gagasan menjadikan kawasan Ijen sebagai TN.
Saat ekspos hasil kajian dari berbagai aspek itu, banyak penanggap yang memberi masukan. Rekomendasi yang dihasilkan, semua peserta sepakat mendukung kawasan pegunungan Ijen menjadi TN. Sebab, dengan berubah status menjadi TN, maka ekosistem yang ada di kawasan Ijen akan semakin terlindungi dan dilestarikan. Mengingat, ekosistem di sana saat ini sebagian telah mengalami degradasi habitat tumbuhan dan satwa liar. Selain itu, dengan pengelolaan kawasan sistem zonasi bisa dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budi daya, pariwisata dan rekreasi.
Di samping itu, pengelolaan TN juga memperhatikan konservasi kawasan, penyidikan dan perlindungan hutan, pengembangan konservasi spesies dan genetik, pengendalian kebakaran hutan, serta pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan dan wisata alam. Kita semua tentu menginginkan potensi flora seperti eidelweis, cemara gunung, fasinium (sentigi gunung/delima montak) dan potensi fauna seperti lutung, elang jawa dan ayam hutan tetap terjaga dan tidak punah. Termasuk fenomena alam di puncak Ijen seperti kawah berupa danau seluas 5.466 ha di ketinggian 2.368 meter di atas permukaan laut yang terlihat indah dan menakjubkan, tetap terjaga kelestariannya.
Masih terngiang dalam ingatan saya saat melihat langsung keelokan kawah Ijen pada Agustus 2010 lalu bersama rombongan teman-teman Radar Banyuwangi. Subhanallah, di pagi menjelang siang itu, kita semua terkesima oleh eksotiknya air kawah yang volumenya sekitar 200 juta meter kubik memancarkan kemilau hijau keemasan dan berubah menjadi kebiru-biruan saat sinar mentari menerpa dari balik awan. Pemandangan indah lain, para penambang belerang yang sedang memikul hasil tambangnya juga menjadi obyek bidikan kamera para turis. Saat itu, memang banyak turis mancanegara yang datang ke sana. Jumlahnya jauh lebih banyak dari pada turis lokal.
Terlepas dari pesona di atas, harapan menjadikan Ijen sebagai TN bukan berarti tanpa kendala. Kekhawatiran yang muncul diantaranya pengelola TN tidak mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat di sekitar kawasan yang hidupnya tergantung dari sumber daya alam yang ada di dalamnya. Dan, yang lebih dianggap merepotkan lagi adalah rencana kegiatan ekplorasi dan eksploitasi tambang panas bumi. Sebab, kawasan CA dan TWA yang diusulkan menjadi TN dengan luas area minimal 7.560 hektare itu sebagian berada di wilayah kerja pertambangan (WKP) panas bumi.
Penetapan WKP panas bumi seluas 62.620 hektare di daerah Blawan – Ijen Kabupaten Situbondo, Banyuwangi dan Situbondo itu berdasarkan SK Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2472K/30/MEM/2008 tanggal 22 Oktober 2008. Dinas Kehutanan Provinsi Jatim juga sudah memberi masukan Gubernur Jatim agar tidak merekomendasi usulan Ijen - Raung menjadi TN dengan areal seluas 37.560 ha karena akan tumpang tindih dengan WKP. Apalagi, kini sudah ada perusahaan pemenang lelang yang akan mengelola WKP, yakni PT Cahaya Ijen Energi. Yang bisa direkomendasi untuk dijadikan TN hanya seluas 2.560 ha karena berada di luar WKP. Padahal, peserta konsultasi publik kemarin merekomendasikan kawasan Ijen yang diajukan sebagai TN seluas 7.560 ha.
Ada kekhawatiran pula, bila penambangan panas bumi nantinya beroperasi, maka akan mengganggu ekosistem yang ada di kawasan Ijen. Apalagi beberapa fauna di Ijen belakangan ini sudah mulai ada yang turun gunung, mungkin karena sudah tidak merasa aman lagi tinggal di atas. Diantaranya burung merak, yang sudah mulai masuk ke beberapa areal perkebunan di lereng gunung. Fenomena adanya hewan langka yang mulai keluar dari habitatnya itu diungkapkan H Syafik Udin, adm Perkebunan Lijen yang juga ketua Asosiasi Perkebunan Jatim Wilayah III. Bukan tidak mungkin, kalau ada suara-suara berisik dalam proses penambangan panas bumi, binatang-binatang langka di sana akan semakin banyak yang hengkang.
Menurut hemat saya, adanya dua kepentingan yang sama-sama membawa misi untuk kepentingan orang banyak ini harus diakomodir. Apalagi, kedua pihak sama-sama sudah melangkah lebih jauh. Tim teknis perubahan fungsi pegunungan Ijen menjadi TN sudah bekerja dan melakukan kajian cukup lama. Misinya juga cukup mulia, yaitu pelestarian alam yang memiliki ekosistem asli. Di lain pihak, pemerintah juga sudah menentukan kawasan dan pemenang lelang yang bakal mengeksplorasi energi panas bumi untuk pembangkit listrik. Jangan sampai masalah ini mematikan niat baik investor.
Agar kedua kepentingan ini bisa berjalan seiring dan tidak saling bertentangan, diperlukan langkah kompromi. Misalnya terkait dengan luas areal yang bakal dijadikan WKP dan titik-titik eksplorasi maupun eksploitasi penambangan energi panas bumi. Termasuk, meminimalisasi dampak dari kegiatan penambangan agar tidak sampai mengganggu potensi ekosistem, flora maupun fauna yang ada di sana.
Karena itu, perwakilan pemerintah yang menangani areal TWA dalam hal ini Kementerian Kehutanan dan pertambangan yang berada di bawah Kementerian ESDM harus secepatnya melakukan koordinasi. Khususnya melakukan langkah-langkah kompromistis yang bisa mengakomodir misi bersama dengan mengedepankan kepentingan yang lebih besar dan bermanfaat bagi orang banyak.
Yang juga perlu dipertimbangkan dan disosialisasikan ke masyarakat, benarkah penambangan itu aman dan tidak merusak ekosistem di sana? Termasuk juga, bisakah penambangan itu menghidupi warga yang menggantungkan hidupnya di kawasan itu atau mempekerjakannya? Selain itu, adakah kontribusi untuk penataan pelestarian lingkungan dan kontribusi untuk menambah pendapatan asli daerah (PAD) setempat?
Meski kemungkinan sudah ada hitungan sharing yang sudah dibuat dengan pemerintah pusat, bagaimanapun daerah juga harus tetap mendapat jatah pemasukan. Sebab, kalau tidak dibuat transparan sejak awal, biasanya akan bermasalah di kemudian hari seperti kasus penambangan minyak oleh Petro China di Bojonegoro. Apalagi, jalan menuju lokasi penambangan di Ijen bukan jalan nasional melainkan jalan daerah yang pembangunannya dibiayai dari APBD. Ada rencana, tahun depan akses jalan dari Banyuwangi menuju Ijen akan dibangun dengan biaya patungan dari APBD Banyuwangi dan APBD Jatim sebesar Rp 25 miliar.
Akhirnya, kita semua berharap, kawasan Ijen bisa tetap menjadi sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan dan terjaga kelestariannya serta menjadi primadona pariwisata alam dunia, meski banyak pihak yang ingin memanfaatkan potensinya. (cho@jawapos.co.id)
Komentar