Muncar Tercemar, Ikan Buyar, Nelayan Terkapar
Oleh: A. Choliq Baya
Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupmu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
PENGGALAN lirik lagu “Kolam Susu” yang pernah dinyanyikan Koes Ploes tahun tujuh puluhan itu menggambarkan bahwa bumi Indonesia sangat kaya. Sumber daya alam dan mineral di laut dan di darat seolah tak akan pernah habis untuk menghidupi dan menyejahterakan rakyat. Kekayaan alam yang sangat berlimpah itu juga ada di Bumi Blambangan. Hasil pertanian, perkebunan, hutan, laut, sumber air, hingga tambang emas, semua ada di daerah yang mendapat julukan Sun Rise of Java ini.
Sebagai daerah yang memiliki garis pantai cukup panjang, yakni 175,8 km, Banyuwangi juga menjadi salah satu penghasil ikan laut terbesar di Indonesia. Lokasi sumber ikan terbesar ada di Muncar. Oleh karena itu, di sini juga sudah disiapkan tempat pelelangan ikan (TPI) yang menangani distribusi hasil tangkapan ikan para nelayan. Sehingga, Muncar bagaikan kolam susu yang sangat menyegarkan bagi para nelayan dan pengusaha perikanan.
Karena begitu besar tangkapan ikan di sini, sangatlah wajar kalau di Muncar sekarang ada sekitar 90-an unit pabrik pengolahan dan pengalengan ikan yang bercokol sejak tahun 70-an. Hasilnya tidak hanya dijual di Banyuwangi dan kota-kota besar di Indonesia, tetapi juga diekspor ke mancanegara, baik dalam bentuk ikan mentah maupun ikan olahan. Ikan dalam kaleng dengan merek-merek terkenal yang biasa kita jumpai di supermarket juga diproduksi di Muncar.
Melimpahnya hasil ikan di Muncar juga menarik Kementerian Kelautan dan Perikanan membuat kawasan ekonomi terpadu. Sejak tahun 2010, kementerian ini sudah menyiapkan Muncar bersama 15 daerah lain di Indonesia sebagai kawasan minapolitan. Yakni, sebuah kawasan pembangunan ekonomi terpadu berbasis kelautan dan perikanan. Penggerak utama ekonomi di kawasan minapolitan dapat berupa kegiatan produksi dan perdagangan perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan pengolahan ikan.
Sayang, kebanggaan akan kekayaan sumber daya laut itu sedikit demi sedikit memudar. Terutama, ketika para nelayan Muncar sering mengeluh tak dapat ikan yang memuaskan seperti tahun-tahun sebelumnya. Kondisi ini menyebabkan satu per satu pabrik pengolahan dan pengalengan ikan gulung tikar, khususnya yang volume produksi dan modal usahanya tergolong kecil. Pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) terus bertambah, termasuk yang kini masih berstatus sebagai buruh pabrik juga dihantui bayang-bayang PHK.
Keprihatinan kita semakin membuncah menjadi kekecewaan mendalam ketika mengetahui penyebab menghilangnya ikan dari perairan Muncar akibat air laut tercemar limbah. Lebih menyakitkan lagi, ternyata limbah yang mencemari laut itu berasal dari pabrik-pabrik pengolahan dan pengalengan ikan di Muncar. Pabrik-pabrik itu seenaknya membuang limbah ke sungai yang airnya mengalir ke laut. Dampaknya, ikan-ikan banyak yang kabur dari perairan Muncar. Sebab, pencemaran di Muncar, baik di sungai maupun di laut, tergolong sangat parah.
Hasil penelitian terbaru Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta tahun 2010 mengungkapkan, tingkat pencemaran sudah menjangkau kawasan perairan Muncar sejauh 200 hingga 350 meter dari bibir pantai. Termasuk, sungai-sungai di Muncar yang dijadikan tempat pembuangan limbah, seperti Kali Mati, Kali Tratas, dan Kali Moro, kondisinya tergolong sangat parah. Bahkan, menurut tim dari Badan Pengawas Lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yang terjun ke Banyuwangi dua hari lalu, tingkat pencemaran di sungai dan laut Muncar tergolong terparah di Indonesia. Sebab, BOD (biological oxygen demand) atau kebutuhan oksigen biologis untuk memecah bahan buangan di dalam air oleh mikroorganisme dan COD (chemical oxygen demand) atau kebutuhan oksigen kimia untuk reaksi oksidasi terhadap bahan buangan di dalam air sangat tinggi.
Misalnya, hasil uji laboratorium tahun 2010, tingkat BOD di permukaan air laut Muncar jarak 350 meter dari pantai sudah mencapai 34 mg/L. Padahal standar baku mutu BOD di situ 20 mg/L. Itu menunjukkan bahwa pencemaran di laut Muncar sudah sangat parah. Wajar kalau ikan tak ada yang berani berkeliaran di laut Muncar. Kalau di laut saja sudah parah pencemarannya, apalagi sungainya, pasti jauh lebih parah.
Hampir seluruh pabrik di Muncar memiliki andil besar dalam pencemaran sungai dan laut karena tidak memiliki instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Sejak tahun 2007, BPPT sudah merilis hasil penelitian tentang pencemaran akibat limbah cair pabrik di Muncar. KLH pun juga sudah memperingatkan pemilik pabrik agar segera melengkapi IPAL, termasuk memberi rapor hitam kepada lima pabrik besar; PT. Sumber Yala Samudra, PT. Maya Muncar, PT. Blambangan Food Peacher Indonesia, CV. Pasific Harvest, dan PT. Avilla Prima Intra Makmur.
Anehnya, pabrik-pabrik itu hingga kini tetap mokong. Terbukti, hasil penelitian BPPT tahun 2010 kemarin, pabrik-pabrik itu masih belum dilengkapi IPAL. Kini pabrik yang mendapat rapor hitam bertambah tiga, yaitu PT. Sari Food, PT. Sari Laut, dan PT. Prima Lautan. Hanya ada satu pabrik yang sudah menyiapkan IPAL, yakni PT. Maya Muncar. Itu pun setelah yang bersangkutan didesak buyer dari Amerika. Kalau tidak dilengkapi IPAL, importer dari Amerika itu tak mau lagi membeli produk dari pabriknya. Sekarang IPAL itu sudah diujicobakan. Bulan depan diperkirakan sudah bisa beroperasi secara normal. Semoga hal ini juga diikuti pabrik lain.
Sejatinya, pabrik-pabrik yang tidak dilengkapi IPAL itu sama saja telah membunuh kelangsungan hidup pabrik dan nelayan. Sebab, pabrik tidak lagi mendapat suplai ikan dari para nelayan Muncar akibat air laut di sana tercemar limbah pabrik. Sehingga, pabrik harus mendatangkan ikan dari daerah lain, termasuk mengimpor ikan lemuru dari Cina.
Pencemaran menyebabkan kerugian yang luar biasa, di antaranya rusaknya lingkungan hidup, tutupnya beberapa pabrik, meningkatnya pengangguran akibat PHK, matinya mata pencaharian para nelayan, dan terancamnya kelangsungan hidup generasi penerus akibat berkurangnya suplai ikan di laut Muncar. Itu semua akibat keserakahan para pemilik pabrik yang hanya berorientasi mengeruk keuntungan semata-mata tanpa mempedulikan lingkungan sekitar.
Minimnya kepedulian para pengusaha terhadap lingkungan di Muncar juga disoroti pemda dan masyarakat sekitar. Terutama, minimnya anggaran program corporate social responsibility (CSR) yang tidak tampak realisasinya untuk perbaikan lingkungan sekitar. Lihat saja jalan-jalan di sekitar pabrik, kondisinya amburadul. Taman dan ruang hijau terlihat jorok, kotor, tak terawat. Selokan-selokan di sekitar pabrik juga penuh limbah, sampah, dan busuk.
Tak adakah kepedulian dan upaya untuk mengeruk selokan dan sungai yang sudah dipadati limbah pabrik? Termasuk, bergotong royong membangun jalan yang rusak? Haruskah perbaikan semua itu menunggu turun tangan pemerintah? Padahal, sudah banyak keuntungan yang mereka keruk dari laut Muncar.
Anehnya, kontribusi pajak mereka terhadap pendapatan asli daerah (PAD) tergolong sangat kecil dibandingkan keuntungan yang diraih. Total pajak seluruh pabrik di sana dalam setahun hanya sekitar Rp 200 juta. Pajak itu tentu masih kurang banyak bila digunakan untuk memperbaiki jalan atau infrastruktur di Muncar. Apalagi membersihkan limbah di selokan, sungai, dan pantai.
Melihat kondisi yang sangat parah ini, sudah saatnya ada sikap tegas dari pemerintah daerah untuk memberikan punishment kepada pabrik-pabrik yang mokong. Kalau sudah beberapa kali diberi peringatan dan hasil penelitian BBPT maupun audit dari KLH masih terus-menerus menunjukkan rapor hitam, maka kini waktunya membawa mereka ke ranah hukum. Apalagi, dalam paparan hasil audit KLH di Pemkab Banyuwangi Selasa malam lalu, Kapolres Banyuwangi siap mem-back up proses penegakan hukum bersama institusi hukum yang lain.
Komentar