Persewangiku Sayang, Persewangiku Malang
Oleh A. Choliq Baya
PEKAN lalu sebelum bertolak ke Madiun mengawal
tim kesayangannya melawan Madiun Putra, Manager Persewangi H. Nanang Nur Ahmadi
beserta beberapa jajarannya datang ke kantor menemui saya. Ia ‘’curhat’’
seputar nasib tim Persewangi yang ditanganinya. Menurutnya, Persewangi berjalan
tertatih-tatih karena anggaran minim. Lantaran belum ada sumber pendanaan yang
jelas, manager Persewangi itu pun harus menalangi
biaya operasional, uang kontrak, dan gaji pemain, dengan uang pribadi dan utang
dari PSSI.
Kondisi itu tentu tidak akan bisa berlangsung lama. Sebab,
kemampuan finansial pengurus Persewangi ada batasnya. Apalagi, bila tidak ada
pihak lain yang peduli dan menyokong pendanaan Persewangi yang kini berlaga di
pentas divisi utama Liga Primier Indonesia (LPI). Bahkan, pemerintah daerah,
pengusaha, dan para sponsor, terkesan tidak peduli. Nanang pun akhirnya
berpikir realistis, lebih baik menghentikan langkah Persewangi di tengah jalan
dari pada dia babak belur menanggung banyak utang.
Kalau hal itu sampai terjadi, betapa malunya publik
Banyuwangi, khususnya para Laros Mania yang selama ini telah total mendukung
para punggawa Persewangi di pentas sepak bola nasional. Perjuangan panjang tak
kenal lelah dari para pemain, pengurus, dan suporter, mulai dari pentas divisi
I hingga divisi utama seolah tidak berarti. Apalagi, kali ini adalah kiprah
pertama Persewangi di divisi utama yang dihelat PSSI.
Ya, Persewangi kini sudah naik kelas ke sepak bola
profesional. Konsekuensinya, memang harus bisa mandiri, terutama dalam menghidupi
tim. Pengurus tidak boleh hanya mengandalkan dana dari APBD sebagaimana
tahun-tahun sebelumnya. Sebab, APBD memang dilarang digunakan untuk mendanai
sepak bola profesional. Aturannya sudah jelas, yakni Permendagri Nomor 21 Tahun 2011
yang diterbitkan 23 Mei 2011 tentang perubahan kedua dari Permendagri Nomor 13 Tahun
2006 tentang pedoman pengelola keuangan daerah.
L`rangan itu juga diperkuat Permendagri Nomor 22 Tahun
2011 tentang pedoman penyusunan APBD tahun anggaran 2012. Dalam Pasal 6
ayat (4) Permendagri No. 32 Tahun 2011 ditegaskan dengan rumusan berikut:
‘’Hibah kepada masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 huruf d diberikan kepada kelompok orang yang memiliki
kegiatan tertentu dalam bidang perekonomian, pendidikan, kesehatan, keagamaan,
kesenian, adat istiadat, dan keolahragaan
non-profesional.’’
Meski demikian, larangan penggunaan APBD untuk sepak
bola profesional itu bukan berarti sebagai lonceng kematian Persewangi. Kalau
sampai pengurus benar-benar menyerah di tengah jalan, maka Persewangi harus
turun kasta lagi ke divisi I. Tak hanya itu, pengurus harus membayar denda ke
PSSI Rp 100 juta karena mengundurkan diri dari pentas sepak bola divisi utama.
Sangat tragis dan memalukan, karena itu juga bisa mencoreng eksistensi dan
kewibawaan pemerintah dan masyarakat Banyuwangi.
Dilema itu pula yang membuat pengurus Persewangi
hingga kini masih punya semangat mempertahankan diri. Tentu, dengan harapan ada
dewa penolong yang bisa diajak memperjuangkan tim. Dewa penolong pertama yang
dimaksud adalah bupati Banyuwangi. Bupati diharapkan bisa menggunakan
kekuasaannya untuk menyelamatkan Persewangi. Bupati bisa menopang sekaligus
mencarikan terobosan yang lebih konkret agar kesebelasan kebanggaan warga
Banyuwangi itu bisa eksis dan tetap berkiprah di pentas divisi utama.
Dalam curhat-nya,
manager Persewangi sangat iri dengan klub-klub daerah lain yang sangat diperhatikan
dan diperjuangkan kepala daerahnya. Misalnya, kesebelasan tetangga kita: Persid
Jember yang sekarang juga berlaga di pentas divisi utama Liga Super Indonesia
(LSI). Bupati Jember sangat care dan
ikut berjuang mencarikan kebutuhan tim. Misalnya, mencarikan terobosan anggaran
dan menyediakan kendaraan milik pemkab untuk Persid. Sementara, saat manajemen
Persewangi mengajukan pinjaman kendaraan ke Pemkab Banyuwangi, ternyata tidak
diperkenankan.
Padahal, kalau performa Persewangi baik, apalagi
sampai menjadi juara, pasti dampaknya bisa mengangkat dan mengharumkan nama
daerah. Kota berjuluk the Sunrise of Java
ini pasti akan lebih dikenal dan diperhitungkan, tidak hanya di dalam negeri
tapi juga di luar negeri. Salah satu
kota kecil yang namanya mencuat di dunia internasional berkat tim sepak bolanya
adalah Lamongan. Kesebelasan asal Kota Tahu Campur itu beberapa kali muncul di
televisi asing berkat keandalan tim Persela saat Lamongan dikendalikan Bupati
Masfuk.
Tak hanya itu, tim sepak bola daerah juga bisa
menumbuhkan mental positif terhadap warga, baik yang ada di dalam maupun di
luar daerah. Seperti tumbuhnya jiwa fanatisme kedaerahan, nasionalisme,
kesetiakawanan sosial, solidaritas sosial, termasuk memperkokoh persatuan dan
kesatuan. Secara ekonomis, saat digelar pertandingan di kandang sendiri, sepak
bola bisa memacu roda perekonomian. Sebab, akan banyak pedagang kaki lima yang menjual
makanan, atribut tim kesebelasan, juru parkir, jasa angkutan umum, dan pemilik
hotel, yang mendapat berkah.
Akankah Persewangi yang menjadi tim kesayangan warga Bumi
Blambangan itu bernasib malang dan tragis? Saya yakin banyak pihak yang tidak
menginginkan perjuangan Persewangi berhenti di tengah jalan. Kalau beberapa
langkah yang telah dicoba manajemen tidak membuahkan hasil, maka elemen
masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap olah raga paling banyak
penggemarnya itu harus cepat-cepat turun tangan.
Dukungan dan bantuan yang paling banyak diharapkan adalah
good wiil kepala daerah. Bupati bisa
menggunakan power-nya untuk
mempengaruhi pihak-pihak terkait agar mau membantu Persewangi. Selain itu,
bupati juga bisa mencarikan sponsor atau orang tua asuh untuk membiayai tim.
Sponsor yang dimaksud adalah perusahaan-perusahaan di Banyuwangi maupun yang
punya ikatan kuat dengan daerah ini. Bisa pula membuat acara amal dan membuat
instruksi kepada seluruh pegawai pemerintahan dan jajaran samping agar
mengucurkan bantuan sebagaimana diberikan kepada panitia pembangunan Masjid
Agung Baiturrahman.
Bahkan, ketika manajemen meminta masukan untuk
mengatasi krisis anggaran, saya menyarankan agar menggunakan cara konvensional
dan tradisional, yaitu, penggalangan sumbangan melalui pengajian atau istighotsah. Tentu harus mendatangkan
kiai khusus yang ahli dalam menggalang sedekah masal. Dalam pengajian tersebut,
para suporter Persewangi dikerahkan semua, PNS juga diimbau datang, dan masyarakat
umum yang punya kepedulian terhadap Persewangi. Tempat pengajian bisa di Stadion
Diponegoro. Saat sang kiai berceramah, surban
dan kardus kosong bisa diedarkan ke seluruh jamaah.
Dengan banyak orang yang mendoakan dan
menyumbang Persewangi (meski mungkin nilainya tidak besar), tapi insya-Allah akan banyak mendatangkan
berkah. Semoga Persewangi tetap disayang warga Banyuwangi dan tidak bernasib
malang. (cho@jawapos.co.id)
Komentar