Gosip Jalanan
Mau tau gak mafia di Senayan
Kerjanya tukang buat peraturan
Bikin UUD ujung-ujungnya duit
UNTAIAN kalimat di atas merupakan penggalan dari syair lagu Gosip Jalanan yang biasa dinyanyikan grup band Slank. Lagu yang pernah dinyanyikan Slank saat kampanye antikorupsi di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini, awal pekan kemarin dipermasalahkan oleh beberapa anggota DPR. Bahkan, beberapa wakil rakyat dari komisi IV meminta Badan Kehormatan (BK) DPR supaya menggugat personel Slank ke pengadilan.
Sebab, lagu itu dianggap telah melecehkan sekaligus merendahkan martabat dan eksistensi mereka. Wakil rakyat yang terhormat itu tidak terima bila tugas dan wewenang yang dilakukan selama ini seringkali disoroti dan dikait-kaitkan dengan duit, terutama dalam menggodok undang-undang. Artinya, kelancaran pembahasan peraturan atau undang-undang yang akan digolkan ataupun disahkan tak bisa lepas dari duit. Dengan kata lain, ada money (uang) apa yang dipesan bisa jadi honey (madu). Ada arta, pesanan bisa ditata. Ada fulus pembahasan kebijakan bisa berjalan mulus.
Itulah ‘’gosip jalanan’’ yang sering muncul ke telinga kita. Dan, gosip itu tidak hanya menyorot kepada anggota dewan yang ada di pusat saja, tapi juga di daerah. Apakah itu terkait dengan pembahasan peraturan daerah (Perda), proyek-proyek mercusuar, pembahsan dan persetujuan APBD, perubahan APBD dan lain sebagainya. Termasuk diantaranya kasus pemekaran Kota Mojokerto yang melibatkan anggota DPRD Kota dan Kabupaten Mojokerto.
Sehingga, beberapa anggota dewan ingin menepis gosip jalanan yang mungkin dianggap murahan. Mereka ingin menunjukkan bahwa salah satu tugas dan wewenang anggota dewan adalah menggodok peraturan. Karena itu sudah merupakan kewajiban dari tugasnya, maka etikanya tidak boleh mengharapkan sesuatu dari pihak manapun. Apalagi sampai meminta sesuatu kepada pihak lain, terutama pihak-pihak yang terkait dengan peraturan yang sedang digodok di parlemen. Baginya, yang namanya tali asih, bingkisan, uang lelah, uang hadir, uang kopi, uang dok, dan aneka macam ‘’santunan’’ dari pihak terkait, apalagi uang suap, haram hukumnya.
Kalau memang komitmen seperti itu yang ingin dikedepankan oleh para anggota dewan, ya baguslah. Rakyat pasti akan angkat jempol. Tidak hanya satu jempol, tapi bisa jadi empat jempol yang ada di tangan dan kaki akan diangkat semua sebagai bentuk apresiasi dan rasa hormat yang begitu dalam. Sayangnya, ‘’komitmen suci’’ itu banyak dinodai oleh anggota dewan sendiri. Dan, secara otomatis juga mencoreng anggota dewan lainnya yang memang benar-benar tetap bisa memegang ‘’komitmen suci’’ itu.
Sudah sering kali kita mendengar gosip jalanan tentang merosotnya kredibilitas dewan karena terkait UUD (ujung ujungnya duit). Seperti yang sudah saya utarakan di atas, mulai dari uang kopi dan lain-lain, yang menurut agama bersifat subhat, abu-abu atau remang-remang, sampai yang jelas-jelas dalam bentuk uang suap yang haram. Misalnya, dugaan adanya suap senilai Rp 31,5 miliar kepada anggota DPR RI agar mengamandemen UU Bank Indonesia dan menyelesaikan BLBI.
Ada pula uang dari pejabat Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) sebesar Rp 1,52 miliar yang diduga mengalir ke saku para anggota dewan sebagai kompensasi persetujuan kenaikan anggaran pembangunan gedung Bapeten. Masih banyak lagi yang pernah mencuat ke media, seperti dana untuk anggota dewan dari dana non bujeter Kementerian Kelautan dan Perikanan ketika masih dijabat Rokhmin Dahuri yang kini masuk bui. Ada pula dugaan pemberian uang pelicin dari pengusaha catering jemaah haji dan pemondokan haji kepada anggota dewan untuk bantuan negosiasi ke Depag agar perusahaannya mendapat job kontrak.
Yang paling baru, terungkap empat hari lalu. Seorang anggota DPR menerima uang suap dari Sekdakab Bintan Kepulauan Riau agar menyetujui perombakan fungsi hutan lindung menjadi kawasan kota dan industri. Tragisnya lagi, praktik penyuapan itu terendus dan tertangkap langsung KPK di Hotel Ritz Carlton Jakarta. Kini penyuap maupun yang disuap sedang dalam pemeriksaan lebih lanjut. Kabar terakhir, ada dugaan yang terindikasi suap tidak hanya satu anggota DPR saja, ada lagi dua orang dari fraksi yang berbeda. Bahkan, ada pengakuan terbaru, kalau beberapa anggota Komisi IV DPR RI saat melakukan kunjungan ke Bintan pada Januari 2008 lalu telah menerima gratifikasi dari pemkab setempat masing-masing Rp 30 juta.
Kenyataan seperti di atas, kerap kali terjadi. Saat melakukan kunjungan ke daerah, seringkali pemda memberi tali asih dalam bentuk barang atau uang dalam amplop kepada anggota dewan. Apalagi kalau akan ada proyek atau bantuan dana dari pusat yang akan dikucurkan ke daerah, biasanya amplop yang diberikan isinya lebih tebal. Dengan harapan, anggota dewan itu mau membantu mengegolkan atau melancarkan turunnya proyek atau bantuan itu.
Tengara maupun kenyataan yang bisa merusak reputasi dewan seperti beberapa kasus di atas itulah yang mungkin mengilhami Slank menciptakan lagu Gosip Jalanan. Anehnya, ada anggota dewan yang merah telinganya, tidak terima dengan sindiran lagu itu. Bahkan, mereka berniat menggugat Slank ke pengadilan. Namun, begitu besoknya ada anggota DPR yang tertangkap basah KPK karena menerima suap dari Sekdakab Bintan, akhirnya DPR mengurungkan rencana gugatannya. Sebab, kebenaran dari lagu Gosip Jalanan itu sudah dijawab sendiri oleh perbuatan tidak terpuji yang dilakukan oknum anggota DPR.
Beberapa kasus yang terungkap seperti di atas, bisa jadi hanyalah fenomena puncak gunung es. Artinya, masih banyak kasus serupa yang tidak terungkap. Atau sudah sedikit terkuak, tapi penyidikannya kurang serius atau ada yang dipetieskan karena adanya suap. Lain waktu, kasus itu bisa dibuka lagi kalau pimpinan atau aparat hukumnya ganti orang baru.
Ini jadi keprihatinan sekaligus jadi evaluasi untuk kali kesekian bagi para anggota dewan, para eksekutif, sekaligus aparat penegak keadilan. Meski KPK sekarang semakin runcing taringnya, anehnya tak membuat wakil rakyat kita atau para birokrat di eksekutif keder dalam menyiasati pelanggaran yang dilakukan. Sebab, beberapa diantara mereka masih ada yang serakah ingin menguasai uang negara. Caranya dengan mencari peluang atau cara lain untuk mengindar dari jeratan hukum.
Sekedar mengingatkan, kalau saat ini pelanggaran yang dilakukan tidak atau belum terendus oleh proses hukum, bukan berarti sudah aman. Apalagi, hukum yang ada sekarang banyak yang berlaku surut. Mungkin besok, lusa atau ketika para anggota dewan itu sudah pensiun, tidak tertutup kemungkinan akan dibuka lagi kasusnya. Itu berarti akan mengganggu masa tuanya, lebih-lebih bila harus dihabiskan di penjara sampai akhir hayat. Naudzubillahi min dzalik. (choliqbaya@gmail.com)
Kerjanya tukang buat peraturan
Bikin UUD ujung-ujungnya duit
UNTAIAN kalimat di atas merupakan penggalan dari syair lagu Gosip Jalanan yang biasa dinyanyikan grup band Slank. Lagu yang pernah dinyanyikan Slank saat kampanye antikorupsi di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini, awal pekan kemarin dipermasalahkan oleh beberapa anggota DPR. Bahkan, beberapa wakil rakyat dari komisi IV meminta Badan Kehormatan (BK) DPR supaya menggugat personel Slank ke pengadilan.
Sebab, lagu itu dianggap telah melecehkan sekaligus merendahkan martabat dan eksistensi mereka. Wakil rakyat yang terhormat itu tidak terima bila tugas dan wewenang yang dilakukan selama ini seringkali disoroti dan dikait-kaitkan dengan duit, terutama dalam menggodok undang-undang. Artinya, kelancaran pembahasan peraturan atau undang-undang yang akan digolkan ataupun disahkan tak bisa lepas dari duit. Dengan kata lain, ada money (uang) apa yang dipesan bisa jadi honey (madu). Ada arta, pesanan bisa ditata. Ada fulus pembahasan kebijakan bisa berjalan mulus.
Itulah ‘’gosip jalanan’’ yang sering muncul ke telinga kita. Dan, gosip itu tidak hanya menyorot kepada anggota dewan yang ada di pusat saja, tapi juga di daerah. Apakah itu terkait dengan pembahasan peraturan daerah (Perda), proyek-proyek mercusuar, pembahsan dan persetujuan APBD, perubahan APBD dan lain sebagainya. Termasuk diantaranya kasus pemekaran Kota Mojokerto yang melibatkan anggota DPRD Kota dan Kabupaten Mojokerto.
Sehingga, beberapa anggota dewan ingin menepis gosip jalanan yang mungkin dianggap murahan. Mereka ingin menunjukkan bahwa salah satu tugas dan wewenang anggota dewan adalah menggodok peraturan. Karena itu sudah merupakan kewajiban dari tugasnya, maka etikanya tidak boleh mengharapkan sesuatu dari pihak manapun. Apalagi sampai meminta sesuatu kepada pihak lain, terutama pihak-pihak yang terkait dengan peraturan yang sedang digodok di parlemen. Baginya, yang namanya tali asih, bingkisan, uang lelah, uang hadir, uang kopi, uang dok, dan aneka macam ‘’santunan’’ dari pihak terkait, apalagi uang suap, haram hukumnya.
Kalau memang komitmen seperti itu yang ingin dikedepankan oleh para anggota dewan, ya baguslah. Rakyat pasti akan angkat jempol. Tidak hanya satu jempol, tapi bisa jadi empat jempol yang ada di tangan dan kaki akan diangkat semua sebagai bentuk apresiasi dan rasa hormat yang begitu dalam. Sayangnya, ‘’komitmen suci’’ itu banyak dinodai oleh anggota dewan sendiri. Dan, secara otomatis juga mencoreng anggota dewan lainnya yang memang benar-benar tetap bisa memegang ‘’komitmen suci’’ itu.
Sudah sering kali kita mendengar gosip jalanan tentang merosotnya kredibilitas dewan karena terkait UUD (ujung ujungnya duit). Seperti yang sudah saya utarakan di atas, mulai dari uang kopi dan lain-lain, yang menurut agama bersifat subhat, abu-abu atau remang-remang, sampai yang jelas-jelas dalam bentuk uang suap yang haram. Misalnya, dugaan adanya suap senilai Rp 31,5 miliar kepada anggota DPR RI agar mengamandemen UU Bank Indonesia dan menyelesaikan BLBI.
Ada pula uang dari pejabat Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) sebesar Rp 1,52 miliar yang diduga mengalir ke saku para anggota dewan sebagai kompensasi persetujuan kenaikan anggaran pembangunan gedung Bapeten. Masih banyak lagi yang pernah mencuat ke media, seperti dana untuk anggota dewan dari dana non bujeter Kementerian Kelautan dan Perikanan ketika masih dijabat Rokhmin Dahuri yang kini masuk bui. Ada pula dugaan pemberian uang pelicin dari pengusaha catering jemaah haji dan pemondokan haji kepada anggota dewan untuk bantuan negosiasi ke Depag agar perusahaannya mendapat job kontrak.
Yang paling baru, terungkap empat hari lalu. Seorang anggota DPR menerima uang suap dari Sekdakab Bintan Kepulauan Riau agar menyetujui perombakan fungsi hutan lindung menjadi kawasan kota dan industri. Tragisnya lagi, praktik penyuapan itu terendus dan tertangkap langsung KPK di Hotel Ritz Carlton Jakarta. Kini penyuap maupun yang disuap sedang dalam pemeriksaan lebih lanjut. Kabar terakhir, ada dugaan yang terindikasi suap tidak hanya satu anggota DPR saja, ada lagi dua orang dari fraksi yang berbeda. Bahkan, ada pengakuan terbaru, kalau beberapa anggota Komisi IV DPR RI saat melakukan kunjungan ke Bintan pada Januari 2008 lalu telah menerima gratifikasi dari pemkab setempat masing-masing Rp 30 juta.
Kenyataan seperti di atas, kerap kali terjadi. Saat melakukan kunjungan ke daerah, seringkali pemda memberi tali asih dalam bentuk barang atau uang dalam amplop kepada anggota dewan. Apalagi kalau akan ada proyek atau bantuan dana dari pusat yang akan dikucurkan ke daerah, biasanya amplop yang diberikan isinya lebih tebal. Dengan harapan, anggota dewan itu mau membantu mengegolkan atau melancarkan turunnya proyek atau bantuan itu.
Tengara maupun kenyataan yang bisa merusak reputasi dewan seperti beberapa kasus di atas itulah yang mungkin mengilhami Slank menciptakan lagu Gosip Jalanan. Anehnya, ada anggota dewan yang merah telinganya, tidak terima dengan sindiran lagu itu. Bahkan, mereka berniat menggugat Slank ke pengadilan. Namun, begitu besoknya ada anggota DPR yang tertangkap basah KPK karena menerima suap dari Sekdakab Bintan, akhirnya DPR mengurungkan rencana gugatannya. Sebab, kebenaran dari lagu Gosip Jalanan itu sudah dijawab sendiri oleh perbuatan tidak terpuji yang dilakukan oknum anggota DPR.
Beberapa kasus yang terungkap seperti di atas, bisa jadi hanyalah fenomena puncak gunung es. Artinya, masih banyak kasus serupa yang tidak terungkap. Atau sudah sedikit terkuak, tapi penyidikannya kurang serius atau ada yang dipetieskan karena adanya suap. Lain waktu, kasus itu bisa dibuka lagi kalau pimpinan atau aparat hukumnya ganti orang baru.
Ini jadi keprihatinan sekaligus jadi evaluasi untuk kali kesekian bagi para anggota dewan, para eksekutif, sekaligus aparat penegak keadilan. Meski KPK sekarang semakin runcing taringnya, anehnya tak membuat wakil rakyat kita atau para birokrat di eksekutif keder dalam menyiasati pelanggaran yang dilakukan. Sebab, beberapa diantara mereka masih ada yang serakah ingin menguasai uang negara. Caranya dengan mencari peluang atau cara lain untuk mengindar dari jeratan hukum.
Sekedar mengingatkan, kalau saat ini pelanggaran yang dilakukan tidak atau belum terendus oleh proses hukum, bukan berarti sudah aman. Apalagi, hukum yang ada sekarang banyak yang berlaku surut. Mungkin besok, lusa atau ketika para anggota dewan itu sudah pensiun, tidak tertutup kemungkinan akan dibuka lagi kasusnya. Itu berarti akan mengganggu masa tuanya, lebih-lebih bila harus dihabiskan di penjara sampai akhir hayat. Naudzubillahi min dzalik. (choliqbaya@gmail.com)
Komentar