Program Kemiskinan
WARGA kelas bawah maupun kelas menengah ke atas, sudah sejak beberapa minggu ini dicekam kepanikan. Pasalnya, sumber energi utama untuk kompor di dapur supaya bisa ngebul, yaitu minyak tanah (mitan) atau elpiji, tiba-tiba menjadi langka di pasaran. Akibatnya, banyak ibu-ibu rumah tangga yang panik karena tidak bisa menyiapkan masakan untuk keluarganya. Sementara bila menggunakan energi listrik untuk memasak, diperlukan peralatan khusus yang harganya kebanyakan hanya bisa dijangkau warga masyarakat kelas menengah ke atas. Di samping itu, biaya yang dikeluarkan jauh lebih mahal dari pada memakai mitan atau elpiji.
Demi asap dapur agar tetap bisa ngebul, warga harus rela antri berjam-jam di pangkalan minyak tanah. Itupun, kalau barangnya ada. Terkadang, untuk menunggu pasokan mitan dari Pertamina, selaku penguasa tunggal monopoli BBM di negeri ini, jerigen kosong milik warga harus sudah antri sampai berhari-hari. Begitu pasokan datang, hanya dalam beberapa jam mitan sudah langsung ludes.
Kondisi hampir serupa juga menimpa para konsumen elpiji. Para ibu rumah tangga banyak yang kelimpungan untuk mendapatkan elpiji. Beberapa warga di Surabaya terpaksa harus antri panjang untuk bisa mendapatkan elpiji meski dengan harga yang cukup tinggi. Yakni Rp 70 ribu hingga Rp 80 ribu. Bahkan, di Jombang harga elpiji tembus sampai Rp 85 ribu. Padahal, harga yang direkomendasi Pertamina kepada agen ataupun SPBU cuma Rp 51 ribu. Anehnya elpiji masih tetap langka di pasaran.
Kemana larinya mitan dan elpiji yang katanya Pertamina sudah dipasok melebihi kapasitas biasanya? Langkah konkret dari pemerintah maupun wakil rakyat kita juga tidak terlihat. Akankah kepanikan dan penderitaan rakyat ini terus dibiarkan? Di sisi lain, rakyat juga menderita oleh naiknya harga kebutuhan pokok. Para ibu rumah tangga, mahasiswa, dan beberapa elemen masyarakat sudah tak tahan dengan penderitaan ini. Di beberapa daerah mereka ramai-ramai menggelar aksi demo minta pemerintah menurunkan harga kebutuhan pokok.
Sampai-sampai ada elemen mahasiswa di Jakarta yang membagi-bagikan beras kepada warga tak mampu sebagai bentuk sindiran kepada pemerintah yang tak berhasil menyejahterakan rakyatnya. Meski beras yang dibagi hanya satu kg untuk satu kepala keluarga (KK), warga rela antri dan berpanas ria di tengah sengatan terik matahari. Mereka berharap beras pemberian mahasiswa itu bisa mendatangkan berkah tersendiri. Sebab prosedurnya tidak berbelit-belit dan tidak ada penyunatan jatah seperti yang sering terjadi saat pembagian raskin.
Secara tidak langsung, fenomena langkanya mitan, elpiji, dan naiknya harga bahan kebutuhan pokok, telah menambah jumlah rakyat miskin di negeri kita. Aneka program untuk mengurangi penderitaan rakyat kecil maupun mengurangi jumlah penduduk miskin telah banyak dilakukan oleh pemerintah, tapi hasilnya belum signifikan. Padahal, dana yang digelontor cukup besar.
Misalnya, program konversi minyak tanah ke elpiji yang nantinya diharapkan bisa mengurangi subsidi BBM ke rakyat hingga kini belum tuntas. Untuk wilayah Jatim misalnya, programnya baru berlangsung di beberapa kota besar. Untuk Mojokerto dan Jombang masih belum tersentuh. Anehnya, program konversi belum berjalan, tapi pasokan mitan maupun elpiji sangat kurang hingga menyebabkan langka di pasaran.
Bagaimana bila mitan distop pemerintah dan seluruh warga sudah beralih memakai elpiji, tentu akan kacau balau kalau terjadi kelangkaan seperti sekarang. Padahal, program konversi mitan ke elpiji saat ini baru terjadi hanya di sebagian kecil daerah. Ini berarti strategi yang diterapkan pemerintah untuk menyukseskan program konversi ini sangat jauh dari harapan. Termasuk teknis pelaksanaannya di lapangan.
Terlebih lagi pemberian kompor gas dan tabung gas 3 kg secara gratis ke warga tak mampu itu, ternyata juga tidak sukses. Terbukti, beberapa warga di Surabaya ada yang menjual bantuan itu ke pihak lain. Alasannya, tak biasa memakai kompor gas sehingga takut meledak. Ini berarti sosialisasi yang dilakukan oleh petugas juga masih banyak yang belum mengena. Ditambah lagi juga tidak ada pengawasan ataupun sanksi kepada warga penerima bantuan bila sampai menjual barang bantuan itu.
Akankah program konversi mitan ke gas yang menelan dana triliunan rupiah ini akan amburadul? Harapan kita semua, tentu tidak. Hanya saja, pelaksanaan dari program itu harus benar-benar ditangani secara serius, teratur dan terarah dengan kesiapan dan perhitungan yang benar-benar matang. Termasuk petugas yang menyosialisasikan program ini dan pihak rekanan yang menyuplai kompor maupun tabung gasnya.
Kita tak ingin kasus program pengentasan kemiskinan dalam bentuk bantuan tunai langsung (BLT) seperti yang terjadi dua tahun lalu kembali terulang. Selain semakin banyak meningkatkan angka kemiskinan --karena banyak warga yang mengaku masuk kategori miskin agar dapat bantuan-- penyerahan BLT juga menelan beberapa korban. Banyak orang tua yang pingsan, bahkan tewas karena berdesak-desakan atau terinjak-injak saat menerima BLT. Sungguh mengenaskan.
Karena itu, penanganan program pengentasan kemiskinan dengan beraneka macam program, jangan sampai justru menyengsarakan mereka yang sudah miskin. Sebab, mereka sudah terlalu lama menderita, jangan tambah lagi penderitaannya. Tugas pemerintah beserta komponennya, harus bisa menyejahterakan kehidupan rakyatnya. Para pemimpin eksekutif maupun mereka yang ada di legislatif harus sering turun ke bawah, melihat langsung kondisi rakyatnya.
Ada hikmah yang bisa dicontoh dari kepemimpinan Umar bin Khattab saat menjadi kepala pemerintahan. Ketika sidak ke lapangan ia menemukan seorang ibu dengan tiga anaknya sedangkan kelaparan karena tidak ada bahan makanan yang bisa dimasak. Sampai-sampai si ibu berbohong kepada anaknya kalau sedang memasak makanan dalam kuali. Tapi, ketiga anaknya itu dipesan supaya tidak membuka kuali. Ditunggu cukup lama ternyata si ibu tidak kunjung membuka kuali yang ada di atas tungku. Sebab, isi kuali itu hanya air, tidak ada isi yang lain. Karena lelah menunggu, ketiga anaknya yang kelaparan itu akhirnya tertidur.
Mengetahui kondisi ini, hati Umar menjadi teriris. Ia merasa berdosa telah menelantarkan rakyatnya. Seketika itu juga, Umar bergegas menuju gudang makanan milik pemerintah. Diambilnya sekarung gandum dan dipikulnya sendiri untuk dibawa ke rumah seorang ibu dan tiga anaknya yang sedang kelaparan itu. Bahkan, Umar membantu memasakkan gandum. Setelah masak, ketiga anak yang tertidur itu dibangunkan untuk menikmati masakan. Si ibu itu tidak tahu kalau Umar itu seorang gubernur. Dia hanya berdoa semoga apa yang dilakukan Umar mendapat balasan berlipat ganda dari Yang Maha Kuasa. (choliqbaya@gmail.com)
Demi asap dapur agar tetap bisa ngebul, warga harus rela antri berjam-jam di pangkalan minyak tanah. Itupun, kalau barangnya ada. Terkadang, untuk menunggu pasokan mitan dari Pertamina, selaku penguasa tunggal monopoli BBM di negeri ini, jerigen kosong milik warga harus sudah antri sampai berhari-hari. Begitu pasokan datang, hanya dalam beberapa jam mitan sudah langsung ludes.
Kondisi hampir serupa juga menimpa para konsumen elpiji. Para ibu rumah tangga banyak yang kelimpungan untuk mendapatkan elpiji. Beberapa warga di Surabaya terpaksa harus antri panjang untuk bisa mendapatkan elpiji meski dengan harga yang cukup tinggi. Yakni Rp 70 ribu hingga Rp 80 ribu. Bahkan, di Jombang harga elpiji tembus sampai Rp 85 ribu. Padahal, harga yang direkomendasi Pertamina kepada agen ataupun SPBU cuma Rp 51 ribu. Anehnya elpiji masih tetap langka di pasaran.
Kemana larinya mitan dan elpiji yang katanya Pertamina sudah dipasok melebihi kapasitas biasanya? Langkah konkret dari pemerintah maupun wakil rakyat kita juga tidak terlihat. Akankah kepanikan dan penderitaan rakyat ini terus dibiarkan? Di sisi lain, rakyat juga menderita oleh naiknya harga kebutuhan pokok. Para ibu rumah tangga, mahasiswa, dan beberapa elemen masyarakat sudah tak tahan dengan penderitaan ini. Di beberapa daerah mereka ramai-ramai menggelar aksi demo minta pemerintah menurunkan harga kebutuhan pokok.
Sampai-sampai ada elemen mahasiswa di Jakarta yang membagi-bagikan beras kepada warga tak mampu sebagai bentuk sindiran kepada pemerintah yang tak berhasil menyejahterakan rakyatnya. Meski beras yang dibagi hanya satu kg untuk satu kepala keluarga (KK), warga rela antri dan berpanas ria di tengah sengatan terik matahari. Mereka berharap beras pemberian mahasiswa itu bisa mendatangkan berkah tersendiri. Sebab prosedurnya tidak berbelit-belit dan tidak ada penyunatan jatah seperti yang sering terjadi saat pembagian raskin.
Secara tidak langsung, fenomena langkanya mitan, elpiji, dan naiknya harga bahan kebutuhan pokok, telah menambah jumlah rakyat miskin di negeri kita. Aneka program untuk mengurangi penderitaan rakyat kecil maupun mengurangi jumlah penduduk miskin telah banyak dilakukan oleh pemerintah, tapi hasilnya belum signifikan. Padahal, dana yang digelontor cukup besar.
Misalnya, program konversi minyak tanah ke elpiji yang nantinya diharapkan bisa mengurangi subsidi BBM ke rakyat hingga kini belum tuntas. Untuk wilayah Jatim misalnya, programnya baru berlangsung di beberapa kota besar. Untuk Mojokerto dan Jombang masih belum tersentuh. Anehnya, program konversi belum berjalan, tapi pasokan mitan maupun elpiji sangat kurang hingga menyebabkan langka di pasaran.
Bagaimana bila mitan distop pemerintah dan seluruh warga sudah beralih memakai elpiji, tentu akan kacau balau kalau terjadi kelangkaan seperti sekarang. Padahal, program konversi mitan ke elpiji saat ini baru terjadi hanya di sebagian kecil daerah. Ini berarti strategi yang diterapkan pemerintah untuk menyukseskan program konversi ini sangat jauh dari harapan. Termasuk teknis pelaksanaannya di lapangan.
Terlebih lagi pemberian kompor gas dan tabung gas 3 kg secara gratis ke warga tak mampu itu, ternyata juga tidak sukses. Terbukti, beberapa warga di Surabaya ada yang menjual bantuan itu ke pihak lain. Alasannya, tak biasa memakai kompor gas sehingga takut meledak. Ini berarti sosialisasi yang dilakukan oleh petugas juga masih banyak yang belum mengena. Ditambah lagi juga tidak ada pengawasan ataupun sanksi kepada warga penerima bantuan bila sampai menjual barang bantuan itu.
Akankah program konversi mitan ke gas yang menelan dana triliunan rupiah ini akan amburadul? Harapan kita semua, tentu tidak. Hanya saja, pelaksanaan dari program itu harus benar-benar ditangani secara serius, teratur dan terarah dengan kesiapan dan perhitungan yang benar-benar matang. Termasuk petugas yang menyosialisasikan program ini dan pihak rekanan yang menyuplai kompor maupun tabung gasnya.
Kita tak ingin kasus program pengentasan kemiskinan dalam bentuk bantuan tunai langsung (BLT) seperti yang terjadi dua tahun lalu kembali terulang. Selain semakin banyak meningkatkan angka kemiskinan --karena banyak warga yang mengaku masuk kategori miskin agar dapat bantuan-- penyerahan BLT juga menelan beberapa korban. Banyak orang tua yang pingsan, bahkan tewas karena berdesak-desakan atau terinjak-injak saat menerima BLT. Sungguh mengenaskan.
Karena itu, penanganan program pengentasan kemiskinan dengan beraneka macam program, jangan sampai justru menyengsarakan mereka yang sudah miskin. Sebab, mereka sudah terlalu lama menderita, jangan tambah lagi penderitaannya. Tugas pemerintah beserta komponennya, harus bisa menyejahterakan kehidupan rakyatnya. Para pemimpin eksekutif maupun mereka yang ada di legislatif harus sering turun ke bawah, melihat langsung kondisi rakyatnya.
Ada hikmah yang bisa dicontoh dari kepemimpinan Umar bin Khattab saat menjadi kepala pemerintahan. Ketika sidak ke lapangan ia menemukan seorang ibu dengan tiga anaknya sedangkan kelaparan karena tidak ada bahan makanan yang bisa dimasak. Sampai-sampai si ibu berbohong kepada anaknya kalau sedang memasak makanan dalam kuali. Tapi, ketiga anaknya itu dipesan supaya tidak membuka kuali. Ditunggu cukup lama ternyata si ibu tidak kunjung membuka kuali yang ada di atas tungku. Sebab, isi kuali itu hanya air, tidak ada isi yang lain. Karena lelah menunggu, ketiga anaknya yang kelaparan itu akhirnya tertidur.
Mengetahui kondisi ini, hati Umar menjadi teriris. Ia merasa berdosa telah menelantarkan rakyatnya. Seketika itu juga, Umar bergegas menuju gudang makanan milik pemerintah. Diambilnya sekarung gandum dan dipikulnya sendiri untuk dibawa ke rumah seorang ibu dan tiga anaknya yang sedang kelaparan itu. Bahkan, Umar membantu memasakkan gandum. Setelah masak, ketiga anak yang tertidur itu dibangunkan untuk menikmati masakan. Si ibu itu tidak tahu kalau Umar itu seorang gubernur. Dia hanya berdoa semoga apa yang dilakukan Umar mendapat balasan berlipat ganda dari Yang Maha Kuasa. (choliqbaya@gmail.com)
Komentar