Evaluasi dan Tindak Lanjut BEC
Oleh: A. Choliq Baya
PERHELATAN seni budaya akbar yang
dikemas dalam bentuk karnaval bertajuk Banyuwangi
Ethno Carnival (BEC), akhirnya berlangsung dengan sukses dan meriah pada 22
Oktober lalu. kegiatan yang baru pertama kali digelar di Bumi Blambangan dan
rencananya akan dimasukkan kalender wisata tahunan ini cukup menyedot banyak
penonton. Tak hanya itu, beberapa jalan menuju ke arah kota, termasuk jalan
utama dari Rogojampi menuju kota Banyuwangi macet total sejak dua jam sebelum
BEC digelar. Ini berarti antusias masyarakat yang ingin menonton acara ini
cukup besar.
Tak ketinggalan, beberapa wisatawan
mancanegara (wisman) juga datang menikmati seni budaya dengan nuansa etnik
Banyuwangi. Meski jumlahnya tidak banyak, semoga mereka bisa jadi alat promosi
kita di negaranya. Kita berharap tahun depan jumlah wisman yang datang bisa
meningkat secara signifikan. Apalagi, jika masa persiapan, waktu pelaksanaan
dan promosi acara BEC digarap lebih dini dengan pertimbangan yang lebih matang,
pasti akan lebih meriah. Termasuk, multiplier
effect yang ditimbulkan untuk kemajuan dan peningkatan kesejahteraan rakyat
Banyuwangi akan lebih besar.
Presiden Direktur Jember Fashion Carnaval (JFC) Dynand
Fariz yang ikut merancang perhelatan akbar BEC mengakui, bahwa eksistensi BEC
jauh lebih baik dan prospektif. Untuk perhelatan karnaval perdana, penampilan
peserta dan antusias penonton sudah sangat luar biasa. Apalagi karnaval ini
juga ditunjang dengan konten seni budaya lokal yang memadukan busana, seni tari
dan seni musik khas Banyuwangi. Inilah yang tidak dimiliki JFC dan menjadi daya
tarik kuat BEC. Konfigurasi dan perpaduan tata warna busana peserta semakin
memperindah dan meningkatkan performance
BEC, sehingga menjadikan sajian yang berkelas.
Pada even perdana BEC yang melibatkan
400 lebih peserta Sabtu lalu, panitia mengusung tiga tema seni budaya asli
Banyuwangi yang dikemas secara modern dengan kostum kontemporer ala karnaval.
Masing-masing seni Gandrung, Damarwulan dan Kundaran. Karena Banyuwangi sangat
kaya akan aneka seni budaya, maka masih banyak yang bisa dieksplor untuk
diperkenalkan kepada khalayak dan dunia internasional. Sehingga, even BEC ini
diharapkan bisa menjadi daya tarik sekaligus pengungkit pariwisata agar para
wisman datang dan membelanjakan uangnya di bumi berjuluk the sun rise of Java.
Meski sudah berjalan cukup bagus,
bukan berarti even BEC tak ada kekurangan. Masih banyak celah yang harus
diperbaiki untuk meningkatkan performa maupun multiplier effect dari agenda ini yang bisa membawa dampak dan
manfaat bagi masyarakat. Khususnya menyangkut peningkatan kesejahteraan melalui
aneka usaha dan jasa yang dipasarkan saat berlangsungnya BEC maupun dampak
sesudahnya. Seperti, adanya pemesanan produk kerajinan, souvenir, makanan
olahan, atau produk lain dari beberapa pihak.
Untuk produk dari kalangan pelaku
usaha kecil menengah (UKM) saja, omzet yang berhasil diraih saat BEC
berlangsung bisa tembus sampai Rp 4 miliar. Itu belum termasuk pendapatan yang
masuk dari sektor jasa transportasi dan penginapan. Padahal, para pemilik hotel
dan jasa transportasi seperti travel, kereta api, pesawat dan pelayaran juga
mengalami lonjakan pengunjung dan penumpang. Hingga kini, belum diketahui
berapa besar kenaikan omzetnya saat ada even BEC.
Penambahan hunian hotel dan
lonjakan penumpang akan lebih banyak manakala biro perjalanan wisata yang ada
di Bali dan beberapa kota besar juga membuat paket wisata ke Banyuwangi. Ini
tampaknya yang belum tergarap. Sebab, pasca Dinas Pariwisata Banyuwangi dan
Jawa Timur menggelar Fam Trip ke
beberapa tempat wisata andalan yang ada di Banyuwangi, belum ada tindak lanjut
mengumpulkan biro perjalanan wisata. Padahal, Bupati Banyuwangi pernah
menjanjikan akan mengadakan acara gathering
dengan para agen perjalanan wisata di Bali. Tujuannya, agar mereka tahu potensi
wisata dan mau membuat paket wisata ke Banyuwangi.
Evaluasi lain yang perlu dibenahi
pada pelaksanaan BEC tahun depan adalah masalah keamanan di jalur karnaval. Minimnya
petugas keamanan, membuat penonton di kanan kiri jalur karnaval akhirnya
merangsek ke tengah, membuat jalur karnaval menyempit. Peserta karnavalpun
akhirnya terganggu karena tidak leluasa bergerak. Bahkan, tak jarang kostumnya yang
rata-rata menjuntai ke berbagai arah itu tersangkut penonton atau sesama
peserta. Terutama saat melintas di Jalan Ahmad Yani.
Kondisi ini diperparah dengan
tidak adanya petugas dari panitia yang mengawal peserta. Baik itu yang bertugas
memberi aba-aba ke peserta agar tidak terlalu lama berhenti, mengatur jarak antar
peserta, maupun mengamankan asesoris kostum peserta yang jatuh. Paling tidak,
setiap jarak 10 meter disediakan panitia khusus yang bertugas menangani
permasalahan di atas. Termasuk, melarang penonton yang nyelonong masuk minta
foto dengan peserta.
Selain masalah teknis, agar even
ini terus eksis dan bisa semakin menarik banyak wisatawan, semua stake holder di Banyuwangi diharapkan
ikut menindaklanjuti kegiatan ini agar bisa mendatangkan banyak manfaat.
Terutama dalam memromosikan ke berbagai pihak dimanapun berada agar BEC semakin
dikenal. Sehingga, BEC bisa sejajar dengan even besar yang lain seperti JFC, Solo Batik Carnival (SBC), Tomohon Flower Festival (TFF), Jogja Java Carnival (JVC), dan lain sebagainya.
Termasuk nantinya juga bisa menandingi even spektakuler di luar negeri seperti Pasadena Chalk Festival (PCF) di AS atau
Modern Brazilian Carnival (MBC) di
Brazil.
Caranya, dengan banyak mengekspos
gambar-gambar even BEC lewat internet, televisi, radio, majalah, koran, buku, brosur,
dan lain sebagainya. Dengan semakin banyaknya dokumentasi BEC dan obyek wisata
Banyuwangi, baik obyek alam, religi maupun seni budaya yang dieksplor ke luar, pasti
akan menjadikan daerah ini banyak dilirik wisatawan. Apalagi bila elemen
masyarakatnya kompak, tentu akan semakin cepat menjadikan Banyuwangi lebih
maju.
Sayangnya, tipologi masyarakat
Banyuwangi ini sangat kelewat ‘’dinamis’’. Kalau ada sesuatu yang baru selalu
jadi perdebatan, bahkan bisa jadi cemoohan. Kebiasaan ini sering terjadi di kalangan
seniman, budayawan, LSM, politisi dan aktivis organisasi. Ada semacam ketidakrelaan
kalau mereka tidak dilibatkan, tidak mendapat peran atau tidak memperoleh mainan
yang namanya ‘’proyek’’.
Tabiat lain yang sering mengemuka
adalah menganggap remeh karya orang lain dan terlalu membanggakan karya
sendiri. Dengan kata lain sifat ego atau keakuannya sangat tinggi. Baik itu terkait
karya seni, karya tulis maupun ide-ide kreatif yang lain. Mereka seolah tidak
terima ada pihak lain yang bisa berkarya meski karya itu sangat positif untuk
kemajuan daerah. Saya tidak bisa mengerti bila ada elemen masyarakat, khususnya
seniman atau budayawan yang punya pola pikir kerdil seperti itu, apa mungkin dia
takut tersaingi atau cemburu ya he.. he...
Padahal, bila seluruh potensi atau kekuatan yang ada
di daerah ini saling bersatu, biasa berfikir positif, tidak saling menjatuhkan
dan meremehkan, serta mengedepankan kebersamaan, pasti upaya memajukan Banyuwangi
akan lebih mudah dicapai. Meski demikian, bukan berarti ini menutup ruang
adanya perbedaan. Yang perlu dikedepankan adalah, bagaimana upaya memajukan
Banyuwangi ini bisa diakomodasi dari berbagai sisi. Bila ada perbedaan bisa
didialogkan untuk mencari solusi terbaik, bukan dengan cara menjelek-jelekkan dengan
prinsip asal beda. Semoga semua pihak
lebih jernih dalam berfikir untuk kemaslahatan Banyuwangi. (cho@jawapos.co.id)
Komentar