Membidik Adipura


Oleh A. Choliq Baya

MENYAKSIKAN keelokan kota Surabaya yang kian hari semakin asri, hijau, indah, dan bersih, terus terang saya jadi iri. Sebagai arek Suroboyo, sebenarnya saya ikut merasa bangga dengan jerih payah pemerintah dan masyarakat hingga mampu mewujudkan lingkungan kota menjadi cantik dan asri. Apalagi, upaya itu telah membuahkan prestasi berupa anugerah Adipura Kencana dari pemerintah pusat pada Juni 2011 lalu. Itu merupakan Adipura keenam yang diterima Kota Pahlawan.

Penghargaan Adipura hanya terfokus pada masalah pengelolaan kebersihan, sedangkan untuk bisa memperoleh penghargaan Adipura Kencana tahapannya ditingkatkan dengan menambah unsur penghijauan. Termasuk, pengelolaan lingkungan dan transportasi. Selain itu, yang membuat nilainya cukup besar adalah kegiatan sadar lingkungan yang melibatkan masyarakat.

Kapan ya Banyuwangi yang kotanya lebih kecil ini bisa disulap menjadi indah seperti Surabaya? Angan-angan saya itu mungkin kesannya terlalu berlebihan. Apalagi, pada penilaian Adipura tahun kemarin, Banyuwangi bersama lima kota lain mendapat predikat sebagai kota terkotor di Jawa Timur. Kelima kota lain itu adalah Bondowoso, Batu, Jember, Pamekasan, dan Pare (Kediri). Mana mungkin kota berlabel the Sunrise of Java ini bisa langsung melejit jadi kota yang indah, asri, hijau, dan bersih, seperti Surabaya?

Yang namanya angan-angan untuk mencapai sesuatu yang terbaik tentu sah-sah saja. Apalagi, menginginkan adanya kemajuan dan perbaikan untuk kota kita tercinta. Hal itu sekaligus sebagai penggugah motivasi bagi kita semua untuk berperanserta dalam mewujudkan kota kita tercinta terbebas dari predikat kota terkotor. Sebab, untuk mewujudkan semua harapan itu tidak hanya menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah tapi juga warga.


Pada Oktober tahun kemarin kota Banyuwangi disibukkan dengan permasalahan sampah yang berserak di mana-mana, tapi tahun ini sudah tidak ada. Hanya saja, yang agak saya sayangkan, kenapa pabrik pengolahan sampah yang sudah digagas sejak lama, bahkan investornya sudah memagangkan calon pegawainya di Bondowoso dan mulai membangun pabriknya, kini tidak ada kabar beritanya lagi. Padahal, salah satu yang jadi penilaian untuk memperoleh penghargaan Adipura sebagai supremasi tertinggi di bidang kebersihan lingkungan adalah memiliki tempat pembuangan akhir (TPA). Apalagi, bila TPA-nya terlihat asri dan bersih seperti yang dimiliki Kota Probolinggo dan Jombang, hampir bisa dipastikan dapat Adipura.

Demikian pula dengan yang namanya partisipasi masyarakat dalam program sadar lingkungan. Apabila bisa ditumbuhkan dan digerakkan dengan baik pasti bisa menjadi modal utama jadi kota yang bersih dan asri. Adanya program green and clean yang tiap tahun diselenggarakan Badan Lingkungan Hidup (BLH) tujuan utamanya tentu sangat baik. Hanya saja, mungkin strategi dalam menciptakan atau menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap kebersihan dan keasrian lingkungan yang kurang tepat.

Pasalnya, program yang dilakukan kurang bersifat massif, melainkan lebih banyak terfokus pada level aparat kelurahan, kecamatan, dan sebagian siswa sekolah. Dengan kata lain, masih belum menyentuh elemen masyarakat di level bawah. Sehingga, yang tergerak dan peduli hanya sebagian kecil anggota masyarakat di lingkungan yang dilombakan. Padahal, gerakan green and clean perlu menumbuhkan partisipasi masyarakat secara menyeluruh.

Selain itu, inovasi-inovasi baru terkait pengelolaan lingkungan juga perlu ditumbuhkan. Misalnya, bagaimana para siswa bisa memanfaatkan barang limbah menjadi sesuatu yang berharga, bahkan kalau bisa dijual. Bagaimana pula sampah rumah tangga bisa dimanfaatkan menjadi kompos atau dikelola dalam bentuk lain yang bermanfaat. Juga, membuat gebrakan lain seperti membentuk kader lingkungan, kontes putri lingkungan, menyelenggarakan bersih-bersih lingkungan yang bersifat masal, gerakan reboisasi masal, dan lain sebagainya. Inovasi-inovasi seperti itu bisa dijadikan pengungkit motivasi sekaligus menumbuhkan kesadaran untuk lebih peduli terhadap lingkungan.

Sebenarnya, tim penilai Adipura sudah pernah memberikan masukan saat datang ke Banyuwangi tahun lalu mengenai apa saja yang perlu dilakukan untuk mendongkrak daerah ini agar terbebas dari predikat kota terkotor. Tim juri yang salah satu di antaranya juga teman dekat saya pernah mengajak saya menghadap wakil bupati dan sekretaris daerah. Di sana dipaparkan beberapa program yang bisa dilakukan pemerintah dengan menggandeng media massa seperti yang dilakukan beberapa daerah. Tetapi, model program yang digelar BLH seperti yang berlangsung sekarang tak ada bedanya dengan tahun-tahun sebelumnya.

Pada bulan November seperti saat ini, biasanya tim penilai Adipura sudah mulai turun ke daerah untuk melaksanakan tugas. Oleh karena itu, sebaiknya jauh hari kita sudah melakukan antisipasi, terutama terkait penataan lingkungan dan proyek-proyek fisik yang bisa mengganggu penilaian, seperti penataan pedagang kaki lima (PKL), pembangunan taman, pengecatan markah, pemasangan rambu-rambu lalu-lintas, pembenahan lampu penerangan jalan umum, dan lain-lain. Tetapi, kenyataannya banyak proyek atau kegiatan penataan lingkungan yang masih berlangsung.

Salah satu yang membuat daerah ini kurang sedap dipandang adalah semrawut-nya tatanan PKL, terutama yang berada di tepi jalan protokol. Kalau hal itu terus dibiarkan, tentu akan semakin banyak PKL yang berjualan di pinggir jalan protokol. Oleh karena itu, sudah sewajarnya pemerintah membuat aturan mana jalan-jalan yang boleh digunakan berjualan dan mana yang tidak boleh. Hal itu tentu bukan bermaksud mematikan usaha PKL. Apalagi, kalau larangan berjualan di jalan-jalan tertentu itu sudah ada perdanya. Sebagai warga negara yang baik, kita semua harus mematuhi agar penghuni kota ini bisa tertib. Kita semua pasti akan merasa terganggu manakala trotoar yang seharusnya digunakan para pejalan kaki malah digunakan sebagai tempat berjualan.

Bagaimana dengan PKL yang sudah lama berjualan di tempat itu, bahkan sebelum perda larangan terbit? Tentu harus ada kompromi karena tujuannya demi kepentingan umum. Pemerintah tidak bisa semena-mena menggunakan kekuasaannya. PKL juga tidak bisa memaksakan kehendak untuk tetap bertahan. Apalagi, bila yang ditempati bukan lahan miliknya. Langkah komprominya adalah pemerintah harus menyediakan tempat relokasi yang representatif untuk pedagang. Sebelum itu juga harus dilakukan pendekatan persuasif kepada PKL agar mengerti tujuannya sehingga mereka bisa legawa.

Pemandangan lain yang kurang sedap dipandang adalah pembangunan taman yang kini sedang berlangsung, seperti di Jalan Yos Sudarso, pengecatan marka Jalan Brawijaya, renovasi Taman Sri Tanjung, dan beberapa tempat lain. Kita semua sangat mengapresiasi setiap perbaikan demi mempercantik kota ini. Tetapi, pemerintah selaku pemilik proyek juga harus mempertimbangkan masalah lain agar tidak merugikan kepentingan pihak dan bidang lain. Oleh karena itu, antisipasi terhadap munculnya persoalan lain juga harus dipertimbangkan secara matang agar ada keterpaduan dan tidak merugikan.

Di samping itu, yang masih terlihat kurang adalah hutan kota atau ruang terbuka hijau. Itu merupakan amanat undang-undang yang harus diakomodasi. Kota-kota besar, seperti Jakarta dan Surabya, yang begitu padat saja berani membongkar SPBU di tengah kota kemudian menyulapnya menjadi ruang terbuka hijau. Kenapa Kota Banyuwangi yang lahannya cukup luas, ruang terbuka hijaunya masih sangat minim?

Padahal, ruang terbuka hijau itu bisa digunakan sebagai tempat rekreasi keluarga. Selain itu, juga sebagai paru-paru kota sekaligus bisa mempercantik wajah kota. Coba amati wajah Kota Surabaya yang kian banyak ruang terbuka hijau di tengah kota. Di malam hari tampak indah dengan tambahan sorot lampu yang padang jingglang. Pagi dan malam, terutama pada hari libur, selalu dipenuhi warga yang ingin melepas lelah dan berolah raga. Tak jarang pula mereka yang ngenet melalui ponsel, ipad maupun netbook, memanfaatkan wifi gratis.

Suasana dan taman indah seperti itu baru akan dimulai di Banyuwangi. Salah satu yang akan disulap adalah Taman Sri Tanjung. Harapan kita semua, fasilitas untuk publik itu nanti benar-benar bisa dimanfaatkan warga kota. Sekaligus bisa menjadi ikon percontohan untuk membangun ruang terbuka hijau di lokasi lain. Semoga dengan adanya pembenahan tata kelola lingkungan seperti ini dan adanya dukungan berbagai pihak bisa menghapus citra Banyuwangi sebagai kota terkotor. Lebih bersyukur lagi bila bisa menghasilkan Adipura.
 (cho@jawapos.co.id)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prostitusi Kota Santri

Wartawan Abal-Abal

Promosi di Media Berkelas