Membersihkan Budaya Kongkalikong
Oleh: Choliq
Baya
BEBERAPA pekan ini media massa
cukup ramai memberitakan praktik kongkalikong yang dilakukan oleh anggota DPR
RI. Khususnya upaya pemerasan yang dilakukan oleh oknum wakil rakyat terhadap beberapa
Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kasus itu semakin menggelinding kencang ketika
Menteri BUMN Dahlan Iskan membeber adanya upaya pemerasan itu ke publik.
Bahkan, Dahlan menyerahkan nama-nama anggota dewan yang diduga memeras itu kepada
Badan Kehormatan (BK) DPR RI.
Sebenarnya,
praktik kongkalikong di jajaran legislatif ini bukan sesuatu yang baru tapi
sudah sangat lama terjadi. Ya, praktik jahat persekongkolan menggarong uang
negara ini memang sudah begitu membudaya. Beberapa oknum anggota DPR RI itu
sudah terbiasa meminta ataupun mengandalkan jatah dari perusahaan BUMN.
Apalagi, bila perusahaan BUMN itu akan mendapatkan kucuran dana dari APBN,
mereka biasanya lebih berani lagi ‘’memalak’’ BUMN. Padahal, tak jarang kucuran
anggaran yang diberikan itu dikarenakan BUMN itu sedang mengalami kerugian dan
butuh suntikan modal.
Pihak BUMN
yang dijadikan sapi perahpun banyak yang tidak berkutik dengan permintaan
legislator. Apalagi bila pengucuran anggaran itu dikaitkan dengan persetujuan dari
dewan, biasanya selalu ada uang ‘’balas jasa’’. Sebab, oknum anggota dewan yang
terhormat itu akan mengklaim tanpa ‘’jerih payah’’ darinya, anggaran tidak akan
bisa mengucur. Itulah ‘’perjuangan’’ yang selalu dikumandangkan seorang
legislator penjilat.
Bahkan, tak
jarang antara yang memeras dan yang diperas sudah saling ‘’menyadari’’ alias
tahu sama tahu (TST), bahkan bekerjasama untuk saling meng`mankan. Persekongkolan
jahat itu sudah demikian membudaya dalam birokrasi pemerintah kita dan baru
kali ini ada menteri yang berani membongkar. Termasuk melarang dengan keras
jajarannya yang mengelola BUMN berkongkalikong ataupun menyediakan ‘’upeti’’
untuk anggota dewan. Lebih baik tak mendapat kucuran anggaran dari pada terus
menerus dijadikan sapi perah. Demikian tekad sang menteri BUMN.
Praktik
senada juga banyak terjadi di lingkungan kementerian lain, termasuk menimpa pemerintah
daerah yang mendapat kucuran anggaran dari pusat. Sudah berapa banyak anggota
dewan dan pejabat pemerintah yang dijebloskan ke penjara karena bersekongkol
menggarong uang negara. Simak saja pengakuan anggota DPR RI Nazarudin,
tersangka kasus korupsi yang biasa mengondisikan proyek-proyek negara bernilai
miliaran hingga triliunan rupiah. Uang yang digarong mengalir ke beberapa
kolega yang ada di dewan, pengurus parpol dan pejabat pemerintah.
Yang lebih
memprihatinkan lagi, bantuan-bantuan sosial, pendidikan dan pelatihan
kewirausahaan untuk meningkatkan kualitas rakyat juga tak luput dipalak.
Pengalaman ini beberapa kali dialami oleh pengelola lembaga pendidikan dan
sosial milik teman kami yang dijanjikan mendapat bantuan dari kementerian.
Syaratnya membuat cuma proposal beserta keperluan administrasi yang dibutuhkan.
Proposal diajukan melalui anggota dewan, selanjutnya diteruskan ke koleganya
yang ada dikementerian. Setelah bantuan turun, anggota dewan itu minta jatah
untuk dirinya.
Mereka tidak
peduli bantuan yang diberikan itu untuk yayasan anak yatim, pondok pesantren
ataupun sekolah yang sudah rusak. Yang ada di benaknya, ia telah berbuat
‘’memperjuangkan’’ turunnya bantuan. Tentu, menurutnya, sangatlah layak kalau
hasil perjuangannya itu juga harus dihargai. Besarnya ‘’penghargaan’’ yang
diminta bervariasi antara 15 sampai 40 persen dari bantuan yang diterima.
Dalihnya, timbal balik sebagai ganti biaya ‘’perjuangan’’ itu tidak hanya untuk
dia saja, tapi akan dibagi dengan oknum di kementerian yang telah memberikan
bantuan.
Kebiasaan kongkalikong
di pusat yang dialami teman kami beberapa tahun lalu itu, juga terjadi di
daerah. Baik kongkalikong yang dilakukan anggota legislatif daerah dengan pemerintah
daerah, termasuk dengan jajaran satuan kerja pemerintah daerah (SKPD). Terutama
saat pembahasan raperda maupun saat pengesahan menjadi perda. Bentuk imbal
balik yang didapat legislatif sering diistilahkan macam-macam. Mulai dari
‘’uang kopi’’, ‘’uang gedok’’, ‘’tali asih’’, ‘’uang lembur’’, ‘’uang pelesir’’
dan masih banyak lagi.
Selain dengan
pemerintah daerah, praktik kongkalikong lain dari anggota dewan juga biasa dilakukan
dengan konstituennya. Terutama yang paling sering terjadi pada program jaring
aspirasi masyarakat (jasmas) yang dibiayai APBD. Program ini merupakan bagian
dari tebar pesona sekaligus investasi nama baik anggota dewan di mata
konstituennya karena membawa bantuan untuk pembangunan daerah. Hanya saja,
masih banyak anggota dewan yang nakal. Yaitu meminta jatah anggaran jasmas dengan alasan
dialah yang memperjuangkan anggaran itu.
Praktik
kongkalikong di jajaran birokrasi pemerintah, legislatif dan juga yudikatif ini
banyak mencederai nurani rakyat. Para abdi negara dianggap tidak serius dalam
mengelola negara karena beberapa oknum aparatnya telah menyalahgunakan wewenang
dan kekuasaannya. Kalau kondisinya terus begini dan tak kunjung ada perubahan,
maka rakyat akan menjadi apatis. Atau, bisa jadi sebaliknya, rakyat akan
melakukan perlawanan seperti yang terjadi pada era reformasi.
Tentu kita
tidak menginginkan adanya gejolak yang berlebihan. Kita semua ingin negara ini
tetap dalam kondisi yang kondusif. Aparat di lingkungan eksekutif, legislatif dan yudikatif harus berjalan dengan jujur,
bersih, adil dan sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku. Karena itu, semua
aparat pemerintah jangan coba-coba menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya.
Buang jauh-jauh kebiasaan kongkalikong yang bisa merugikan kepentingan dan
kesejahteraan rakyat.
Adanya ‘’perlawanan’’ menolak segala bentuk
kongkalikong dan ‘’pemerasan’’ yang diprakarsai Menteri BUMN di lingkungan
kementeriannya, hendaknya bisa mendorong jajaran lain ikut tergugah untuk berbenah dan
membersihkan diri. Termasuk, para abdi negara dan pelayan rakyat yang ada di
daerah. Dengan demikian, secara bertahap upaya menciptakan good governance and clean government bisa terwujud dan membawa perbaikan
kesejahteraan rakyat. Semoga. (cho@jawapos.co.id)
Komentar