Money Politics

PERJUANGAN para caleg untuk bisa merebut kursi wakil rakyat pada pemilu 2009 ini sungguh teramat berat dibanding pemilu-pemilu tahun sebelumnya. Selain harus menyiapkan modal yang lebih besar untuk membiayai sosialisasi dan kampanye, juga harus siap menghadapi aneka sanksi yang akan menjerat dirinya manakala melanggar aturan. Belum lagi persiapan menata mental untuk siap menerima kekalahan dan menghapus harapan berlebihan menjadi wakil rakyat. Kalau tidak, bisa-bisa ia malah menjadi penghuni rumah sakit jiwa (RSJ).

Apalagi, amanah dan tanggngung jawab yang diemban sebagai seorang legislator di tahun mendatang rupanya semakin ketat dan berat. Mereka yang suka mempermainkan amanah, suka dengan uang abu-abu atau uang berbau subhat (tak jelas asal usulnya), termasuk suka menerima gratifikasi, akan semakin terbatasi geraknya. Pun yang akan menjadikan kursi legislatif sebagai mesin pengeruk uang alias sebagai tempat mncri nafkah. Sebab, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin semangat bergerilya mencari ‘’perampok’’ uang rakyat. Anehnya, para caleg yang konon jumlahnya se-Indonesia mencapai sebelas ribu orang lebih itu begitu bersemangat memburu kursi legislatif.

Sejak Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan perubahan perolehan kursi legislatif berdasarkan hasil suara terbanyak, para caleg yang semula banyak mengandalkan berkah dari nomor urut, terpaksa harus kerja ekstra keras. Dia yang semula tidak terlalu dikenal oleh konstituennya, terpaksa harus turun menyapa, memaparkan visi misi, dan memberi bantuan. Dengan kata lain, para caleg harus lebih rajin turun ke daerah pemilihannya untuk bertemu sekaligus ngopeni (mengurus) konstituennya.

Sebagian caleg ada yang melakukan sosialisasi jauh hari sebelum masa kampanye dimulai. Banyak pula yang baru melakukannya saat masa kampanye pileg dimulai pada 16 Maret 2009 lalu. Mereka yang telah melakukan penggalangan lebih awal, tentu harus mengeluarkan biaya besar. Sebab, mereka harus membiayai pertemuan dengan konstituen. Mulai dari sewa tempat, konsumsi, alat peraga hingga memberi uang hadir, uang transportasi ditambah souvenir. Apalagi, pertemuan seperti itu harus dilakukan beberapa kali dan di beberapa tempat.

Tanpa ada uang hadir, transport, uang lelah, hadiah atau souvenir, jangan harap calon pemilih mau datang. Padahal, meski sudah mendapat bantuan dari caleg, belum tentu mereka akan memilihnya. Sebab, di antara mereka juga ada yang menerima bantuan serupa dari caleg lain. Prilaku pragmatis para pemilih ini sebagian menganggap sebagai sesuatu yang wajar dalam memanfaatkan moment akbar pesta demokrasi. Dalam benak para konstituen mungkin berkata, ‘’Kapan lagi kita bisa mempermainkan politisi, masa kita terus yang dipolitisasi oleh dia.’’

Padahal, model pemberian uang atau barang dari caleg maupun dari tim sukses caleg itu sangat tidak mendidik. Selain mencederai sistem demokrasi yang sedang berkembang di negeri kita, pada pemilu-pemilu selanjutnya rakyat dan caleg akan terbiasa melakukan pola seperti itu lagi.

Pada masa kampanye seperti sekarang ini, para caleg yang paham aturan main, akan lebih hati-hati mengumbar pemberian uang atau barang ke konstituen. Sebab, sanksinya cukup berat. Karena itu, beberapa caleg harus memutar strategi untuk menyiasati larangan money politics itu. Tapi, caleg yang kurang paham aturan main, bisa jadi akan terjerat.

Beberapa kasus dugaan money politics banyak ditemukan oleh Panwas dan sempat mewarnai berita di media massa. Beberapa diantaranya ada yang menyangkut ketua umum partai, salah satu ketua DPP partai besar, caleg dari kalangan artis, dan masih banyak lagi.

Jadi, meski para caleg ada yang berlimpah uang untuk membiayai kampanyenya, ternyata ia tidak bisa memanfaatkan seenaknya. Terutama bila ingin uangnya diberikan kepada konstituen dengan harapan saat pemilu nanti akan memilh dirinya. Kalau sampai itu terjadi, ia akan terjerat kasus money politics yang sanksinya bisa membatalkan dirinya jadi anggota parlemen. Itupun masih ditambah dengan hukuman penjara dan denda. Dan, sepertinya masalah ini kurang disadari para caleg.

Padahal, pelanggaran dalam bentuk money politics itu telah diatur dalam UU Pemilu Legislatif No. 10/2008 pasal 274. Isinya, pelaksana kampanye yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung ataupun tidak langsung agar tidak menggunakan haknya untuk memilih, atau memilih peserta pemilu tertentu, atau menggunakan haknya untuk memilih dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Selain itu, juga masih dikenai denda paling sedikit Rp 6.000.000 (enam juta rupiah) dan paling banyak Rp 24.000.000 (dua puluh empat juta rupiah).

Pelaksana yang dimaksud di atas, bisa dari caleg, tim sukses caleg atau jurkam yang ditunjuk parpol. Sanksi lain yang harus diterima caleg apabila pengadilan telah mengeluarkan keputusan berkekuatan hukum tetap, maka keberhasilannya mendapatkan kursi anggota dewan atau DPD akan dibatalkan KPU.

Coba bayangkan kalau caleg itu tertangkap Panwas melakukan money politics. Sudah mengeluarkan uang banyak untuk biaya promosi diri dan sosialisasi, masih harus menerima hukuman penjara plus denda lagi. Usahanya menjadi anggota dewan, meski dari kalkulasi suara ia sudah berhasil mendapat kursi, akhirnya tetap tak bisa diduduki. Maka buyarlah semua impian yang didambakan untuk bisa menjadi wakil rakyat. Yang didapat justru hotel prodeo.

Dari sisi mental spiritual, kalau tidak dilandasi dengan iman yang kuat dan tidak siap menerima kekalahan, maka bisa jadi ia mudah stres, atau bahkan ingatannya terganggu alias gila. Kasus seperti ini tidak hanya menimpa caleg yang terlibat money politics kemudian dihukum, tapi juga berpotensi menimpa seluruh caleg. Khususnya caleg yang sudah banyak mengeluarkan uang. Baik uang dari hasil jual tanah, rumah, mobil, uang pensiun ataupun dari jualan aset lain. Apalagi bila uang itu dari hasil utang, bisa tambah parah stresnya.

Karena itu, sebaiknya para caleg tidak menghabiskan seluruh uangnya untuk kampanye. Sisakan sedikit untuk menghadapi ‘’masa depan’’. Yakni, siap-siap masuk RSJ, biar tidak terlalu membebani keluarga yang merawatnya. Apalagi, beberapa RSJ di Indonesia sudah banyak yang siap menampung pasien baru dari kalangan politisi yang gagal meraih kursi legislatif. Meski, data terakhir yang pernah dilansir di media, dari 83 RSJ yang ada di Indonesia, konon jumlah pasiennya sudah overload.

Nah…. lho? Sudahkah para caleg mengantisipasi berbagai fenomena di atas? Semoga tulisan ini menjadikan caleg lebih waspada dan dewasa. (cho@jawapos.co.id)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prostitusi Kota Santri

Wartawan Abal-Abal

Promosi di Media Berkelas