Potret Caleg 2009

SENIN hari ini kampanye pemilihan umum legislatif (pileg) dimulai. Tiga minggu lagi, tepatnya 9 April 2009 pesta demokrasi memilih wakil rakyat bakal digelar. Para calon legislatif (caleg) telah mempersiapkan diri lebih intens untuk meraih dukungan dari rakyat. Mulai dari memasang poster di pinggir jalan, memasang iklan di media massa, sampai menggalang dukungan dengan rakyat yang menjadi konstituennya. Baik dengan cara bagi-bagi uang secara sembunyi-sembunyi, memberi bantuan modal, sembako, peralatan, aneka souvenir, hingga hanya memberi janji-janji manis.

Meski demikian, banyak juga caleg yang diam. Tidak pasang gambar, tidak beriklan, tidak kampanye terbuka, apalagi memberi bantuan ke calon pemilih. Lha wong (mohon maaf) banyak di antara mereka yang juga masih layak dibantu. Sebab, motivasi mereka menjadi caleg, yang terbanyak karena faktor kebutuhan perut, alias kursi dewan dianggap sebagai lahan penghasil uang. Karena itu, jangan kaget kalau status caleg kita masih banyak dari kalangan pengangguran seperti hasil survei yang diungkap media massa ibu kota beberapa hari lalu.

Fenomena lainnya, banyak caleg yang asal comot. Umumnya dilakukan partai baru yang kurang mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Termasuk, kurang mendapat kucuran dana dari pengurus pusat. Apalagi saat partai ini ‘’dijual’’ ke masyarakat, kurang ada yang meliriknya. Akhirnya pengurus di tingkat bawah harus pontang panting membiayai sendiri.

Karena partainya kurang laku ‘’dijual’’, maka pengurus mencari orang sekenanya yang mau dijadikan caleg. Aji mumpung terpaksa dilakukan dari pada partainya tidak memiliki caleg, sehingga akan terlihat kosong melompong di beberapa daerah pemilihan (dapil). Dan, kalau hal itu dibiarkan tentu semakin menjadikan partainya tidak dikenal masyarakat. Ada yang dicomot dari keluarganya sendiri, teman-teman dekat atau orang-orang yang dikenalnya.

Namun, begitu nama-nama caleg dari partai kurang dikenal itu muncul dalam daftar calon sementara (DCS) atau daftar calon tetap (DCT) yang dikeluarkan KPU, para tetangga atau orang-orang yang tahu latar belakang si caleg pada menggunjing. Sebab, mereka merasa tahu betul kualitas dan kapabilitasnya. Selain banyak dari kalangan pengangguran, juga ada dari mereka yang sehari-harinya sebagai tukang tambal ban, tukang parkir, satpam, penjual tahu di pasar, tukang bengkel motor dan profesi lainnya.

Tentu pandangan sebagian pihak tentang figur caleg dengan latar belakang seperti di atas bukan bermaksud merendahkan statusnya. Tapi, saya menangkap munculnya keluh kesah itu dari sisi rasa pesimis terhadap kemampuan mereka seandainyabenar-benar terpilih sebagai wakil rakyat. Apa sudah tidak ditemukan lagi caleg yang kualitasnya di atas mereka? Apakah nantinya mereka mampu mewakili kepentingan konstituennya di parlemen? Kalau tidak, bagaimana jadinya negara ini?

Selain direkrut secara asal-asalan, ada juga yang jadi caleg dengan cara membeli ke partai. Artinya, untuk bisa masuk menjadi caleg, dia harus menyetor sejumlah uang kepada pengurus partai agar namany didaftarkan ke KPU. Harganya cukup bervariasi. Tergantung eksistensi dan pengaruh partai. Juga tergantung penempatan dapil dan nomor urut (sebelum MK memutus suara terbanyak). Bila yang menawari dari partai besar dan punya pengaruh kuat, tentu harganya lebih mahal dibandingkan partai baru.

Seorang teman di Mojokerto ada yang mengaku harus membayar Rp 50 juta untuk bisa menjadi caleg DPRD tingkat II dari partai baru yang pada pemilu 2004 lalu belum masuk sebagai kontestan. Bagaimana dengan partai besar yang sudah teruji reputasinya? Pasti harga jualnya lebih tinggi. Permainan bisnis politik seperti inilah yang banyak merusak tatanan politik di negeri kita. Sampai-sampai antarpengurus partai sendiri terjadi perpecahan gara-gara uang dari hasil jualan caleg pembagiannya tidak rata.

Kondisi semacam ini tentu sangat memprihatinkan kita semua. Apalagi kenyataan itu terjadi di tengah krisis moral para wakil rakyat kita yang semakin hari semakin banyak yang terlibat korupsi. Sepertinya mereka tidak pernah kapok dan tidak mengaca dari kesalahan terdahulu yang dilakukan rekan-rekannya saat merampok uang negara atau menerima suap dari pengusaha kemudian ditangkap KPK. Justru, tindakan bodoh itu malah terulang lagi.

Fenomena lain yang saya jumpai, ada caleg yang tidak tahu nama ketua umum partai yang memberangkatkan dirinya maju sebagai wakil rakyat. Anehnya, dia bukan caleg untuk DPRD tingkat II atau tingkat I, melainkan caleg DPR RI dari Dapil Jatim VIII (Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Madiun). Ini sungguh ironis. Padahal, setahu saya, ketua umum partai itu juga pernah datang ke daerahnya. Ini menunjukkan kalau banyak caleg instan --bukan dari kader partai atau dari hasil membeli-- yang memang dicomot asal-asalan.

Selain itu, ada juga caleg yang terlalu percaya diri. Meski diusung dari partai tidak dikenal dan tidak memiliki banyak jaringan atau akses yang bisa diharapkan sebagai modal suara, tapi dia begitu nekad. Termasuk nekad menjual tanah dan mobil innovanya untuk membiayai promosi dirinya maju sebagai caleg DPRD tingkat I. Uang penjualan tanah dan mobil lebih banyak dipakai untuk mencetak baliho dan banner yang dipasang di jalan-jalan. Sepertinya dia tidak bisa menggukur biaya yang dikeluarkan dengan hasil suara yang akan didapat. Baginya, dengan memasang banyak alat peraga yang ada fotonya sudah cukup mendatangkan suara dukungan. Padahal, nama dia tidak cukup dikenal masyarakat luas, aplagi di luar kota.

Yang tak kalah heboh dan terkadang agak memalukan, kita bisa melihat visi misi, jargon ataupun potret caleg yang dipampang di jalan-jalan. Baik dalam bentuk poster, spanduk, banner maupun selebaran. Banyak di antara caleg yang sama sekali tidak menunjukkan komitmen atau visinya kalau dia bakal menjadi wakil rakyat. Yang paling banyak hanya jual tampang. Sampai-sampai yang wajah aslinya bopeng bisa dipoles jadi cantik atau tampan. Dan, kebanyakan ’’modal’’ seperti itulah yang dijual ke calon pemilih.

Itulah beberp potret atau fenomena caleg yang kondisinya agak memprihtinkan kita. Meski, saya akui ada pula caleg yang secara koalitas sudah bagus dancukup teruji. Dengan memparkan beberapa fenomena seperti di atas, harapan saya bisa memoivasi para caleg untuk berkiprah lebih baik. Termasuk bisa menghapus suara-suara sumbang yang meremehkan kualitas dan kapabilitasnya. Ibarat peribahasa ‘’Anjing menggonggong kafilah tetap berlalu’’. Tapi, ‘’berlalu’’ di sini harus dengan disertai tekad kuat untuk berkiprah sesuai amanat rakyat mana kala nanti terpilih menjadi anggota dewan. Atau berbuat yang lebih baik dari anggota dewan periode sebelumnya.

Dan, yang lebih penting lagi, menjadi wakil rakyat adalah bagian dari pengabdian kepada rakyat dan negara, bukan mencari penghidupan untuk memperkaya diri, apalagi sampai merampok uang rakyat. Semoga caleg yang terpilih benar-benar amanah dan mampu membawa kehidupan bangsa ini menjadi lebih baik. (cho@jawapos.co.id)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prostitusi Kota Santri

Wartawan Abal-Abal

Promosi di Media Berkelas