Menghapus Predikat Kota Terkotor



Oleh A. Choliq Baya

MENUMPUKNYA sampah di beberapa lokasi menjelang pelantikan Bupati Abdullah Azwar Anas pada Oktober 2011 lalu membuat Banyuwangi mendapat predikat baru yang tidak menggembirakan, yakni kota terkotor di Jawa Timur (Jatim). Kabar tidak menyenangkan itu sebenarnya telah diterima Pemkab Banyuwangi beberapa pekan lalu. Predikat kota terkotor itu diberikan tim juri Adipura dari Pusat Regional Jawa yang berkantor di Jogja. Mereka menilai Banyuwangi pada November 2010. Jadi, predikat itu bersumber dari penilaian Adipura tahap pertama.

Untuk tingkat Jatim saja, sebanyak 36 dari 38 daerah tingkat II yang ikut penilaian Adipura, Kota Banyuwangi berada pada urutan paling buncit. Selain Banyuwangi, ada lima kota lagi yang juga mendapat predikat sebagai kota terkotor, yaitu Bondowoso, Batu, Jember, Pamekasan, dan Pare (Kediri). Nilai yang dicapai kota-kota terkotor itu sudah beberapa tahun terakhir tidak banyak bergeser, sehingga Pemprov Jatim meminta secara khusus kepada salah satu juri Adipura asal Jatim untuk ‘’membina’’ enam kota itu. Harapannya, tahun 2012 mendatang kota-kota terkotor itu bisa meraih Adipura seperti kota-kota lain di Jatim. Sehingga, hal itu akan semakin memperkokoh predikat Jatim sebagai kota Adipura seperti yang disandang sekarang.

Pekan kemarin, tim penilai Adipura kembali turun ke Banyuwangi untuk melakukan tugas. Hanya saja, penilaian Adipura tahap kedua ini tidak melibatkan juri dari tim Pusat Regional Jawa melainkan hanya dari Jatim. Pasalnya, di penilaian tahap pertama hasil yang didapat Banyuwangi dan lima daerah lain jeblok. Sehingga, tim penilai Adipura tahap berikutnya cukup wakil dari provinsi saja yang turun sekaligus melakukan pembinaan. Kalau tim penilai dari Pusat Regional Jawa biasanya tidak terbuka dan sulit diajak komunikasi. Kemarin tim penilai dari Jatim justru banyak memberi masukan, terutama mengenai kelemahan dan apa saja yang diperlukan untuk memperbaiki kota ini agar kelak bisa meraih Adipura.

Untuk penilaian Adipura, tidak semua wilayah Banyuwangi yang memiliki 24 kecamatan akan dinilai. Ada empat kecamatan yang menjadi fokus penilaian, khususnya yang berada di wilayah perkotaan, yaitu Kecamatan Banyuwangi, Giri, Glagah, dan Kalipuro. Komponen yang dinilai meliputi perumahan; jalan arteri dan kolektor (di dalam kota); sekolah; perkantoran; tempat pembuangan sementara (TPS); tempat pembuangan akhir (TPA); alun-alun dan taman kota. Selain itu, juga rumah sakit dan puskesmas; hutan kota; sungai; saluran terbuka; terminal; stasiun, pelabuhan dan pertokoan.

Parameter penilaian untuk lokasi-lokasi di atas, antara satu dan yang lain tidak sama. Misalnya, perumahan parameternya meliputi keteduhan pohon dan penghijauan di taman-taman. Selain itu, harus ada tempat sampah di depan rumah untuk sampah basah dan kering secara terisah. Kalau tempat sampahnya sudah menggunakan sistem composting 3R (memanfaatkan, mengurangi, dan daur ulang), tentu nilainya lebih tinggi. Yang juga tak luput dari penilaian adalah drainase, termasuk kondisinya masih berfungsi dengan baik ataukah tidak. Sementara itu, untuk tempat-tempat layanan umum, seperti stasiun, terminal, pelabuhan, rumah sakit, dan sekolah, yang dinilai terutama kebersihan kamar mandi. 

Bagaimana dengan kondisi kebersihan, keteduhan dan keasrian lingkungan di Banyuwangi? Salah satu yang membuat nilai Banyuwangi jeblok dalam penilaian Adipura adalah masalah sampah. Selain persoalan sampah yang kurang dikelola secara rapi, hingga saat ini kabupaten yang memiliki wilayah terluas di Jatim ini juga belum memiliki tempat pembuangan akhir (TPA) permanen. Termasuk, tidak memiliki pengelolaan sampah secara terpadu.

Apalagi, TPA Bulusan di Kalipuro yang belum permanen itu masih sering memunculkan permasalahan dengan warga sekitar. Selain mencemari air sumur, bau sampahnya juga sangat mengganggu dan bikin lingkungan tidak sehat. Akibatnya, warga di sekitar TPA protes dan melakukan penutupan jalan hingga mobil pengangkut sampah tak bisa masuk dan tidak bisa membuang sampah. Sampah pun bertebaran di mana-mana karena mobil pengangkut sampah tidak bisa beroperasi. Itulah yang membuat penilaian Adipura jeblok dan membuat Banyuwangi terlempar ke urutan buncit di Jatim.

Padahal, volume sampah di Banyuwangi yang setiap hari rata-rata mencapai 300 m3 itu seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat. Misalnya, dimanfaatkan sebagai pupuk organik dan gas sebagai sumber listrik maupun bahan bakar memasak. Sebenarnya sudah ada investor pengolah sampah yang masuk, bahkan sudah diberi lampu hijau oleh Bupati Anas, ternyata dengan alasan permodalan hingga sekarang masih belum bisa merealisasikan janjinya.

Selain itu, masalah lain yang bikin jeblok adalah kondisi lingkungan yang banyak tidak memenuhi syarat bila dikaitkan dengan parameter penilaian Adipura. Seperti alun-alun kota kotor, trotoar yang masih belum dioptimalkan untuk pejalan kaki, dan kurang tertatanya pedagang kaki lima dengan baik. Termasuk, kurangnya pepohonan hijau di kanan-kiri jalan yang bisa membuat lingkungan menjadi teduh dan asri, sekaligus bisa dijadikan sebagai paru-paru kota. 

Demikian pula dengan kondisi beberapa jalan di Kota Banyuwangi yang masih belum sesuai standar nasional Indonesia (SNI). Syarat sebuah jalan raya adalah harus ada trotoar, drainase, ruang terbuka hijau, lampu penerangan, dan rambu lalu-lintas yang memadai. Salah satu kekurangan yang mencolok ada di Jl. Yos Sudarso, Kalipuro, terutama menyangkut drainase dan rambu lalu-lintas.

Kita semua tahu setiap hujan turun hujan, Jl. Yos Sudarso bagian barat, terutama di depan SDN Klatak I, selalu banjir. Kalau dulu banjirnya hanya terjadi saat hujan saja, sekarang sampai lewat sehari terkadang air masih terus menggenang. Hal itu disebabkan drainase tersumbat, karena air yang mengalir bercampur lumpur dan batu. Terutama, air yang berasal dari lingkungan Klatakan. Sebab, jalan-jalan di Lingkungan Klatakan tidak ada drainasenya, sehingga air hujan yang mengalir ke tempat landai menggerus tanah dan bebatuan. Akibatnya, drainase di tepi Jalan Yos Sudarso menjadi dangkal karena tersumbat lumpur.

Selain drainase, rambu lalu-lintas di Jl. Yos Sudarso juga kurang memadai. Terutama, rambu peringatan saat memasuki jalan kembar dari arah utara dan selatan. Fatalnya, di mulut jalan kembar itu seringkali terjadi kecelakaan tunggal, terutama kendaraan dari arah selatan. Pasalnya, sebelum memasuki jalan kembar Yos Sudarso, kontur jalan menanjak lalu menurun dan langsung dihadang jalan kembar. Kalau laju kendaraan yang melintas agak kencang dan terkadang lampu penerangan jalan pada malam hari tidak menyala, biasanya banyak mobil yang menabrak median jalan.
Kondisi itu tak jauh berbeda saat kita memasuki jalan kembar Basuki Rahmat dari arah selatan. Sudah berkali-kali rambu penunjuk arah wajib dilewati yang terpasang di median jalan diganti karena tumbang ditabrak pengguna jalan. Anehnya, pihak berwenang tidak terlalu peka untuk mencari jalan keluar yang lebih cerdas dalam menyelamatkan para pengendara agar kasus kecelakaan tidak terus terulang.

Mengaca dari seringnya terjadi kecelakaan di situ, seharusnya rambu yang dipasang tidak cukup hanya dengan rambu petunjuk arah seperti sekarang. Akan lebih tepat dan banyak bermanfaat bagi pengguna jalan manakala di mulut jalan kembar Yos Sudarso dan Basuki Rahmat dipasang tanda peringatan berupa lampu kedip besar sebagai tanda peringatan agar hati-hati. Agar lampu peringatan terlihat jelas oleh pengendara, sebaiknya dipasang secara vertikal di mulut median jalan kembar.

Selain berbenah secara fisik, Pemkab Banyuwangi juga harus menyiapkan program untuk mendukung terciptanya lingkungan yang bersih, sehat, hijau, dan asri. Salah satu yang disarankan adalah menyiapkan kader-kader peduli lingkungan di setiap desa. Mereka harus dididik dan dikukuhkan sebagai kader lingkungan oleh bupati agar memiliki motivasi yang besar untuk ikut membenahi lingkungan dan mengajak masyarakat sekitar. 

Di samping itu, juga harus ada moment berupa event terkait kebersihan lingkungan yang bisa dijadikan teladan dan wahana untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat. Salah satu yang telah digagas beberapa daerah adalah event clean and green seperti yang sudah dilakukan secara rutin oleh Surabaya, Sidoarjo, dan Malang, yang bekerjasama dengan media massa. Sebab, dengan digebyarnya agenda clean and green secara massal dan diekspose media akan memacu masyarakat untuk berkompetisi dan lebih peduli terhadap lingkungan.

Semoga langkah itu bisa mengantarkan Banyuwangi terbebas dari predikat sebagai kota terkotor di Jatim. Bahkan, dengan optimis bisa mengantarkan Bumi Blambangan memperoleh Adipura kembali seperti yang terjadi secara berturut-turut mulai tahun 1993 sampai 1997. (cho@jawapos.co.id)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prostitusi Kota Santri

Wartawan Abal-Abal

Promosi di Media Berkelas