Pahlawan atau Pecundang?
Oleh: A. Choliq Baya
KABAR tak sedap menghantui proses pembangunan
yang berlangsung di Bumi Blambangan Banyuwangi. Khususnya pembangunan yang
dibiayai dari anggaran pendapatan dan belanja
negara perubahan (APBNP) 2011. Pasalnya, beberapa satuan kerja (satker) pelaksana di Pemprov Jawa Timur enggan
merealisasikan anggaran pembangunan itu ke Banyuwangi karena situasinya dianggap
tidak kondusif. Mereka agak trauma dengan pihak-pihak ‘’pengganggu’’ yang
selalu mencari-cari kesalahan kemudian membuat pengaduan ke beberapa institusi
yudikatif, legislatif maupun eksekutif di daerah maupun di pusat.
Info yang berkembang, tahun ini ada anggaran sekitar Rp
90 miliar dari pemerintah pusat untuk menunjang pembangunan di Banyuwangi.
Sebagian besar anggaran itu untuk proyek pembangunan fisik, khususnya untuk
sarana dan prasarana jalan poros desa. Kalau di rata-rata, setiap desa bisa
mendapatkan bantuan anggaran pembangunan jalan sebesar Rp 150 juta. Tetapi,
dengan alasan masyarakatnya kurang kondusif, anggaran itu akhirnya dialihkan ke
daerah lain. Diantaranya ke Bondowoso dan Pacitan yang dianggap kondisinya
lebih kondusif.
Istilah tidak kondusif ini sebenarnya tidak melibatkan
masyarakat secara menyeluruh tapi hanya sebagian kecil anggota masyarakat.
Diantaranya yang paling dominan adalah dari kalangan yang mengaku sebagai
aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM). Mereka inilah yang dianggap sebagai
‘’pengganggu’’ jalannya proyek pembangunan di Banyuwangi yang didanai anggaran dari pusat. Pengalaman ini, menurut beberapa kalangan yang ada di eksekutif maupun di institusi yudikatif, sudah berlangsung beberapa dekade.
Salah satu bentuk ‘’gangguan’’ itu adalah mencari-cari
kekurangan atau kesalahan dari proyek pembangunan itu kemudian melaporkannya
secara tertulis ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Mahkamah Agung (MA),
Presiden, institusi kejaksaan, kepolisian dan legislatif di seluruh tingkatan,
serta institusi lain yang dianggap terkait. Jadi, laporan pengaduan itu juga
dikirim ke banyak institusi sebagai tembusan. Sampai-sampai ada orang birokrat
yang berseloroh, seandainya mereka mengetahui alamat malaikat, mungkin juga
akan dikirimi tembusan surat pengaduan itu.
Kajari Banyuwangi Heri Jerman saat berkunjung ke kantor
Radar Banyuwangi beberapa waktu lalu
juga sempat mengatakan kalau orang Banyuwangi hobinya lapor. Terbukti, laporan
yang masuk terkait dengan penyimpangan pelaksanaan proyek atau masalah lain
cukup banyak di kantornya. Termasuk di Kejaksaan Tinggi Jatim maupun di
Kejaksaan Agung, laporan pengaduan terbanyak datang dari Banyuwangi. Sehingga,
tak salah kalau ia menyebut orang Banyuwangi, khususnya para aktivis, hobinya
lapor alias mencari-cari kesalahan pihak lain.
Padahal, apa yang dilaporkan, sebagian besar kurang
didukung data yang akurat, bahkan banyak yang tidak valid. Sehingga, banyak
dari laporan itu yang tidak ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum karena
datanya terlalu sumir. Ada kesan, laporan pengaduan itu juga mengusung
kepentingan terselubung, baik politis maupun ekonomi. Baik itu dilakukan atas
kemauan sendiri maupun atas pesanan dari pihak lain dengan tujuan-tujuan
tertentu.
Jadi, ada motif-motif terselubung yang tidak didasari
oleh ketulusan nurani dalam berpartisipasi memperbaiki proses pembangunan di
Banyuwangi. Apalagi, setelah kepentingan-kepentingan mereka diakomodasi oleh
rekanan, pemerintah maupun pihak lain yang ‘’diganggu’’, tidak lagi muncul
pengaduan maupun suara-suara sumbang. Tapi, setelah ‘’kompensasi’’ itu habis
atau mereka sudah merasa
tidak ‘’diopeni’’ lagi, mereka pasti akan mencari-cari kesalahan kemudian
meluncurkan pengaduan lagi, lapor sana, lapor sini. Inilah fenomena di
Banyuwangi yang membuat daerah ini dinilai kurang kondusif.
Sebenarnya, para satker di Pemprov Jatim mengaku tidak alergi dengan laporan pengaduan yang dilakukan oleh beberapa pihak
seputar proyek yang dikerjakan di Bumi Blambangan. Selama pengaduan itu tidak
terlalu mengada-ada, mereka justru apresiatif terhadap para stake holder yang memang memiliki
komitmen tinggi dalam mengawal proses pembangunan di Banyuwangi. Tapi, yang
disayangkan, dengan pengaduan laporan yang demikian banyak, secara otomatis pasti akan ada yang dikroscek aparat penegak hukum ke pihaknya.
Untuk kroscek data, pasti satker pelaksana proyek itu dipanggil
untuk datang ke kejari, kejati atau kejagung. Dan, itu tentu akan memakan waktu
dan biaya. Padahal, di satkernya tidak ada biaya untuk transportasi dan
akomodasi. Ini yang membuat
mereka agak trauma. Padahal, di daerah lain mereka tidak menemui ‘’gangguan’’
yang demikian dahsyat sebagaimana di Banyuwangi. Karena itu, mereka lebih
memilih menyalurkan anggaran dari pusat di daerah yang dianggapnya lebih kondusif.
Sejatinya, kontrol sosial terhadap setiap penyimpangan
yang terjadi dalam proses pembangunan di daerah ini wajib dikritisi. Bahkan,
kalau ditemukan adanya penyimpangan atau pelanggaran hukum, kita semua harus
berani melaporkan temuan itu ke aparat penegak hukum dengan disertai data-data
yang akurat. Tetapi, kita juga harus bersikap fair, jangan kalau tidak suka dengan pihak lain, ingin mendapat
‘’tetesan’’ proyek yang sedang dikerjakan oleh pihak lain, atau ada pesanan
dari pihak lain untuk menyoal proyek yang sedang berjalan, lantas mencoba mencari-cari kesalahannya. ‘’Misi’’ buruk seperti ini
harus dibuang jauh-jauh agar tidak mengganggu jalannya pembangunan yang bisa
merugikan masyarakat secara luas.
Sekali lagi, kita berharap para aktivis LSM atau
pihak-pihak yang memiliki kepedulian dan komitmen yang tinggi terhadap
keberlangsungan pembangunan di daerah ini, tetap kritis dan bersemangat
mengungkap aneka penyimpangan. Upaya itu juga harus dilandasi dengan niat tulus
agar nantinya ada perbaikan sistem dan kinerja, serta hasil yang berkualitas. Kalau
peran ini bisa dimainkan dengan baik dan konsisten, maka mereka layak mendapat
gelar pahlawan.
Sebaliknya, mereka layak disebut sebagai pecundang
manakala dibalik laporan pengaduan itu terselip niat busuk atau membawa
kepentingan-kepentingan sesaat yang hanya menguntungkan diri sendiri dan mengorbankan
kepentingan masyarakat secara luas. Apalagi, bila laporan pengaduan yang
dikirim ke beberapa instansi itu terkesan mengada-ada alias dipaksakan tanpa
didukung data dan fakta yang valid sehingga mengganggu proses pembangunan.
Semoga semua pihak bisa saling instrospeksi diri dan
punya komitmen yang tinggi dalam memajukan daerah ini sesuai dengan bidangnya
masing-masing. Sehingga, proses pembangunan di bumi berjuluk The Sun Rise of Java ini bisa
berlangsung lancar dan cepat namun tetap berpedoman pada aturan hukum yang
berlaku. (cho@jawapos.co.id)
Komentar