Gerakan Anti ‘’Sunat’’
Oleh A. Choliq Baya
URUSAN sunat-menyunat ternyata tidak hanya
dijalankan calak atau dokter, para
pegawai negeri dan pegawai swasta juga banyak yang lihai melakukannya. Bedanya, yang disunat bukan ‘’burung’’ anak lelaki seperti
yang biasa dilakukan calak atau
dokter, melainkan fulus alias duit.
Yang lebih fatal lagi, mereka tidak peduli walau duit yang disunat itu bukan
miliknya, juga bukan haknya. Dalihnya pun bermacam-macam. Ada yang beralasan untuk
kas organisasi, biaya administrasi, operasional, pengurusan pencairan, uang
parti-sipasi kegiatan X, sumbangan ‘’sukarela’’, bantuan tetek-bengek, dan lain sebagainya. Bahkan, tak sedikit yang
terang-terangan mengatakan bahwa pemotongan anggaran itu untuk pimpinan di
instansinya. Praktik seperti itu tampaknya sudah membudaya di negeri kita, termasuk
di Banyuwangi.
Ketika di koran ini kemarin ada berita tunjangan guru
madrasah swasta yang bernaung di bawah Kementerian Agama (Kemenag) disunat,
saya tidak terlalu kaget. Meski dalam hati saya berguman, ‘’Lha yo kok cek mentolone,’’ alias
teganya… teganya… teganya… Apalagi, uang yang disunat itu haknya para guru
sekolah swasta yang setiap bulan ada yang hanya digaji Rp 100 ribu. Dari
tunjangan sebesar Rp 250 ribu per bulan yang diterimakan secara rapel selama
satu tahun, telah disunat Rp 150 ribu tanpa penjelasan Kemenag.
Tetapi, dalam berita hari ini ada klarifikasi tambahan
bahwa uang potongan itu untuk pajak penghasilan. Sepengetahuan saya,
penghasilan kena pajak dikenakan kepada wajib pajak bila penghasilan setahun
mencapai Rp 15.840.000. Sementara itu, total uang tunjangan para guru setahun
hanya Rp 3.000.000. Bila benar potongan itu untuk pajak, maka para guru bisa meminta
tanda bukti setor pajak.
Tak hanya itu, dari sisi pengurusan pencairan
tunjangan, sebagian guru menilai prosesnya agak berbelit. Kalau tahun
sebelumnya guru bisa langsung mengambil uang di kantor pos, sekarang dikoordinasi
oleh bank. Ribetnya lagi, pahlawan tanpa tanda jasa itu diharuskan mengambil
buku rekening ke kantor Kemenag. Setelah itu, harus datang ke bank untuk
mengecek saldo.
Anehnya, meski tunjangan sudah cair, pemilik rekening tak
boleh mengambilnya. Ia masih diharuskan memfotokopi buku rekeningnya dan
menyerahkan ke kantor Kemenag lagi. Tentu saja guru yang rumahnya jauh dari
kantor Kemenag, terutama di wilayah Banyuwagi Selatan, merasa sangat
direpotkan. Apalagi, bila hari itu urusannya tidak bisa tuntas dan harus
kembali lagi besoknya.
Itu fakta yang terjadi di instansi yang ada
embel-embelnya ‘’agama’’. Bagaimana dengan instansi yang lain? Sepertinya,
melihat kenyataan dan pengalaman yang ada selama ini, tidak salah kalau saya
katakan sama saja alias tidak ada bedanya. Tak hanya itu, praktik
sunat-menyunat anggaran program yang baru cair sudah menjadi budaya. Bahkan,
berkembang cukup subur dan ada kecenderungan terus dipertahankan generasi
penerus dan rezim yang berkuasa.
Yang lebih parah lagi, kalau urusan ‘’sunat-menyunat’’
dikaitkan dengan kinerja atau pelayanan. Misalnya, kalau mereka tidak
diperbolehkan ‘’menyunat’’ atau tidak mendapat uang kompensasi, fee, tips, pelicin atau apa pun namanya,
mereka enggan memberi layanan cepat. Bahkan, tak sedikit abdi negara yang
membiarkan pelayanan terbengkelai.
Padahal, mereka dibayar negara menggunakan uang rakyat
untuk melayani keperluan masyarakat sebaik-baiknya. Anehnya, banyak di antara
mereka yang tak menyadari fungsi, tugas, dan tanggung jawabnya. Atau, mungkin
mereka sudah mengerti dan paham, tapi sengaja melanggar karena budaya yang
berlaku di birokrasi sudah terpola seperti itu.
Yang lebih lucu lagi, pelayanan para birokrat dengan
menyunat atau menggunakan uang pelican itu tidak hanya diterapkan kepada
masyarakat umum, dengan sesama birokrat pun mereka juga tak punya rasa malu
melakukannya. Misalnya, untuk mengurus anggaran agar cepat diproses dan cepat
cair, dokumen yang disodorkan harus diselipi uang. Nilainya bisa Rp 50 ribu, Rp
100 ribu, bahkan lebih bila nilai angg`rannya besar. Selipan uang pelican itu
tidak hanya di satu meja, tapi bisa di beberapa meja. Tergantung proses
birokrasi yang harus dilalui.
Pertanyaannya, apakah harus seperti itu cara yang ditempuh
demi mempercepat pelayanan publik? Apakah cara seperti itu yang harus dilakukan
bila ada anggaran cair? Apakah itu merupakan program unggulan pemerintah karena
hingga kini terus bertahan, bahkan bertambah semarak? Apakah itu yang dinamakan
good governance dan clean government?
Padahal, uang hasil ‘’sunatan’’ maupun uang pelican itu
tak ada bedanya dengan uang hasil korupsi. Sebab, dilakukan dengan cara ‘’merampok’’
meski caranya agak halus karena disertai alasan ‘’pembenar’’ seperti yang telah
saya singgung di atas. Sayangnya, upaya dan tindakan tegas memberantas praktik
‘’sunat-menyunat’’, uang pelican, pungutan liar, dan sejenisnya, tak pernah
terdengar gaungnya.
Kecuali, kalau ada kasus besar yang mencuat dan dimuat
di media massa, baru akan dilakukan pembenahan. Itu pun upayanya lebih banyak terkesan
klise. Misalnya, akan diselidiki dulu kebenaran kasusnya dengan menerjunkan tim
ke lapangan, kemudian ditelaah, baru diambil tindakan. Terkadang, meski sudah
diketahui secara jelas kesalahannya, tindakan atau punishment yang diberikan tak memuaskan publik.
Realita yang hampir sama juga terjadi di lembaga wakil
rakyat. Seperti sikap kurang terpuji yang dilakukan 21 anggota DPRD Kabupaten
Banyuwangi yang mangkir mengikuti kunjungan kerja ke Kabupaten Batam, Bintan,
Karimun dan Kota Tanjung Pinang, pada 19-23 Desember 2011 lalu. Selain mangkir
dari tugas, mereka juga tak punya malu karena mengambil uang kunker yang
bersumber dari APBD sebesar Rp 8 juta per orang. Dana sebesar itu seharusnya
digunakan untuk biaya transportasi dan penginapan.
Memang, uang yang sudah telanjur diambil itu akhirnya
dikembalikan oleh yang bersangkutan setelah kasusnya mencuat di media massa. Tapi,
itu pun setelah partainya meminta agar dikembalikan ke kas daerah. Agar tidak
terulang, seharusnya ada sanksi tegas dari partai atau fraksi. Bahkan, kalau
aparat penegak hukum menganggap itu melanggar hukum, hendaknya juga tak
segan-segan menindak.
Untuk memberantas budaya ‘’sunat-menyunat’’ anggaran
di tingkat daerah, terutama di institusi pemerintah, diperlukan good will bupati. Rakyat pasti akan
angkat topi dan mendukung kalau bupati punya tekad mencanangkan program gerakan
anti ‘’sunat’’. Sebab, yang mengeluh dengan persoalan ini cukup banyak. Belum
lagi yang tidak mengungkap secara terbuka dan hanya menggerutu dalam hati.
Selain itu, masyarakat atau para korban juga
harus berani melapor bila menemui penyalahgunaan seperti ini. Kalau dilaporkan
ke atasannya masih tidak mempan karena ada kemungkinan dilindungi, laporkan
saja ke aparat penegak hukum, aktivis LSM, atau wartawan. Bisa pula mengadu
lewat tulisan ke media cetak, elektronik, dan online, asal sesuai fakta dan tidak mengada-ada. Kalau setelah itu tetap
tidak ada respons, berarti memang aparat pemerintahnya yang kupingnya tebal. Wallahu a’lam bissawab. (cho@jawapos.co.id)
Komentar