Matinya Hati Nurani


Oleh A. Choliq Baya

MEMASUKI tahun 2012, drama kepongahan yang dipertontonkan anggota DPRD Kabupaten Situbondo tidak kunjung berakhir. Tingkah laku mereka semakin tidak terkendali alias semaunya sendiri. Tugas dan kewenangan yang seharusnya diperuntukkan kepentingan rakyat lebih banyak diabaikan. Justru, urusan hak yang lebih banyak menyangkut kepentingan pribadi dan golongan malah diutamakan. Anehnya, mereka tak merasa malu mempertontonkan drama menyebalkan itu.

Setelah drama tarik-ulur pembahasan Kebijakan Umum Anggaran dan Program Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) membuat APBD 2012 hingga kini tak kunjung tuntas, sebagian anggota dewan membuat manuver baru. Sebanyak 27 anggota dewan dari empat fraksi yang selama ini berseberangan dengan penguasa menerima honor talangan dari pihak ketiga. Fraksi ‘’oposisi’’ penerima honor talangan itu adalah Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP); Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB); Fraksi Partai Demokrat (FPD); dan Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP). Anggota fraksi pro-penguasa; Fraksi Kebangkitan Nasional Ulama (FKNU) dan Fraksi Karya Nurani (FKN), tidak kebagian alias sengaja ditinggal.

Belum cairnya hak bulanan anggota dewan itu karena hingga sekarang APBD Situbondo 2012 belum disahkan. Mereka rupanya iri dengan para pegawai negeri sipil (PNS) Pemkab Situbondo yang tetap terima gaji meski APBD 2012 belum digedok. Bahkan, salah seorang wakil ketua DPRD menuding pihak eksekutif telah melakukan diskriminasi terhadap mereka. Oleh karena itu, dengan alasan agar kinerjanya tidak terganggu, mereka menerima dana talangan atau pinjaman dari pihak ketiga untuk memenuhi hak bulanannya selaku anggota dewan.

Padahal, eksekutif tidak mau membayar honor atau tidak memberi dana talangan itu ada landasan hukumnya. Kalau anggota dewan menganggap apa yang dilakukan eksekutif itu diskriminatif, berarti mereka tidak paham aturan hukum yang berlaku. Apalagi, tersendatnya hak bulanan yang seharusnya didapat tepat waktu itu salah satu penyebabnya karena mereka tak segera menuntaskan pembahasan APBD dengan berbagai faktor dan alasan.

Pihak eksekutif memang tidak berani memberikan dana pinjaman untuk honor anggota DPRD. Sebab, hak bulanan anggota DPRD itu tidak termasuk komponen gaji, melainkan komponen penghasilan. Sehingga, pihak eksekutif sebagaimana disampaikan Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah (DPKD) Situbondo, Tri Cahya, tidak berani memrosesnya. Beda dengan PNS yang haknya sudah bisa dicairkan karena termasuk komponen gaji. Aturan hukumnya juga jelas meski APBD belum disahkan, yakni peraturan bupati (perbup) yang sudah disahkan gubernur.

Apa yang dilakukan sebagian anggota dewan dengan menerima honor talangan dari pihak ketiga itu sangat tidak patut alias melanggar tatanan moral. Di satu sisi, mereka belum tuntas melaksanakan kewajiban menyelesaikan pembahasan APBD, tapi di sisi lain mereka kemaruk (bernafsu dan tamak) menuntut haknya. Terlebih lagi, hak bulanan yang didapat itu berasal dari dana pinjaman pihak ketiga. Mereka juga tidak terbuka dan tidak mau menyebut pihak ketiga yang telah memberi dana pinjaman itu. Bahkan, dengan meyakinkan mereka mengatakan bahwa pihak ketiga yang meminjami dana untuk membayar 27 honor anggota legislatif itu tidak meminta syarat atau kompensasi apa pun.

Secara nalar, rasanya mustahil ada orang berbaik hati meminjamkan uang puluhan juta, bahkan bisa jadi di atas seratus juta, tanpa ada pamrih atau syarat apa pun. Apalagi, yang dipinjami adalah pihak-pihak yang selama ini bergelut dengan dunia politik. Oleh karena itu, banyak pihak yang tak percaya dengan pengakuan wakil rakyat yang telah mengupayakan dana talangan untuk honor teman-temannya itu. Sebab, dari segi etika, pinjaman pihak ketiga untuk honorarium sangat tidak patut.

Terbukti, banyak pihak menyorot langkah tidak populis yang dimainkan beberapa wakil rakyat itu. Apalagi sebelumnya, sepak terjang mereka sudah banyak dinilai minor oleh beberapa pihak karena lebih mengedepankan ego pribadi, golongan, atau kelompok. Sementara kepentingan rakyat yang lebih besar, yakni terealisasinya akselerasi pembangunan untuk kemakmuran rakyat Situbondo yang didanai APBD, justru tak kunjung dikonkretkan.

Adanya perbedaan pandangan, penilaian, dan kepentingan antaranggota legislatif dan eksekutif adalah sesuatu yang wajar. Tetapi, menjadi tidak wajar jika ada pemaksaan kehendak, mempermasalahkan hal-hal yang tidak penting, dan membungkus persoalan dengan kepentingan-kepentingan terselubung. Termasuk, hal-hal yang bermotif transaksional hingga membuat pembahasan APBD tidak segera tuntas. Itu sama saja menodai kepercayaan yang diberikan rakyat. Kalau masalah seperti ini terus bergulir dan tak kunjung ada perbaikan kinerja maupun kesamaan visi dalam memajukan Situbondo, maka tidak salah kalau kita menganggap hati nurani mereka telah mati.

Sebab, yang mereka perjuangkan bukan kepentingan rakyat secara menyeluruh tapi mengutamakan kepentingan pribadi dan golongan. Seperti menyoal ketidakhadiran sekda dalam rapat paripurna meski sudah diwakili wakil bupati, menyoal bantuan untuk rumah sakit NU yang nanti akan banyak dimanfaatkan untuk melayani kesehatan rakyat miskin, dan lain sebagainya. Namun, di balik itu semua, ternyata ada misi lain terkait hal-hal yang bersifat transaksional dengan eksekutif yang belum deal. Ini jelas sangat merugikan rakyat.

Coba bayangkan, akibat molornya pengesahan APBD 2012, selain pembangunan akan tersendat, Situbondo juga berpeluang kehilangan dana alokasi umum (DAU) Rp 125 miliar.

Ancaman itu sudah disampaikan langsung Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) Provinsi Jawa Timur kepada Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah (DPKD) Situbondo. Jika sampai 15 Januari peraturan daerah (perda) tentang APBD 2012 belum dikirim ke provinsi, Pemkab Situbondo akan mendapat sanksi pengurangan dana perimbangan (DAU) sebesar 20 persen dari jatah Rp 616 miliar atau sebesar Rp 125 miliar.
Kalau ancaman itu sampai terbukti, berarti anggota legislatif dan eksekutif Situbondo benar-benar sudah keterlaluan. Mereka rupanya tidak mau berkaca alias mengevaluasi diri dari kesalahan dan kebiasaan buruk tahun sebelumnya. Kalau di tahun sebelumnya pembahasan dan pengesahan APBD sudah beberapa kali molor dan sekarang terulang lagi, berarti tak ada prestasi yang bisa dibanggakan. Seharusnya, wakil rakyat malu dong kepada rakyat. Kalau tidak punya malu berarti hati nurani mereka memang sudah buta alias mati.

Semoga kritik ini bisa menggugah legislatif dan eksekutif agar berbenah dan mengesampingkan ego pribadi, golongan, dan deal-deal transaksional yang bisa merugikan publik. Ayo bersama-sama memajukan dan menyejahterakan rakyat Situbondo, bukan rakyat golongan tertentu saja. (cho@jawapos.co.id)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prostitusi Kota Santri

Wartawan Abal-Abal

Promosi di Media Berkelas