Brantas Buta Aksara, Dorong Melek Media
Oleh: A. Choliq Baya
Semoga program melek huruf dan melek media juga bisa diterapkan di daerah yang tingkat buta
aksaranya sangat tinggi seperti Jember, Bondowoso dan Situbondo. Harapan kita
semua, daerah di wilayah eks Karsidenan Besuki dan umumnya di Jatim cepat
terbebas dari buta aksara, sekaligus menjadi daerah yang melek media. (cho@jawapos.co.id)
DAERAH di eks
Karsidenan Besuki Jawa Timur (Jatim) ternyata menjadi lumbung buta aksara cukup
besar di Indonesia. Dari empat kabupaten di eks Karsidenan Besuki, tiga
diantaranya masuk dalam jajaran 15 besar daerah yang tingkat buta aksaranya
tertinggi di Indonesia (JP 28/8). Dari data yang dilansir Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Kabupaten Jember menduduki peringkat pertama dengan
angka buta aksara tertinggi hingga Desember 2011, yakni 204.069 jiwa. Disusul Bondowoso menduduki
peringkat 11 dengan jumlah 88.131 jiwa dan Situbondo di peringkat 15 dengan
total 82.210 jiwa.
Selain itu,
seluruh kabupaten di wilayah Madura; Sumenep, Sampang, Bangkalan dan Pamekasan
juga masuk dalam 15 besar daerah dengan angka buta aksara tertinggi di
Indonesia. Termasuk di daerah tapal kuda seperti Pasuruan dan Probolinggo juga
masuk di dalamnya. Kenyataan ini sekaligus mengukuhkan Jatim menduduki urutan
teratas sebagai provinsi dengan jumlah buta aksara tertinggi di Indonesia.
Yakni 1,5 juta jiwa dari total 6,7 juta jiwa yang ada di Indonesia.
Setelah
dilansirnya angka buta aksara di beberapa media massa, beberapa pejabat
pemerintah daerah (pemda) ada yang terkejut, ada pula yang kebakaran jenggot.
Ada yang menyangkal datanya kurang valid alias sudah berubah. Ada pula yang
menanggapi tingginya buta aksara itu dengan pamer program dan penghargaan yang telah diraih. Tanggapan terbanyak yang
diungkapkan pejabat pemda ke media adalah upayanya berupa pengalokasian
anggaran untuk program pemberantasan buta aksara. Pemerintah pusat sendiri
tahun depan menyiapkan anggaran sebesar Rp 360 miliar untuk program ini.
Berbagai
komitmen dan program yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi angka buta
huruf perlu kita apresiasi. Termasuk, kesungguhannya terhadap penanganan
masalah ini juga perlu didorong dan dievaluasi. Jangan hanya kepedulian ataupun
perhatian pemerintah muncul ketika data-data itu telah dilansir di media massa.
Biasanya, data-data itu dimunculkan menjelang atau pada saat peringatan Hari
Aksara Internasional (HAI) yang jatuh pada 8 September.
Memang, sejak 8 September 1964, United
Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO)
menetapkan tanggal tersebut sebagai HAI. Berarti HAI tahun 2012 ini merupakan
peringatan ke-47. Penetapan tersebut dilakukan untuk mengingatkan dunia tentang
pentingnya budaya literasi. Sebagai upaya keberaksaraan, UNESCO mencanangkan the United Nations
Literacy Decade (UNLD) pada skala internasional
tahun 2003-2012. Dekade ini ditujukan untuk meningkatkan tingkat melek aksara dan memberdayakan seluruh
masyarakat.
Pada awal pencanangan UNLD tahun 2003, ada 15,41 juta orang buta aksara
di Indonesia. Tahun 2010, jumlah itu menyusut menjadi 7,54 juta orang. Selanjutnya
di tahun 2011 menyusut lagi menjadi 6,4 juta orang. Artinya, Indonesia lebih
cepat melampaui target Millenium
Development Goals (MDGs) yang menyepakati penurunan 50 persen buta aksara
pada tahun 2015. Kemajuan ini patut kita apresiasi.
Demikian
pula dengan program-program pemberantasan buta aksara yang sampai sekarang
masih berlangsung di negeri kita. Diantaranya melalui pendidikan non formal dan
informal. Terutama melalui pembentukan kelompok-kelompok belajar yang ada di
lingkungan dasa wisma maupun di desa-desa. Baik yang diprakarsai oleh perangkat
pemerintah maupun elemen masyarakat.
Program melek aksara ini akan semakin cepat
berhasil manakala juga dibarengi dengan program melek media. Salah satu program melek
media yang cukup positif dan bisa mencerdaskan masyarakat adalah menggalakkan
minat dan budaya membaca media massa. Apakah itu
koran, tabloid atau majalah. Terutama di daerah yang kesadaran
membacanya rendah, seperti di pelosok desa. Untuk menuju
ke arah sana, harus diciptakan dan dibudayakan.
Salah satunya
dengan mewajibkan desa untuk berlangganan media massa supaya bisa dibaca para
perangkatnya. Akan lebih baik lagi manakala media massa itu bisa dipampang di
papan pengumuman balai desa. Tujuannya, agar warga desa (minimal yang sudah
tumbuh minat bacanya tapi belum mampu berlangganan media massa) bisa ikut
menikmati. Sehingga, dengan membaca media massa, mereka tahu situasi dan
perkembangan dunia luar. Di samping juga bisa membangkitkan motivasi warga desa
untuk berinovasi dan berkompetisi lebih dinamis dalam memajukan daerahnya.
Koran, tabloid
ataupun majalah yang sudah kadaluarsa waktunya, sebaiknya juga tidak dibuang
tapi bisa dibendel ataupun ditempatkan di perpustakaan yang ada di balai desa.
Kalau belum punya, akan lebih baik disediakan sepetak ruangan untuk taman
bacaan. Taman bacaan ini bisa pula diisi dengan buku-buku bacaan yang lain.
Apalagi kalau di desa itu sudah ada kelompok-kelompok belajar yang merupakan
bagian dari program pemberantasan buta aksara, pasti lebih bagus. Tidak hanya
orang tua peserta program melek huruf
saja yang bisa memanfaatkan, anak-anak pun juga bisa memakai fasilitas itu.
Dari sini,
diharapkan budaya melek baca dan melek media, terutama yang ada di
pelosok desa akan tumbuh dan berkembang. Selanjutnya menjadi budaya yang cukup
positif bagi kemajuan desa. Pasalnya, aktivitas dan kebiasaan seperti ini bisa
mencerdaskan sekaligus menambah khazanah ilmu pengetahuan dan wawasan
masyarakat desa. Dengan makin banyaknya orang berilmu, kreatif dan inovatif
yang terinspirasi dari media massa atau buku bacaan, saya yakin dampaknya tidak
hanya mengurangi angka buta aksara tapi juga berimbas pada kemajuan desa.
Apalagi, untuk
mewujudkan itu semua perangkat desa tidak perlu bersusah payah mencarikan anggarannya.
Sebab, pemerintah sudah menyediakan lewat program alokasi dana daerah (ADD)
yang salah satu pemanfaatannya untuk penyelenggaraan pemerintah dan
pemberdayaan masyarakat desa. Program melek
media untuk masyarakat desa itu sudah dilaksanakan sejak tahun lalu di
Banyuwangi, Probolinggo dan Pasuruan.
Komentar