Kopi sebagai Ikon Banyuwangi
Oleh: A. Choliq Baya
HARI Jadi Banyuwangi (Harjaba)
ke-240 bakal dijadikan pengungkit untuk ‘’mendeklarasikan’’ Bumi Blambangan
sebagai kota kopi. Salah satunya dengan menggelar festival sangrai kopi
tradisional. Gelar sangrai kopi tradisional bertema ”Sekali Seduh, Kita
Bersaudara” ini akan melibatkan 240 peserta. Agar gebyarnya lebih menasional
dan bersejarah, panitia akan mengundang Museum Rekor Indonesia (MURI) untuk mencatat
pemecahan rekor sangrai kopi dengan peserta terbanyak.
Pengajuan pencatatan rekor sangrai kopi itu sudah
diajukan panitia Harjaba ke MURI. Bahkan, pihak Muri sudah mengirim surat balasan.
Isinya, dewan pertimbangan MURI sudah menggelar rapat. Hasilnya, MURI menerima
usul pemecahan rekor sangrai kopi dengan peserta terbanyak yang akan dilakukan
di bumi berjuluk the Sunrise of Java
pada Sabtu 10 Desember 2012 mendatang, tepatnya di Desa Kemiren, Kecamatan
Glagah. Area yang digunakan adalah sepanjang 500 meter.
Jumlah penyangrai direncanakan menyesuaikan
usia Banyuwangi, yakni 240 orang. Mereka adalah utusan dari 24 kecamatan dengan
melibatkan anggota PKK, Dharma Wanita, pemilik warung kopi, dan masyarakat
umum. Agar tampil lebih meyakinkan, calon peserta diikutkan diklat singkat menyangrai
kopi dan olahan jajan berbahan dasar kopi di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
(Disbudpar) Rabu lalu (30/11). Mereka diajari teori dan praktik sangrai kopi
yang benar guna menghasilkan cita rasa yang optimal.
Itu adalah sekelumit persiapan festival
sangrai kopi tradisional dalam rangka memperkenalkan Banyuwangi sebagai kota kopi
kepada masyarakat luas. Upaya menjadikan Banyuwangi sebagai kota kopi memang
cukup beralasan. Sebab, kabupaten di ujung timur Pulau Jawa ini adalah penghasil
kopi yang sangat besar, tapi belum
banyak dikenal masyarakat. Padahal, dengan mendapat julukan sebagai kota kopi,
bisa memotivasi masyarakat untuk bangkit dan mandiri menggapai kesejahteraan
melalui potensi yang dimiliki.
Selama ini, hasil kopi beberapa perkebunan di
Banyuwangi lebih banyak dijual dalam bentuk biji mentah ke beberapa pabrik kopi
di Tanah Air. Sebagian lagi diekspor ke mancanegara, baik jenis robusta,
arabika, maupun kopi luwak yang harga
per kilogramnya bisa mencapai Rp 2 juta. Lantaran dijual tanpa merek dagang,
popularitas nama Banyuwangi tidak banyak terangkat.
Apalagi, daerah di Jatim yang merupakan salah
satu penghasil kopi di Indonesia tidak hanya Banyuwangi. Masih banyak daerah
lain yang juga penghasil kopi andalan, seperti Malang, Jember, Bondowoso,
Lumajang, dan Pasuruan. Oleh karena itu, harus ada produk berbeda yang memiliki
kekhasan tersendiri agar bisa mendongkrak Banyuwangi sebagai kota kopi.
Meski demikian, saya tetap optimistis bahwa kopi
bisa dijadikan ikon Banyuwangi. Selain menjadi komoditas hasil perkebunan yang
bisa diandalkan, beberapa pihak mengakui kopi Banyuwangi memiliki kualitas,
cita rasa, dan aroma khas. Itu bisa saya ketahui dari beberapa pengusaha cafe asal Jepang dan Korea yang sering
datang ke perkebunan Selogiri untuk melihat secara langsung panen kopi dan proses
pengolahannya hingga siap jual. Di situ mereka mencoba dan menikmati secara
langsung kopi murni hasil perkebunan Selogiri.
Beberapa perkebunan kopi di Banyuwangi, baik
milik pemerintah maupun swasta, sebagian memiliki mesin pengolah kopi. Mesin
itu akan mengupas kulit kopi yang baru saja dipanen hingga dikeringkan menjadi
biji kopi yang siap disangrai. Di situ biasanya juga ada laboratorium untuk
mengetes cita rasa kopi yang siap dijual ke pabrik, supermarket, dan pengusaha cafe. Saya pernah disuruh mencoba
merasakan beberapa jenis kopi murni di perkebunan Selogiri. Sayangnya, karena
saya bukan penggemar kopi, saya tidak bisa membedakan rasanya. Tetapi, aromanya
sangat terasa dan cukup membangkitkan ‘’gairah’’.
Sayangnya, tidak ada pengusaha besar yang
memproduksi dan menjual kopi setengah matang dan siap seduh produk khas
Banyuwangi. Toh pun ada, seperti kopi
Rollass produksi PT. Perkebunan XII, kopinya tidak hanya dari Banyuwangi tapi
dari beberapa daerah penghasil kopi di wilayahnya. Kalau ada pabrik kopi yang
bisa memproduksi hasil perkebunan kopi di sini dengan cita rasa khas, pasti
akan bisa mengangkat daerah ini sebagai kota kopi.
Bandingkan saja dengan beberapa negara yang bukan
penghasil kopi tapi cukup dikenal karena memiliki teknologi pengolah kopi,
termasuk strategi pemasaran kopi ke mancanegara. Misalnya, Amerika Serikat
dengan kopi Starbuck-nya yang sudah
‘’menjajah’’ seluruh dunia, termasuk Indonesia. Padahal, negara adikuasa itu bukan
penghasil kopi. Mereka justru mengimpor kopi dari beberapa negara lain penghasil
kopi, seperti Brazil, Vietnam, Meksiko, dan Indonesia.
Demikian pula dengan Swiss yang memiliki
produk kopi berkelas dengan cita rasa tinggi bernama Nespresso.
Nespresso yang pabriknya hanya
mempunyai 400 karyawan, setiap tahun menghasilkan devisa untuk Swiss hampir USD
9.5 miliar. Nespresso sebenarnya
hasil riset dan kejelian mempelajari kualitas kopi. Mereka belajar dari proses
kopi luwak di Indonesia, yakni hanya
memilih biji kopi yang benar-benar masak di pohon sebagaimana luwak (musang) memilih kopi untuk
dimakan. Mereka mengimpor biji kopi pilihan itu dari Indonesia, terutama dari
daerah sekitar Danau Toba, Sumatera Utara.
Konon, harga secangkir Nespresso hanya sepersepuluh kopi Starbuck dengan rasa yang tidak kalah
nikmatnya. Kabarnya, di Swiss dan beberapa negara banyak yang antre untuk bisa
membuka kedai kopi Nespresso. Untuk
bisa menikmati kopi itu, orang
Indonesia harus membeli ke Singapura karena di sini belum ada. Mereka tidak
bisa memenuhi kebutuhan konsumen karena suplai kopi berkualitas itu masih
kurang dibanding permintaan pasar.
Coba di daerah Banyuwangi yang
merupakan penghasil kopi bisa menghasilkan produk andalan yang sudah diolah
seperti Sturbuck atau Nespresso, paling tidak mendongkrak
popularitas Banyuwangi sebagai kota kopi. Tentu tidak hanya faktor itu
penentunya. Seharusnya perlu upaya lain untuk mendorong daerah ini sebagai kota
kopi, seperti membuat monumen buah atau bunga kopi di tempat-tempat strategis
untuk melambangkan sebagai daerah penghasil kopi. Juga harus banyak menciptakan
diversifikasi usaha dalam bentuk produk makanan atau minuman olahan berbahan
dasar kopi.
Komentar