Memupuk Semangat Kebangsaan Lewat Pungli
Oleh:
A. Choliq Baya
MENJELANG peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia 17
Agustus atau yang dikenal dengan Agustusan, beberapa instansi biasanya banyak
menggelar kegiatan. Umumnya kegiatan Agustusan dikoordinir atau diprakarsai
oleh instansi pemerintah. Bahkan, di Banyuwangi sudah menjadi tradisi, setiap
kecamatan selalu menggelar kegiatan dalam menyambut hari bersejarah bagi bangsa
Indonesia ini. Kegiatan rutinnya antara lain upacara bendera, resepsi dan
renungan ulang tahun kemerdekaan. Selain itu, banyak juga yang menambah dengan
aneka lomba, terutama yang paling umum adalah lomba baris berbaris dengan
melibatkan pelajar dari berbagai sekolah.
Menyambut
hari ulang tahun (HUT) ke-67 Kemerdekaan RI kali ini juga tetap semarak meski
jatuh pada bulan Ramadan. Bahkan, sebelum bulan penuh berkah ini datang,
beberapa kecamatan sepertinya juga sudah ada yang memulai menggelar lomba baris
berbaris. Hal itu bisa diketahui dari banyaknya barisan pelajar yang memenuhi
beberapa jalan utama saat saya melakukan perjalanan dari Banyuwangi ke Jember.
Ada yang masih dalam taraf latihan ada juga yang sudah berlaga dalam lomba
baris berbaris karena pesertanya sudah memakai nomor dada.
Di
sela hiruk pikuknya kegiatan menyambut HUT kemerdekaan itu, ternyata terselip
berita kurang menggembirakan. Diantaranya pihak penyelenggara kegiatan,
memanfaatkan momen itu untuk melakukan pungutan atau tarikan kepada warga,
pemilik toko atau badan usaha maupun instansi. Dalihnya, untuk menyemarakkan
ataupun mensukseskan kegiatan Agustusan yang bertujuan memupuk rasa persatuan
dan kesatuan bangsa.
Sorotan
tajam adanya pungutan Agustusan itu muncul di Kecamatan Genteng. Warga di
kecamatan paling dinamis di Banyuwangi itu mengeluh dengan pungutan yang
dilakukan oleh aparat kecamatan yang dinilai sedikit memaksa. Untuk pemilik
toko misalnya ditarik pungutan Rp 100 ribu, sedangkan untuk kantor desa dan
perkantoran ditarik Rp 500 ribu. Tak hanya itu, para siswa sekolah kabarnya
juga dikenai tarikan juga. Siswa SD dikenakan tarikan Rp 2.000 dan siswa SMA
ditarik Rp 15.000.
Itu
informasi awal yang masuk ke telinga salah satu anggota DPRD Banyuwangi. Dengan
jumlah toko, perkantoran dan siswa sekolah yang cukup banyak, tentu hasilnya
juga sangat besar kalau memang bisa terealisir semua. Apakah harus seperti itu
caranya? Kalau kenyataan ini ternyata memberatkan warga, maka tak salah kalau anggota
dewan berinisiatif menggelar hearing dengan pihak-pihak yang melakukan pungutan
tanpa adanya dasar hukum yang jelas.
Apalagi,
pungutan yang sangat memberatkan warga ini saya yakin tidak hanya terjadi di
Kecamatan Genteng, tapi juga di kecamatan lain. Salah satu bukti konkret yang
saya pegang adalah tarikan serupa dari Kecamatan Kalipuro. Suratnya resmi
berkop dan berstempel dengan tanda tangan camat dan ketua panitia HUT ke-67
Kemerdekaan RI. Sebagian permintaan yang diajukan isinya tak terlalu berbeda jauh
dengan temuan anggota dewan di Kecamatan Genteng.
Dalam
surat resmi itu disebutkan, untuk menggelar peringatan Agustusan, pihak
kecamatan menggelar beberapa kegiatan antara lain berbagai lomba yang
melibatkan anak didik dan warga masyarakat, lomba antar desa dan kelurahan,
upacara bendera dan malam resepsi. Untuk semua acara itu memerlukan biaya Rp
42.800.000. Karena itu, pihak panitia mohon keikhlasan dan ketulusan berbagai
pihak untuk berpartisipasi. Tapi anehnya, meski ada kata-kata ikhlas, panitia
mematok tarikan sebesar Rp 500.000.
Mungkin
patokan dengan jumlah tertentu itulah yang membuat warga keberatan. Apalagi,
tarikan itu tidak ada dasar hukumnya, sehingga bisa disebut pungutan liar.
Apalagi dalam surat itu juga tidak ada rincian pemakaian anggaran, hanya
disebut biaya totalnya saja. Saya yakin, seusai acara digelar, pihak panitia
juga tidak akan memberikan rincian pemakaian dana yang telah diterima kepada
para donatur.
Pungutan-pungutan
yang tidak memiliki landasan hukum seperti di atas memang banyak dilakukan
instansi pemerintah. Bahkan, praktiknya banyak yang lebih liar, selain tidak
ada dasar hukumnya juga tidak disertai surat resmi alias meminta atau memungut
langsung kepada warga. Terutama yang dilakukan oleh oknum-oknum birokrat yang berdinas
di instansi pelayanan publik, khususnya yang berkategori ‘’basah’’. Seperti di
kelurahan, kecamatan, Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT), Dispenda, Dispenduk
Capil, Dinas PU Pengairan, Dinas PU Bina Marga Cipta Karya dan Tata Ruang, Dinas
Pendidikan, Bappeda, Badan Pertanahan, Samsat, Kantor Pelayanan Pajak, dan
masih banyak lagi.
Instansi-instansi
di atas yang cukup rawan dijadikan ajang praktik untuk melakukan pungli.
Modusnya, ada yang menarik secara terang-terangan, ada yang dengan dalih untuk biaya
ketik, komisi, uang lelah, uang terima kasih, uang kopi, biaya administrasi,
biaya pengurusan, biaya tinjau lapangan, biaya ukur, dan lain sebagainya.
Padahal, dalam aturan resminya biaya-biaya itu tidak ada. Selain itu, juga ada
yang memanfaatkan momen-momen tertentu seperti peringatan Agustusan, tahun baru
Islam, hari Pendidikan Nasional, hari Bayangkara, hari ABRI dan lain-lain untuk
melakukan penarikan pungutan.
Tarikan-tarikan
untuk momen-momen tertentu itu masih bisa diterima dan ditoleransi manakala
berdasarkan hasil musyawarah bersama. Misalnya tarikan yang dilakukan kepada
warga di lingkungan rukun tetangga (RT) untuk kegiatan Agustusan ataupun
kegiatan lain. Jadi, tidak membuat keputusan sendiri terus melakukan kepada
warganya, apalagi dengan mematok tarikan dengan nilai yang cukup besar.
Agar
kebiasaan seperti ini tidak terus berlanjut, perlu ada langkah-langkah
preventif. Pertama, bupati sebagai kepala daerah harus berani mengambil langkah
tegas untuk melarang sekaligus memberikan sanksi kepada aparatnya yang
melakukan pungli. Kedua, DPRD bisa menggelar hearing dengan instansi terkait bila sudah ada laporan yang telah
merugikan ataupun meresahkan warga.
Ketiga,
warga atau elemen masyarakat harus berani menolak bila dikenai atau diminta
pungutan liar di luar ketentuan. Keempat, warga harus berani melaporkan ke
atasan instansi yang bersangkutan, kalau perlu ke aparat penegak hukum bila
mengetahui adanya pungutan liar yang merugikan masyarakat ataupun negara.
Dengan
langkah-langkah di atas, kita berharap birokrasi di Banyuwangi akan terbebas
dari praktik-praktik kotor pungli. Kita semua tentu tidak ingin bila upaya
menumbuhkan semangat kebangsaan dilakukan dengan cara tidak terpuji. Yaitu
dengan menyuburkan budaya praktik pungli. Tentu ini sangat bertolak belakang
dengan misi yang diemban. Wallahu ‘alam
bissawab. (cho@jawapos.co.id)
Komentar