Praktik Kotor di Instansi Pelayanan Publik
Oleh: A. Choliq Baya
LAYANAN publik yang diberikan oleh instansi pemerintah selama
ini banyak dinilai kurang memuaskan. Selain lambat, petugas yang melayani juga
terkesan kurang ramah. Bahkan, tak jarang dari mereka yang cerewet. Ada pula
yang mengulur-ulur waktu, atau bahkan layanan terhadap masyarakat tak langsung
diselesaikan manakala tidak disertai dengan ‘’salam tempel’’. Dan, masih banyak
lagi model ‘’permainan’’ para aparatur negara yang tidak sesuai aturan dan
mekanisme yang berlaku.
Contoh konkret, di beberapa kantor pusat pelayanan
masyarakat biasanya sudah dipajang prosedur pelayanan yang harus dilalui.
Termasuk, kelengkapan persyaratan dan besarnya tarif atau biaya yang
dibebankan. Biasanya aturan seperti itu terpampang di kantor Samsat, Badan
Pertanahan nasional (BPN), Perusahaan Listrik Negara (PLN), Telkom, perbankan, kantor pajak, pengadilan,
Dinas Pendapatan Daerah
(Dispenda), kantor Pelayanan Perizinan Terpadu (KPPT), Dinas
Perhubungan (Dishub), Dinas
kependudukan dan Catatan Sipil (Dispendukcapil), dan masih banyak lagi. Tapi
sayangnya, aturan itu lebih banyak menjadi pajangan belaka.
Pasalnya, betapa banyak petugas yang masih ‘’bermain
api’’ dalam menjalankan tugasnya. Urusan mudah bisa dibuat menjadi
berbelit-belit dan memakan waktu yang cukup lama. Tak hanya itu, seringkali
kita juga harus mengeluarkan uang tambahan di luar ketentuan yang ada. Apakah
itu memang dari keinginan kita sendiri untuk memberi tambahan uang agar urusan
bisa dipermudah dan dipercepat. Atau, memang itu permintaan secara langsung
dari oknum petugas tanpa ada rasa malu.
Selain saya pernah menemui sendiri kenyataan seperti
di atas, banyak pula kolega yang mengadu ke saya. Seperti ketika mengurus surat-surat
tanah di BPN, mengurus perizinan ke KPPT, perpanjangan STNK ke Samsat, uji KIR
di Dishub, mengerjakan proyek di Dinas Pengairan, dan masih banyak lagi. Modus
pungutan yang diberlakukan tidak hanya dengan cara halus tapi banyak yang
dilakukan secara terang-terangan alias tanpa tedeng aling-aling. Sepertinya ini sudah menjadi budaya, anehnya
pejabat tingginya diam saja. Padahal, suara-suara adanya penyelewengan itu
bunyinya sudah cukup santer.
Para oknum itu seolah tidak pernah belajar dan
memperbaiki diri dengan kasus-kasus penyelewenagan yang berhasil dibongkar
aparat penegak hukum. Termasuk juga tak jera dengan kasus-kasus suap atau korupsi
yang tertangkap langsung oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Buktinya, mereka yang tertangkap tangan melakukan penyelewengan atau
pelanggaran hukum terus bertambah. Bahkan, nilai kerugian yang diderita negara
juga bertambah besar. Bagaimana dengan yang tidak ketahuan atau tidak
terjangkau aparat penegak hukum? Pasti jumlahnya juga banyak.
Sepertinya, korupsi dan suap sudah menjadi euforia di negeri kita, beberapa pejabat
eksekutif, legislatif maupun yudikatif seolah sudah tidak punya rasa malu lagi
menggarong uang negara. Dan, itu tidak hanya terjadi di tingkat pusat. Di
daerahpun perilaku aparat kita juga sami
mawon. Sangat ironis, bila ada
pejabat pemerintah dengan gagah mengumandangkan brantas korupsi, memberdayakan
rakyat miskin, pengurusan izin dipermudah dan cepat agar investor masuk, dan
slogan lips service lainnya, tapi
membiarkan praktik-praktik kotor seperti di atas.
Selain itu, ada lagi pelayanan publik di instansi
pemerintah yang perlu diperbaiki, yaitu dari sisi etitude sumber daya manusia (SDM)-nya. Sebab, banyak aparat
pemerintah yang menjadi pelayan masyarakat menunjukkan sikap kurang ramah. Mulai
dari menampakkan wajah cemberut, ketus, cerewet atau sikapnya kurang familier, ditambah lagi layanan yang
diberikan tidak memuaskan, masyarakat pasti kecewa berat. Apalagi bila ada
warga yang mempertanyakan, para pegawai itu digaji dengan uang rakyat, kenapa
sikapnya tidak merakyat.
Karena itu, saya
sangat mengapresiasi bila kondisi buruk seperti ini sudah ada pimpinan instansi
yang menyadarinya. Apalagi berupaya melakukan perbaikan sebagaimana telah ditunjukkan
oleh RSUD Blambangan Banyuwangi. Dua hari lalu direktur rumah sakit ini telah
memulai tekad dan komitmennya bersama para karyawan untuk memperbaiki layanan
dengan me-launching budaya RSS (Ramah
Senyum Salam). Meski program itu di rumah sakit swasta bukan merupakan sesuatu
yang baru, tapi di RS milik pemerintah ini bisa membangkitkan motivasi baru
bagi para karyawannya. Apalagi, bila program ini senantiasa dipatau, diberi reward and punishment bagi pelakunya.
Insya Allah akan ada nilai tambah dan kemajuan yang bakal didapat.
Saya
berharap, instansi pelayanan publik milik pemerintah yang lain juga terus
berbenah meningkatkan pelayanan terbaik kepada masyarakat. Meskipun, hal itu sudah menjadi tugas pokok yang memang harus dijalankan.
Sebab, salah satu tugas aparat pemerintah adalah melayani kebutuhan warganya.
Dan, pelayanan publik itu seharusnya masuk agenda prioritas. Mengingat, di
banyak negara maju, pelayanan publik mendapat
prioritas utama. Bahkan, kalau pelayanan publik itu tidak
memuaskan, warga bisa menggugat secara hukum ke pengadilan.
Bagaimana
kalau aparat pelayanan publik tidak mau menjalankan tugasnya dengan baik? Kita
bisa melaporkannya kepada Komisi Pelayanan Publik. Sebab, hukum bisa menjerat
mereka manakala mereka lalai, sengaja mengulur-ulur waktu, mempermainkan, atau
menarik pungutan di luar ketentuan. Para aparat pemerintah itu bisa dijerat
dengan sanksi administratif, pidana maupun perdata.
Seperti apa sanksi
bagi petugas yang tidak melayani pengaduan adanya penyimpangan pelayanan publik
dengan baik? Menurut Perda Provinsi Jatim No. 11/2005 akan
dikenai sanksi administasi (bagian kedua pasal 25) dan sanksi pidana (bagian
ketiga pasal 26). Sanksi administrasi yang bisa dikenakan berupa peringatan
lisan, tertulis, penundaan kenaikan pangkat, penurunan pangkat, mutasi jabatan,
pembebasan tugas dan pemberhentian tidak hormat. Sedang sanksi pidananya diancam kurungan enam bulan dan atau denda paling
banyak Rp 50 juta.
Karena itu, untuk lebih
memberdayakan pelayanan publik yang seringkali cukup menjengkelkan, saya
berharap ada keberanian dari masyarakat untuk melapor manakala terjadi
penyimpangan. Yang lebih penting
lagi, ada kemauan, keberanian dan tindakan tegas dari pimpinan instansi tertinggi atau pejabat
berwenang demi tegaknya good governance
and clean government. (cho@jawapos.co.id)
Komentar