Aktualisasi Diri, Onani dan Syahwat Kekuasaan

MENJELANG pemilihan kepala daerah (pilkada) banyak orang yang memanfaatkan kesempatan untuk mengaktualisasikan diri. Yaitu ingin mendapatkan pengakuan dari masyarakat luas. Terutama pengakuan terhadap sepak terjang yang telah dilakukan selama ini serta program menjanjikan yang bakal dilakukan nanti. Apakah dia dari kalangan birokrat, politisi, profesional, akademisi, pengusaha, maupun dari orang yang sebelumnya tidak jelas asal usulnya. Dengan harapan, mereka bisa dikenal, diakui dan nantinya bisa mendapat legitimasi dari khalayak. Sehingga, bisa dipakai modal untuk mencalonkan diri sebagai penguasa.

Cara mengaktualisasikan diri itu diantaranya dengan mengobral janji, menebar harapan menggiurkan, pamer keberhasilan akan apa yang telah dilakukan, hingga mengultuskan dirinya sebagai ‘’manusia super’’. Promosi itu bisa dilakukan melalui pemasangan baliho, poster, spanduk, selebaran, iklan di media cetak dan elektronik, kegiatan sosial, mendatangi tempat-tempat layanan publik, menyebar buku dan CD, menjadi pengurus di banyak organisasi hingga sering menulis di media massa. Pendek kata, kesibukan atau apa yang dilakukannya itu bisa membuahkan ketenaran seperti selebritis.

Dalam setiap kesempatan, para ‘’pencari jati diri’’ yang haus akan pengakuan dari orang lain itu selalu mengungkap berbagai peran dan keberhasilan yang telah dilakukan. Apakah ketika dia menjabat sebagai kepala atau pimpinan sebuah instansi, berprestasi dalam bidang tertentu atau sekedar membual alias klaim sepihak. Pikirnya, khalayak tidak tahu secara mendetail, juga tidak akan komplain meski dikadali, justru akan terkagum-kagum dengan ‘’prestasi’’ yang telah diungkapnya. Apalagi bila dibumbui dengan kata-kata manis sebagai pemikat yang bisa menghanyutkan emosi khalayak.

Tapi, bagi orang yang tahu betul karakter, latar belakang dan ‘’prestasi’’ yang bersanghkutan, pasti hanya tersenyum kecut. Bahkan, mungkin ada pula yang sinis. Apalagi, bagi mereka yang pernah menjadi karyawan, anak buah, bawahan, teman dekat, tetangga atau mitra kerjanya pernah merasa dizalami, ditipu, dilecehkan, dikadali atau dicampakkan, tentu akan lebih apriori lagi. Ada yang mempertanyakan, ada pula yang tidak simpati.

Sementara bagi yang bersangkutan, aktualisasi diri dengan mengobral aneka keberhasilan dan prestasi yang pernah diukir ke khalayak dianggap bisa mendatangkan simpati dan membuat namanya jadi terkenal. Termasuk, memasang foto di sudut-sudut jalan dan di media massa. Padahal, cara seperti itu tak ada bedanya dengan beronani. Yakni, lebih banyak menyenangkan, membanggakan dan memuaskan dirinya sendiri. Menurut bahasa agamanya adalah riya’. Naudzu billahi mindzalik.

Apalagi menjelang adanya pesta demokrasi seperti pilbub, pilwali, pilgub dan pilpres, biasanya beberapa orang mulai kemaruk (bernafsu, latah). Tensi, libido atau syahwat kekuasaannya meninggi. Ironisnya lagi, beberapa diantara mereka seringkali mengukur kemampuan yang dimiliki tidak berdasarkan realitas yang berkembang atau parameter normatif, tapi lebih banyak dari egonya sendiri. Apalagi kalau dia juga merasa sudah ditunjang oleh popularitas, uang, dan jabatan, tentu rasa percaya dirinya untuk bisa merebut kekuasaan semakin tinggi dan menggebu-gebu.

Ya, demi sebuah kekuasaan, banyak orang yang ingin meraih atau mempertahankannya dengan berbagai cara. Tak peduli apakah cara itu bersih, kotor, beretika ataupun mengorbankan prinsip-prinsip atau nilai agama, budaya dan moraliltas. Yang penting, kekuasaan itu bisa digenggamnya. Dengan kekuasaan dia bisa lebih dikenal banyak pihak, bisa mmemerintah, dihormati, dikagumi seperti artis dan petuahnya dihargai, paling tidak oleh bawahannya yang ketakutan atau ngathok (cari muka).

Dari pengalaman dan fenomena yang berkembang selama ini, ambisi dan syahwat kekuasaan seringkali mengalahkan akal sehat. Karena merasa punya modal popularitas, uang atau jabatan, ia sepertinya sudah merasa mampu bertarung merebut kekuasaan tanpa mengkajinya lebih dalam. Khususnya menyangkut kelebihan dan kelemahan yang dimiliki. Sebab, mereka sudah terprovokasi oleh rayuan setan yang menjanjikan kekuasaan adalah segalanya.

Sejatinya, setiap warga negara memiliki hak politik untuk mencalonkan atau dicalonkan. Siapapun dari anak bangsa yang memiliki kemampuan, berhak menjadi kepala desa, bupati, walikota, gubernur atau presiden. Termasuk menjadi pemimpin di institusi non pemerintah. Hanya saja, seorang pribadi yang jujur pasti memiliki parameter tersendiri untuk mengukur pantas tidaknya dia bersaing dalam berebut atau mempertahankan kekuasaan.

Saya jadi teringat beberapa metode analisa diri saat masih aktif di organisasi ekstra kampus. Metode yang kerapkali diterapkan dalam agenda pengkaderan calon pengurus atau pemimpin organisasi itu rupanya cukup cocok bila dijadikan parameter untuk mengukur kapabilitas diri. Khususnya bagi mereka yang ingin atau sudah menjadi pemimpin agar tidak terlalu overconfidence. Metode analisa diri yang saya kira sudah tidak asing lagi itu adalah SWOT (Strength/kekuatan, Weaknesses/kelemahan, Opportunities/peluang, Threats/ancaman).

Analisis terhadap faktor-faktor kekuatan (S) dan kelemahan (W) adalah kajian yang bersifat introspektif. Yaitu, melakukan penilaian pada diri sendiri secara jujur, bukan dengan membanggakan diri. Sedang kajian terhadap faktor peluang (O) dan ancaman (T) merupakan kajian lingkungan yang berada di luar diri, sehingga di luar pengaruh dan kendali diri pribadi.

Menurut hemat saya, analisa SWOT bisa dianggap sebagai variabel substansial yang harus dikaji sebelum menetapkan strategi menuju kemenangan. Jika analisa SWOT dilakukan sebelum penetapan calon, dan hasilnya lebih besar variabel negatif dari pada positif, sebaiknya para calon berpikir kembali untuk maju dalam persaingan. Jangan memaksakan diri menuruti syahwat ingin bertarung merebut kekuasaan bila tidak ingin buang duit secara sia-sia.

Selain menggunakan parameter SWOT, sebaiknya setiap orang juga melakukan instrospeksi diri, apakah dirinya telah memenuhi persyaratan normatif yang bersifat formal. Juga persyaratan spesifik dari sisi empirik maupun berdasarkan literatur akademis. Sebab, dari pengalaman, kemampuan menganalisa secara akademis dan diperkuat dengan prilaku yang baik, pasti akan membuahkan hasil yang baik. Semoga. (cho@jawapos.co.id)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prostitusi Kota Santri

Wartawan Abal-Abal

Promosi di Media Berkelas