Guru: Digugu lan Ditiru
DEMIKIAN akronim dalam Bahasa Jawa yang sering kita dengar. Makna dari kalimat digugu lan ditiru ini mengandung nilai filosofi yang dalam. Seorang guru harus bisa memberi teladan kepada siapapun, khususnya kepada para muridnya. Segala nasihat, perintah, tindakan dan perilakunya menjadi panutan bagi anak didiknya. Bila sang guru berhasil memberikan pendidikan, pelajaran dan contoh yang baik kepada anak didiknya, tentu sebagian besar muridnya akan menjadi orang yang pintar dan bermoral.
Begitu pula sebaliknya, bila seorang guru tidak berhasil mendidik dan memberi suri teladan yang baik terhadap anak didiknya, apalagi member contoh yang jelek, maka jangan berharap generasi penerus itu akan menjadi baik (berilmu dan bermoral). Sehingga, sangatlah relevan manakala muncul ungkapan ‘’guru kencing berdiri murid kencing berlari’’. Apapun kejelekan yang dilakukan gurunya, maka akan berdampak buruk juga terhadap anak didiknya. Dan, bisa jadi anak didik itu juga akan mengikuti perbuatan tidak terpuji yang dilakukan gurunya.
Sekilas, banyak orang memandang tugas guru hanya begitu-begitu saja. Maksudnya, datang ke sekolah, kemudian menyampaikan materi pelajaran dengan buku diktat yang sudah disiapkan berdasarkan kurikulum yang ada. Aktivitas rutin itu terlihat agak jadul alias kuno bila yang mengamati tidak mengikuti perkembangan dunia pendidikan. Padahal, model, kurikulum dan sistem pendidikan yang diterapkan sekarang sudah banyak berubah. Sistem dan metode mengajarnya tidak lagi monoton seperti dulu, melainkan sudah terancang rapi dengan didukung teknologi informasi (TI) yang canggih. Tapi, juga tidak kita pungkiri, masih banyak sekolah yang tidak tersentuh oleh kemajuan itu.
Meski didukung oleh TI yang canggih, tugas dan tanggung jawab seorang guru tetap sangat berat. Sebab, dia harus menyervis otak (pikiran) dan jiwa (mental) anak didiknya. Meski, peran dan beban itu juga menjadi bagian dari tanggung jawab orang tua, keluarga dan masyarakat. Guru harus mengajar untuk menularkan ilmu yang dikuasai ke pikiran anak didiknya agar pintar dan menguasai ilmu pengetahuan. Tugas lainnya, guru juga harus mendidik mental muridnya agar memiliki kepribadian, budi pekerti atau moral yang pemberani, tidak mudah menyerah, santun dan rendah hati. Bahasa idealnya, guru harus bisa menciptakan murid yang ‘’berotak Amerika tapi berhati Makkah’’. Maksudnya pintar, bermoral dan beriman.
Karena begitu berat dan mulianya tugas dan tanggung jawab yang diemban oleh seorang guru, sehingga tak salah kalau dia juga dijuluki sebagai ‘’pahlawan tanpa tanda jasa’’. Sebab, mereka cukup berjasa dalam melahirkan kader-kader penerus bangsa yang tangguh, cerdas dan bermoral. Sebagaimana digambarkan penyanyi dan pencipta lagu Iwan Fals mengenai sosok guru yang penuh pengabdian, jujur, sederhana, tak pernah mengeluh, gajinya selalu dipotong, tapi banyak melahirkan tokoh besar bernama ‘’Oemar Bakri’’.
***
Bagaimana dengan demo para guru ke Pemkab Banyuwangi tiga hari lalu yang dilanjutkan dengan aksi mogok mengajar? Demo serupa sebelumnya juga sudah pernah dilakukan beberapa kali dengan tuntutan yang sama kepada Bupati Banyuwangi. Sayang, sikap Pemkab Banyuwangi kurang tegas dan terkesan mengambangkan tuntutan yang diajukan para guru. Dampaknya, siswa yang tidak terkait secara langsung dengan tuntutan para guru juga ikut menanggung akibatnya.
Secara umum, kondisi seperti ini sangat memprihatinkan dunia pendidikan kita. Para siswa, kecuali yang akan menghadapi Unas, harus gigit jari tidak mendapatkan haknya untuk menerima transfer ilmu dari para gurunya yang memilih mogok mengajar. Selain waktunya terbuang sia-sia, para siswa juga harus kehilangan ongkos transportasi menuju sekolah. Sehingga, wajar kalau Dewan Pendidikan Banyuwangi sangat menyayangkan aksi mogok mengajar para guru. Termasuk adanya protes dari wali murid, bahkan mereka berancang-ancang mendemo para guru yang mogok mengajar itu.
Kemungkinan dampak lainnya, mogok mengajar para guru itu juga menjadi tren dan akan ditiru oleh para siswanya. Jangan-jangan setiap siswa punya keinginan tetapi guru atau sekolah tidak bisa memenuhi, mereka akan menggelar demo. Bahkan, kalau tuntutan tak dikabulkan bisa jadi mereka akan mogok belajar. Bukankah sudah ada pepatah, ’’guru kencing berdiri, murid kencing berlari’’. Kalau sudah seperti ini yang terjadi, tentu akan semakin memprihatinkan potret dunia pendidikan kita.
Dalam kasus demo dan mogok mengajar ini, tentu kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan para guru yang tergabung dalam PGRI Banyuwangi. Mereka melakukan tuntutan seperti itu, pasti juga memiliki alasan dan pijakan. Apakah itu peraturan pemerintah, alasan politis, kesejahteraan atau mungkin ada janji dari kepala daerah atau pejabat eksekutif lain yang belum terealisasi.
Semua permasalahan harus disikapi dengan bijak. Salah satu kunci kompromi yang bisa ditempuh adalah adanya keterbukaan dan ketegasan dari kepala daerah. Ini bukan berarti seluruh tuntutan yang diajukan para guru harus dipenuhi semua, tetapi harus dipilah urgensitasnya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku serta kemampuan yang dimiliki pemerintah daerah. Termasuk juga diminta kelegawaan hati para guru manakala pemkab benar-benar tidak bisa memenuhi tuntutan yang ada karena keterbatasan yang dimiliki.
Cara menuju kompromi, tentu harus lewat jalan dialog atau musyawarah. Duduk satu meja antara pejabat eksekutif yang dipimpin bupati dengan perwakilan para guru yang dikomandani ketua PGRI. Masing-masing pihak tidak perlu saling ngotot, tetapi harus sama-sama mencari solusi yang kompromis. Tahu hak dan kewajiban masing-masing, tahu peraturan yang terkait dengan persoalan yang dibahas, serta menyadari kelemahan dan keterbatasan masing-masing pihak. Termasuk, tidak serta merta mengandalkan semangat dan argumentasi ’’pokoknya harus begini’’.
Dengan musyawarah itu, berarti ada upaya penyelesaian. Meski, hasilnya belum tentu bisa memuaskan masing-masing pihak. Sehingga, masalah ini tidak mengambang terus, hingga muncul demo lagi yang akhirnya merugikan beberapa pihak. Mulai dari pemakai jalan, pelaku usaha di sekitar lokasi demo, hingga mengorbankan kepentingan anak didik yang tidak bisa mendapatkan pelajaran berharga karena gurunya mogok mengajar. Capek deh!
Beberapa tuntutan yang terkait dengan peraturan pemerintah, maka kajiannya juga berdasarkan aturan hokum yang ada. Kalau peraturannya sudah ada dan mengharuskan seperti itu, maka pemerintah harus bisa memenuhinya. Jangan sampai peraturan itu justru diabaikan oleh aparat pemerintah sendiri. Hal ini bisa menimbulkan preseden buruk dan hilangnya rasa kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Kalau ada kendala teknis, maka harus dijelaskan, kemudian solusinya bagaimana? Jangan diambangkan.
Begitu pula dengan tuntutan yang sifatnya normatif atau semata-mata ingin adanya peningkatan kesejahteraan, selama payung hukumnya tidak ada dan pemda tak memiliki anggaran yang cukup untuk memenuhinya, ya tidak perlu dipenuhi. Tapi kalau anggarannya ada, apalagi mungkin ada pejabat yang pernah mengumbar janji, ditambah lagi adanya suntikan anggaran pendidikan dari APBN dan APBD Jatim, tentu tidak ada salahnya tuntutan itu direspon dengan baik. Tapi, kalau tidak memungkinkan, maka para guru juga harus legawa.
Begitu pula dengan kebijakan-kebijakan bersifat lokal yang diterbitkan pemerintah daerah, sekiranya itu mengganggu atau memberatkan para guru, sebaiknya ditinjau lagi. Namun, bila urgensitasnya setelah dikaji ternyata sangat mendesak untuk mengatrol kualitas guru kita, saya kira tidak ada alasan untuk menghapus kebijakan itu. Lebih-lebih misalnya, di daerah lain juga ada atau di tingkat pusat juga menyarankan beberapa standar kualifikasi seperti itu.
Apa yang kami paparkan di atas, tentu bukan bermaksud untuk menggurui para guru atau mendekte pemerintah daerah, tapi semata-mata sebagai urun rembuk agar persoalan ini tidak terus berlanjut hingga berlarut-larut dan tak kunjung usai. Apalagi, aksi demo terakhir sudah berlanjut pada aksi mogok mengajar. Sampai-sampai beberapa wali murid sudah ada yang tidak terima dan bersiap-siap mendemo para guru yang mogok mengajar.
Akankah masalah seperti ini kita biarkan terus? Ini sama artinya dengan kita memasang bom waktu yang bisa menghancurkan dan merugikan kita semua. Kearifan dari semua pihak dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah ini. Semoga ada kesadaran dan keterbukaan hati demi ketentraman negeri ini. (cho@jawapos.co.id)
*) Radar Banyuwangi, 26 Februari 2010
Komentar