Minapolitan
AKHIR pekan kemarin, saya menyempatkan diri mengunjungi Muncar. Karena saya tak begitu mengenal daerah ini, saya sengaja mengajak manager iklan Radar Banyuwangi untuk menemani sekaligus menjadi guide. Saya memang penasaran dan ingin tahu lebih dekat, seperti apa kondisi daerah penghasil ikan yang diproyeksikan menjadi kawasan internasional minapolitan ini. Yakni, sebuah kawasan pembangunan ekonomi terpadu berbasis kelautan dan perikanan. Nantinya, penggerak utama ekonomi di kawasan minapolitan ini dapat berupa kegiatan produksi dan perdagangan perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan pengolahan ikan.
Saya sengaja ingin mengunjungi Muncar ke kawasan yang terkait dengan kawasan minapolitan. Di sana, saya keliling ke tempat pelelangan ikan (TPI), melihat dermaga yang dipakai sandar perahu-perahu penangkap ikan, melihat sebagian nelayan yang sedang menyiapkan diri untuk melaut, melihat warga berjualan ikan, dan melihat keluarga nelayan yang menjemur ikan di beberapa lokasi. Juga mengamati puluhan pabrik pengepakan dan pengalengan ikan yang berdiri megah di beberapa lokasi. Sayangnya, saya belum bisa melihat proses produksi serta mengetahui kapasitas produksi beberapa pabrik pengalengan ikan di sana.
Di kecamatan Muncar ini, saya juga menemukan beberapa kantor bank cabang pembantu yang jumlahnya cukup representatif. Hal ini menunjukkan, bahwa perputaran uang di kawasan ini cukup besar. Meski saya tak memiliki data yang pasti, keberadaan beberapa kantor bank di level kecamatan yang jumlahnya cukup banyak itu sudah bisa menjadi indikator kalau potensi ekonomi di daerah ini cukup tinggi.
Potensi sumber daya alam terbesar di Muncar adalah hasil laut. Konon kabarnya, Muncar merupakan salah satu daerah penghasil ikan laut paling besar. Karena begitu besarnya potensi alam dan sumber daya manusia di daerah ini sehingga banyak investor yang tertarik membangun pabrik di kawasan ini. Khususnya pabrik yang terkait dengan potensi hasil alam. Jumlahnya mencapai puluhan pabrik, mulai yang berskala kecil hingga berskala besar yang hasil produksinya lebih banyak diekspor ke manca negara.
Maka tak salah, bila Banyuwangi yang memiliki potensi hasil laut cukup besar ini bakal dijadikan salah satu kawasan internasional minapolitan. Ini merupakan bagian dari program Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia yang diproyeksikan bersama lima belas daerah lain di Indonesia pada tahun 2010 ini. Apalagi, secara geografis daerah Banyuwangi juga dikelilingi laut yang potensi hasil lautnya juga bisa diandalkan. Seperti di Pulau Santen, Watudodol, Blimbingsari, Grajakan, Pancor, Pantai Boom dan masih banyak lagi.
Meski potensi ekonomi dari hasil laut cukup besar, ternyata lingkungan di beberapa kawasan penghasil ikan rata-rata cukup jorok. Di Muncar misalnya, kondisi lingkungannya sangat kumuh, kotor dan jorok. Termasuk infrastruktur jalannya banyak yang rusak, berlubang dan berdebu. Ditambah lagi bau anyir dan busuk yang cukup menyengat, membuat polusi di kawasan ini cukup menyesakkan dada. Bahkan, kalau musim ikan, konon bau busuk menyengat itu bisa tercium hingga radius lima km lebih.
Kenyataan itu, sepertinya sangat tidak sebanding dengan besarnya potensi ekonomi di sana. Dengan banyaknya pabrik yang berdiri di sana, seharusnya perawatan dan pembangunan lingkungan dan jalan-jalan di sana bisa lebih terperhatikan. Termasuk, saya belum melihat adanya tempat pengolahan limbah untuk mengeliminir terjadinya pencemaran dan polusi. Baik itu limbah cair maupun polusi bau yang cukup menyengat dan menjijikkan itu.
Karena itu, salah satu yang perlu dibenahi untuk menyiapkan Banyuwangi menjadi kawasan internasional minapolitan, khususnya di Muncar, adalah sarana dan infrastrukturnya. Khususnya, menyangkut perbaikan jalan, kebersihan lingkungan dan pembangunan instalasi pengelolaan limbah (IPAL) secara terpadu. Karena pembangunan IPAL ini biayanya cukup besar, mungkin pemerintah daerah bisa bekerjasama dengan BPPT atau lembaga founding yang peduli terhadap lingkungan. Misalnya, Pemkab Banyuwangi menyediakan lahannya, pihak lain yang membiayai pembangunan fisiknya.
Untuk perawatan dan biaya operasionalnya, manajemen IPAL bisa mengenakan biaya pemakaian kepada pabrik-pabrik yang membuang limbahnya ke sini. Sistem dan manajemen pengelolaan limbah dari pabrik-pabrik itu, kita bisa meniru beberapa kawasan industri yang punya IPAL. Seperti kawasan industri SIER di Rungkut Surabaya. Kalau ini bisa dikelola dengan baik, masalah pencemaran lingkungan, paling tidak bisa teratasi.
Upaya mewujudkan kawasan minapolitan akan lebih cepat manakala infrastruktur pendukung juga dibenahi secara serius. Mulai dari perbaikan jalan, TPI dan dermaganya. Termasuk kebersihan lingkungan di kawasan ini, sehingga lebih terlihat bersih dan enak dipandang. Siapa tahu ke depan juga bisa menjadi kawasan wisata yang bakal menjadi jujukan bagi para turis, pasti akan lebih menguntungkan lagi.
Mengenai sistem penjualan hasil tangkapan ikan dari nelayan kepada para pengepul atau pabrik, saya kurang tahu banyak tata cara dan kebiasaannya. Harapan kita, semua pihak harus sama-sama diuntungkan. Apakah itu, nelayan, pengepul maupun pemilik pabrik. Jangan sampai ketika musim ikan tiba, hasil tangkapan nelayan dihargai sangat rendah sementara pemilik pabrik mengeruk keuntungan yang cukup besar. Agar tidak terjadi seperti ini perlu ada aturan main dan manajemen terpadu yang lebih baik. Sehingga, setelah daerah ini ditetapkan sebagai kawasan minapolitan internasional nantinya benar-benar ada bedanya, tidak sekedar cap stempel atau gagah-gagahan saja.
Semoga para calon bupati yang sekarang tengah tebar pesona agar pada 14 Juli 2010 nanti dipilih oleh rakyat, juga mempunyai kepedulian yang tinggi dalam mewujudkan Banyuwangi menjadi kawasan minapolitan internasional. Harapan kita semua, perwujudan kawasan minapolitan itu juga bisa mengangkat kesejahteraan para nelayan dan warga Banyuwangi pada umumnya. Semoga. (cho@jawapos.co.id)
*) Radar Banyuwangi, 28 Mei 2010
Komentar