Negeri Koruptor

INDONESIA disebut sebagai negara dengan perekonomian paling korup di Asia Pasifik. Indikasi tersebut berasal dari survei yang dilakukan Lembaga Konsultasi Risiko Politik dan Ekonomi (PERC) awal pekan ini. PERC yang berbasis di Hongkong memberi skor 9,07 dalam skala 1-10. Di bawah Indonesia, berikutnya negara Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Skor 0 adalah indikasi bebas korupsi, Skor antara 4 dan 7 diindikasikan sebagai negara dengan tingkat korupsi menengah. Sedang skor lebih dari 7 menunjukkan indikasi adanya masalah korupsi yang serius.

Tahun sebelumnya, dalam survei yang sama, Indonesia juga menjadi negara paling korup di Asia. Skornya masih lebih baik dari tahun lalu, yaitu 8,32. Kalau dilihat dari indikasi skornya, berarti praktik korupsi di negeri kita semakin parah atau bisa jadi pemberantasan korupsi di negara lain yang masuk dalam survei PERC kondisinya membaik.

Menurut PERC, indikasi korupsi pada sektor publik dan privat di Indonesia masih sangat tinggi. PERC menyebut di berbagai negara terdapat ketidakpercayaan publik terhadap keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi. Sebaliknya, survei ini justru menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia terkesan dengan upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Meski demikian, bukan berarti lantas kita membiarkan praktik korupsi terus berkembang di negeri ini, atau kita pasrah bongkokan kepada aparat penegak hukum seperti KPK, kejaksaan atau kepolisian untuk mengusut korupsi di Indonesia. Keberadaan KPK yang semakin proaktif menjemput kasus-kasus korupsi dan banyaknya pejabat negara yang dijebloskan ke penjara, ternyata tidak membuat ciut nyali para abdi negara kita untuk tidak korupsi. Terbukti, masih banyak kasus-kasus baru penggerogotan uang negara yang mencuat di media massa.

Apakah ini suatu indikasi kalau para abdi negara kita tidak takut atau merasa sudah kebal hukum? Mengingat, dengan banyaknya pejabat negara yang diperiksa dan dijebloskan ke penjara, seharusnya bisa menjadi shock therapy yang menakutkan untuk tidak coba-coba korupsi atau semakin lebih berhati-hati dalam bertindak. Tapi anehnya, KPK justru terus mendapatkan mangsa koruptor baru. Padahal, di luar kasus yang tidak terdeteksi atau tercium KPK, pasti jumlahnya jauh lebih banyak. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan kita semua.

Ternyata, para abdi negara masih banyak yang menyalahgunakan amanat dengan memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki demi mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok. Rupanya, ‘’mainan’’ yang namanya korupsi itu cukup menarik perhatian mereka. Mungkin, selain cara mendapatkannya yang agak gampang, hasilnya juga cukup menggiurkan, bahkan bisa membikin pelakunya ketagihan. Sebab, inilah cara instan mendapatkan kekayaan bagi orang yang rapuh imannya.

Mungkin dulu, kemarin atau sekarang, cara haram mendapatkan kekayaan itu tidak ada yang tahu. Tapi, di kemudian hari, bisa jadi ketika yang bersangkutan akan atau bahkan sudah pensiun, uang negara yang dikorupsi itu terungkap. Jadilah masa tua yang seharusnya dinikmati dengan tenang berubah jadi penderitaan yang cukup menyakitkan. Kejadian ini sudah banyak contohnya. Semoga bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita semua.

Meski sudah banyak contoh yang bisa dipetik, ternyata masih banyak para pejabat negara kita yang tidak sadar diri dan kurang mawas diri. Ketamakan terhadap harta atau sesuatu yang berbau duniawi masih sering menyelimuti jiwa mereka. Kurangnya kontrol diri dan rapuhnya nilai-nilai keimanan membuat jalan hidup mereka tak kuasa menerima godaan setan. Inilah kelemahan manusia: harta, wanita dan tahta (jabatan) seringkali dipuja hingga lupa pada batasan-batasan yang digariskan Tuhannya.

Ya, semua kasus yang menyangkut sepak terjang abdi negara di atas terkait erat dengan mentalitas. Kalau dulu abdi negara melakukan korupsi dengan alasan gajinya kecil. Tapi, ketika gaji dan tunjangannya dinaikkan cukup signifikan saat Gus Dur jadi presiden, ternyata korupsi, suap, gratifikasi, dan lain-lain masih tumbuh subur. Termasuk di lembaga legislatif yang untuk urusan gaji juga tak pernah mau kalah dengan PNS, moralitasnya juga tak kunjung berubah.

Terlepas dari segala kelemahan yang melekat pada diri manusia, khususnya yang menyangkut para abdi negara, tentu kita tidak bisa membiarkan uang rakyat terus-terusan digarong. Sebagai warga negara yang baik, kita juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengamankan agar pengelolaan negara ini dilakukan secara benar sesuai dengan hukum yang berlaku. Termasuk yang menyangkut pengelolaan uang negara. Bahkan, kalau perlu kita juga harus membantu melakukan upaya pencegahan agar budaya korupsi di negara kita tidak terus berkembang biak hingga nantinya menjadi penyakit kronis yang sulit disembuhkan dan membuat negara kita hancur.

Salah satu upaya itu adalah dengan cara melakukan pengawasan melekat (waskat). Kita yang tidak punya wewenang untuk melakukan penyidikan terhadap segala penyimpangan yang dilakukan para abdi negara bukan berarti hanya diam saja. Tapi, kalau kita tahu dan punya data penyimpangan keuangan, kita bisa melaporkan ke aparat penegak hukum. Terutama kasus-kasus korupsi di daerah yang masih sedikit tersentuh oleh KPK. Sebab, tenaga penyelidik dan penyidik dari KPK masih terbatas, di samping belum adanya perwakilan KPK di daerah.

Selain itu, kita juga harus mencermati para calon pemimpin yang akan bertarung dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Mereka yang kita pilih harus yang memiliki komitmen tinggi terhadap pemberantasan korupsi. Sebab, hingga saat ini, para calon bupati Banyuwangi maupun Situbondo yang namanya sudah bermunculan, saya belum melihat ada penonjolan jargon atau visi misi yang berkomitmen melakukan pemberantasan korupsi. Apalagi sampai memaparkan konsep dan strategi pemberantasan korupsi secara mendetail.

Karena itu, memilih calon yang punya komitmen tinggi dalam memberantas korupsi, bermoral dan amanah merupakan salah satu bentuk partisipasi yang bisa kita berikan. Lewat pemimpin yang amanah inilah kita harapkan negara kita bisa lebih baik dan praktik korupsi bisa berangsur-angsur tergusur. Semoga. (cho@jawapos.co.id)

*) Radar Banyuwangi, 12 Maret 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Prostitusi Kota Santri

Wartawan Abal-Abal

Promosi di Media Berkelas