Siap Menang, Siap Kalah
KOMISI Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Banyuwangi dan Situbondo telah menetapkan calon bupati (cabup) dan calon wakil bupati (cawabup) yang bakal bertarung memperebutkan kursi kekuasaan eksekutif tertinggi di daerahnya. Untuk Situbondo, ada lima pasang calon yang bakal jadi kontestan pemilukada pada 22 Juni 2010. Kelima pasang calon itu adalah Hadariyanto – Basunondo (diusung PDIP, PKPB, Gerindra, PDP, PPRN dan PPDP); Herman – Junaidi (calon independen); Wahyu TW – Syamlawi Majid (diusung PKB dan Partai Demokrat); Dadang Wigiarto – Rachmad (diusung Partai Golkar dan PKNU); dan Sofwan Hadi – Sukarso (diusung PPP).
Sedang di Banyuwangi, Pemilukada yang bakal digelar pada 14 Juli 2010 bakal diikuti tiga pasang calon. Masing-masing Abdullah Azwar Anas – Yusuf Widyatmoko (dicalonkan PDIP, PKB, Golkar, PKNU dan PKS); Jalal – Yusuf Nuris (dicalonkan Partai Demokrat); serta pasangan Emilia Contessa – HA Zainuri Ghazali (dicalonkan oleh Partai Gerindra, PAN, RepublikaN, PKPB, Bernas, PDP, PNI Marhaen dan Patriot Pancasila).
Pasangan cabup – cawabup di kedua daerah yang berada di pesisir Laut Jawa dan Selat Bali ini telah menandatangani memorandum of understanding (MoU) siap menang dan sikap kalah di depan jajaran Muspida. Yakni, bersedia menerima kemenangan ataupun kekalahan dengan jiwa besar demi terciptanya situasi yang tertib, aman dan nyaman. Poin penting lainnya di dalam MoU itu adalah, semua cabup berikrar menggelar kampanye damai, santun dan tidak saling menyerang antar sesama calon melalui black campaign. Para pasangan cabup juga berjanji sanggup menyerukan massa pendukungnya untuk mentaati aturan lalu lintas di jalan guna mencegah terjadinya kecelakaan.
Kita semua tentu menginginkan deklarasi yang tertuang dalam MoU itu tidak sekadar lip service, hanya jadi pajangan untuk menunjukkan kekompakan maupun kepedulian sesaat. Harapan kita, deklarasi itu benar-benar bisa direalisasikan lahir batin, dipatuhi dan dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Tidak hanya berlaku bagi pasangan cabup – cawabup saja, melainkan juga tim sukses, para pendukung dan simpatisannya. Sebab, melihat situasi pelaksanaan Pemilukada di beberapa daerah selama ini, ternyata masih banyak pasangan calon yang kalah tidak bisa legawa menerima kekalahannya.
Bahkan, tak jarang kekalahan itu direspons dengan aksi anarkis oleh para pendukung maupun pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh kemenangan calon yang tidak didukungnya. Atau, bisa juga ketidakpuasan itu sudah muncul sejak penetapan calon oleh KPU yang bakal menjadi kontestan Pemilukada. Ketidakpuasan akibat calonnya gagal melaju untuk bertarung merebut kursi kekuasaan itu yang juga berpotensi timbulnya gesekan yang bisa menjurus ke tindakan anarkhis.
Terkadang, aksi anarkis itu juga atas restu, atau bahkan atas arahan dari calon yang kalah. Tujuannya, agar hasil Pemilukada itu tidak diakui, dibatalkan dan dianggap cacat hukum. Sehingga, ada kesempatan untuk diulang kembali. Cara-cara seperti itu yang perlu diwaspadai dan tidak layak untuk dikedepankan. Sebab, ini bisa merusak proses demokrasi yang sedang kita bangun dengan susah payah. Termasuk kerugian material akibat rusaknya berbagai fasilitas umum maupun prasarana yang lain.
Warga masyarakat juga harus ekstra waspada dalam mencermati ambisi kekuasaan segelintir orang yang tidak terakomodir kepentingan dan keinginannya. Apalagi sampai memobilisasi pendukungnya untuk melampiaskan kekecewaannya dengan cara-cara kotor, destruktif dan anarkhis. Hal ini bisa membuat peradaban bangsa kita kembali berjalan mundur. Kehidupan warga menjadi tidak tenang dan tidak nyaman. Para investor juga menyingkir dan tak akan mau menanamkan modalnya di daerah yang tidak aman. Pada akhirnya, tingkat kehidupan masyarakat tak kunjung membaik. Pengangguran dan kemiskinan akan meningkat, termasuk tindak kriminal juga akan merajalela.
Mari kita mengaca pada munculnya kasus-kasus anarkhis Pemilukada. Seperti yang terjadi di Tuban dan Maluku beberapa tahun lalu. Dan, yang terbaru adalah aksi anarkhis di Mojokerto saat hari pertama kampanye pemaparan visi misi cabup di Gedung DPRD Mojokerto, Kamis lalu. Massa yang diduga dari pendukung cabup yang tidak diloloskan KPU mengamuk dengan membakar belasan mobil dinas dan mobil tamu yang diparkir di kantor DPRD dan Pemkab Mojokerto dengan bom molotov.
Kita semua tentu tak menginginkan kondisi seperti itu akan menimpa daerah kita tercinta hanya karena tidak bisa menerima kekalahan calon yang kita dukung. Atau tidak menerima hasil keputusan KPU. Warga masyarakat yang cinta damai dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kita harapkan tidak mudah terprovokasi oleh hasutan segelintir orang yang haus kekuasaan untuk melakukan tindak kekerasan. Meski, diiming-imingi dengan imbalan materi yang cukup besar. Mari kita haramkan diri kita untuk andil dalam rencana-rencana busuk yang akan merusak tatanan kehidupan dan demokrasi.
Dalam membangun demokrasi di negeri tercinta ini, kita harus arif. Salah satunya yang terpenting adalah bisa menerima perbedaan dan kekalahan. Para calon dan pendukung setianya harus mau dan rela mengakui kekalahan bila kenyataannya memang demikian. Termasuk bisa memberi pengertian dan menciptakan kedewasaan berpolitik kepada para tim sukses dan pendukungnya. Tidak justru mencari kambing hitam dengan cara mencari kesalahan lawan atau pihak lain dengan berbagai upaya yang terkesan dicari-cari.
Kalau, memang calon atau tim sukses yang dirugikan menemukan bukti adanya ketidakberesan, kecurangan atau pun tahapan yang bertentangan dengan aturan main, silakan diselesaikan lewat jalur hukum. Bisa lapor ke Panwas atau mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Langkah seperti itu justru akan diapresiasi secara positif oleh publik. Tentu dengan konsekuensi logis, apa pun keputusan MK, harus bisa diterima dengan lapang dada.
Untuk meminimalisasi munculnya kericuhan, bahkan tindakan anarkis yang dilakukan oleh salah satu pendukung calon, diperlukan adanya beberapa upaya dan antisipasi. Terutama kedewasaan berpolitik dari para calon untuk bisa menerima kekalahan. Alangkah indah dan damainya manakala pasangan yang kalah mau bersikap ksatria dengan cara memberi ucapan selamat kepada pasangan yang menang. Saya kira rakyat pasti akan angkat topi bila para calon bisa menunjukkan sikap legawa.
Kalau sikap gantleman seperti itu bisa dibudayakan dan dilestarikan, betapa harmonisnya proses demokrasi di negeri kita. Dan, kedewasaan dalam berdemokrasi ini pasti akan diapresiasi positif oleh semua pihak. Sebab, kalah dan menang dalam sebuah pertarungan adalah sesuatu yang wajar. Yang tidak wajar, bila kalah tapi ngotot ingin menang dengan berbagai dalih pembenar. Apalagi sampai mengerahkan massa pendukungnya untuk melakukan tekanan terhadap pihak-pihak terkait.
Kalau sudah terjadi seperti ini aparat keamanan harus berani bersikap tegas. Jangan beri kesempatan mereka yang coba-coba menggalang upaya untuk bertindak anarkis dalam mencapai ambisi kekuasaannya. Demikian pula dengan KPU dan panwas, kalau ada laporan atau sengketa soal pelanggaran aturan Pemilukada, maka harus disikapi dan diputuskan dengan cepat. Jangan mengulur waktu dalam memberi keputusan. Sebab, hal itu bisa menjadi bola salju atau bom waktu yang bisa mengacaukan hasil Pemilukada.
Mari kita semua belajar dari daerah lain yang telah sukses menggelar Pemilukada. Kalau daerah lain bisa melaksanakan dengan sukses, tertib, aman dan tenang, saya yakin Situbondo dan Banyuwangi pasti juga bisa. Tentunya, segenap warga masyarakat juga ikut serta mengamankan daerahnya agar suasana kondusif tetap terjaga.
Akhirnya, kita semua berharap, menyongsong Pemilukada Situbondo dan Banyuwangi, pihak-pihak yang berkepentingan bisa menempatkan dirinya secara arif dalam koridor yang benar. Selain itu, di antara para kandidat juga harus siap berkompetisi secara sehat, fair dan senantiasa menjaga keamanan yang kondusif serta tidak menciptakan perpecahan. Siap untuk menerima kekalahan dan tidak mabuk kepayang kalau menang. Termasuk bisa memberikan pendidikan politik yang cantik dan bertanggung jawan bagi warga masyarakat. Semoga. (cho@jawapos.co.id)
*) Radar Banyuwangi, 21 Mei 2010
Komentar