Terasa Asing di Daerah Sendiri

KEKAGUMAN saya terhadap potensi alam dan seni budaya Bumi Blambangan Banyuwangi seolah tiada pernah berhenti. Dari hari ke hari sejak saya bertugas di Banyuwangi, mulai sebelas bulan lalu, makin banyak kekayaan alam dan seni budaya yang bisa menambah khazanah pengetahuan saya. Kenyataan dan kekaguman itu ternyata tidak hanya muncul dari benak diri saya saja, orang dari luar Banyuwangi yang kebetulan bertugas di sini juga banyak yang mengakui bahwa daerah ini benar-benar ‘’kaya raya’’. Para anggota muspida yang berasal dari luar Banyuwangi dalam beberapa kesempatan juga menyampaikan seperti itu.

Seperti yang pernah saya singgung dalam tulisan sebelumnya di kolom ini, kota Gandrung punya potensi sumber daya alam cukup besar, baik sektor pariwisata, pertanian, perkebunan, kehutanan, maupun kelautan. Bisa saya sebut, Banyuwangi ini adalah daerah gemah ripah lohji nawi. Subur makmur. Kekayaan dari sumber alam ini seharusnya bisa menyejahterakan rakyat. Terbukti, pendapatan Kabupaten Banyuwangi dari sektor pertanian saja mencapai 47,63 persen. Sumbangan sumber alam lain, seperti sektor kelautan, kehutanan, dan peternakan, mencapai 10,44 persen.

Belum lagi dari sektor pariwisata alam. Meski belum ada data konkret, tapi sektor lain yang juga jadi penyokong pariwisata, yakni hotel, restoran dan perdagangan, sumbangsihnya, ke daerah ini mencapai 26,62 persen. Padahal, diketahui bersama, di sektor wisata alam, Banyuwangi mempunyai banyak objek yang cukup indah nan eksotik. Bahkan, beberapa di antaranya sudah berkelas internasional, meski pengelolaannya selama ini masih belum optimal. Dari sektor ini masih bisa diharapkan hasilnya lebih besar lagi, termasuk side effect-nya di sektor lain bila dikelola lebih serius.

Beberapa potensi wisata alam yang banyak menjadi jujugan para turis mancanegara, antara lain Gunung Ijen, Pantai Plengkung, Pantai Sukamade, Alas Purwo, perkebunan-perkebunan peninggalan Belanda, hutan mangrove di Pantai Bedul, dan lain-lain. Orang Banyuwangi dan para wisatawan lokal hanya sebagian kecil yang sering datang ke sana. Bahkan, ada juga yang sama sekali tidak mengenal beberapa objek wisata andalan itu. Padahal, di luar negeri sudah sangat tersohor.

Hal itu disebabkan medan menuju objek wisata alam yang saya sebut di atas sebagian besar amburadul. Selain itu, jaraknya juga sangat jauh dari perkotaan. Kondisi infrastruktur kurang mendukung inilah yang mungkin membuat orang Banyuwangi dan turis lokal kurang tertarik datang ke sana. Sebaliknya, orang asing yang sudah tahu cerita dan gambar-gambar tentang keelokan objek wisata di Banyuwangi dari internet dan dari temannya, pasti berupaya kuat untuk datang meski jalan ke tempat wisata itu rusak. Kalau infrastrukturnya diperbaiki, pasti turis lokal dan asing yang datang akan lebih banyak.

Minimnya pengetahuan dan pudarnya kebanggaan terhadap potensi alam yang dimiliki daerah ini, menurut saya lebih banyak disebabkan oleh kurangnya perhatian pemerintah. Hal itu tidak hanya menyangkut perbaikan dan pemeliharaan prasarana terkait objek fisik wisata saja, tapi juga kepedulian untuk menanamkan cinta ‘’tanah air’’ dan mempromosikan pariwisata daerah ini masih sangat kurang.

Simak saja baliho, bilboard, banner, dan spanduk yang menghiasi penjuru wilayah Banyuwangi, hampir tidak tampak penonjolan potensi daerah yang bisa dibanggakan. Yang tumbuh subur justru gambar-gambar produk rokok, elektronik, operator telepon seluler, dan gambar kepala daerah mejeng tanpa membawa identitas daerah yang bisa dibanggakan kepada khalayak. Kalau toh ada identitas daerah, paling hanya gambar penari gandrung, itupun adanya di beberapa titik dan tidak mendominasi.

Gambar-gambar seperti indahnya kawah Gunung Ijen, eksotiknya ombak yang sedang menggulung peselancar di Pantai Pelengkung, uniknya penyu yang dilindungi di Pantai Sukamade, asrinya hutan mangrove di Pantai Bedul, dan liarnya banteng di Alas Purwo, hampir tidak dijumpai. Begitu juga hasil pertanian dan perkebunan, seperti padi, cabe, kopi, durian, pisang dan manggis, yang menjadi hasil bumi andalan daerah ini, hampir tak ada yang terpampang di sudut-sudut wilayah Banyuwangi. Padahal, semua itu bisa menjadi identitas, kebanggaan, penyemangat, sekaligus promosi atas potensi besar yang dimiliki daerah ini.

Jadi, sangatlah wajar kalau warga Banyuwangi banyak yang kurang tahu secara detail potensi daerahnya. Mengingat, pemerintahnya selama ini tidak banyak melakukan edukasi dan promosi sumber daya alam terhadap rakyatnya sendiri, apalagi promosi ke luar Banyuwangi melalui internet dan brosur di tempat-tenmpat strategis. Sehingga, rakyat Banyuwangi banyak yang merasa asing dengan potensi alam yang dimiliki daerahnya atau hanya tahu sekilas saja. Justru, sebagian turis asing yang lebih tahu secara detail beberapa potensi alam di Banyuwangi. Sebab, dia memang pernah datang langsung ke lokasi.

Hal yang sama juga menimpa keragaman potensi seni budaya. Kekayaan khazanah seni budaya Banyuwangi yang banyak diakui orang dari luar daerah, ternyata juga kurang mendapat apresiasi yang layak dari pemerintah. Selain kurang promosi untuk menarik wisatawan datang ke daerah ini, reklame berisi gambar seni budaya Banyuwangi juga sangat minim. Termasuk, buku-buku tentang seni budaya yang bisa dijadikan referensi dan kebanggaan warga Banyuwangi, juga masih jauh dari harapan. Padahal, even-even seni budaya yang digelar warga Banyuwangi cukup banyak dan variatif.

Seandainya, aneka seni budaya, sejarah, dan dongeng asli Banyuwangi itu banyak dibukukan, lebih-lebih bila dijadikan sebagai materi ajar anak didik di sekolah untuk materi muatan lokal (mulok), pasti lebih membanggakan. Selain itu, buku-buku itu tentu juga bisa dijadikan referensi dan bahan penelitian oleh siapa pun yang membutuhkan, baik para turis, peneliti, maupun warga masyarakat yang ingin tahu lebih detail makna yang terkandung dalam seni budaya asli Banyuwangi.

Jangan sampai aneka seni budaya yang biasa dipertontonkan kepada masyarakat luas pada waktu-waktu tertentu itu hanya bisa dinikmati atraksinya saja, tanpa tahu makna sakral yang terkandung di dalamnya. Termasuk, latar belakang dan sejarahnya. Sehingga, misi, visi maupun pesan luhur yang ada dalam seni budaya itu tidak tersampaikan ke khalayak alias warga merasa asing dengan substansinya. Padahal, tidak sedikit dari pelaku seni budaya atau sesepuh di daerah setempat yang paham alur cerita dan makna yang terkandung di dalamnya.

Agar keterasingan kita terhadap makna seni budaya yang kita miliki ini tidak terus-menerus berlangsung, bahkan ada kemungkinan pudar, paling tidak latar belakang, sejarah, dan makna filosofi, yang terkandung di dalamnya harus dibukukan. Misalnya seputar tari grandrung, padang bulan, seblang, kuntulan, kebo-keboan, jaranan, dan lain-lain. Demikian pula dengan tradisi adat yang digelar secara rutin, seperti barong ider bumi, ndog-dogan, petik laut, gelar pitu di Dusun Kampung Baru, Desa Glagah, puter kayun dari Boyolangu ke Watudodol, dan lain-lain, harus secepatnya digali dan dibukukan.

Langkah-langkah untuk mengeksplor potensi Banyuwangi agar tidak menjadi asing di daerah sendiri, dikenal di luar daerah, dan dilirik banyak investor, kini sudah mulai dilakukan secara bertahap oleh pemerintah baru. Misalnya, menyambut Hari Jadi Banyuwangi (Harjaba) yang akan berlangsung bulan ini, dinas terkait diminta untuk mengisi baliho-baliho milik pemkab dengan gambar-gambar potensi daerah. Tentu juga disertai pesan yang bisa memotivasi kebanggaan warga terhadap daerahnya sekaligus sebagai alat promosi.

Selain itu, Bupati Banyuwangi juga sudah memesan fotografer berkelas internasional untuk mengabadikan segenap potensi yang ada di daerah ini. Hasil foto-foto itu nanti juga akan dijadikan bahan promosi wisata dan untuk menarik investor agar datang ke Banyuwangi menanamkan modalnya. Foto-foto berkelas itu juga bisa dijadikan inspirasi untuk menentukan ikon yang tepat dalam mengangkat potensi Bumi Blambangan.

Terkait dokumen tertulis, pemerintah baru juga harus banyak mendorong dan memfasilitasi terbitnya buku-buku yang mengangkat potensi Banyuwangi. Terutama, yang terkait seni budaya dan sejarah daerah ini. Termasuk, juga mengupayakan menjadi bahan ajar anak didik di sekolah sebagai mulok agar generasi penerus kita juga tahu seni budaya daerah ini beserta makna yang terkandung di dalamnya. Tanpa itu, ada kekhawatiran seni budaya kita akan terkikis oleh budaya dari luar.

Oleh karena itu, para seniman, budayawan, pendidik, akademisi, peneliti, dan elemen masyarakat lain yang merasa mampu menulis keberagaman seni budaya asli Banyuwangi dalam sebuah buku, patut diapresiasi dan difasilitasi. Semoga, segala potensi yang ada di Banyuwangi ini bisa terangkat ke permukaan dan menjadi kekuatan yang bisa menjadikan daerah ini lebih dikenal di mana-mana, baik menyangkut potensi alam, keragaman seni budaya, maupun karakter yang lain. Jangan sampai warga Banyuwangi justru merasa asing dengan kekayaan alam dan seni budayanya sendiri. (cho@jawapos.co.id)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nyapu Bareng

Memacu Minat Baca Masyarakat

Demokrasi Uang