Krisis Energi

SEJAK beberapa minggu lalu hingga sekarang, warga masyarakat kelas bawah diombang-ambingkan oleh melonjaknya harga kebutuhan bahan pokok. Selain kebutuhan pokok yang berkaitan dengan pangan seperti beras, kedelai, telur, tepung, susu, dan minyak goreng, kebutuhan energi juga ikut-ikutan langka. Terutama kebutuhan energi minyak tanah (mitan) sebagai bahan bakar untuk memasak bagi kebanyakan masyarakat kelas bawah. Juga pasokan energi listrik untuk penerangan, peralatan elektronik, dan lain sebagainya yang mulai dikurangi karena terbatasnya pasokan BBM untuk menggerakkan mesin pembangkit listrik.
Mitan menjadi barang langka, karena suplainya dari Pertamina sengaja dikurangi. Alasannya, subsidi yang diberikan pemerintah terhadap BBM yang banyak dikonsumsi masyarakat kelas bawah ini terlalu besar. Karenanya pemerintah telah melakukan program konversi BBM bagi masyarakat kecil yang biasanya memakai mitan dialihkan ke gas elpiji. Caranya dengan memberi kompor gas dan tabung elpiji 3 kg beserta isinya secara gratis kepada waga masyarakat yang tidak mampu. Selanjutnya, pemerintah akan mengurangi pasokan mitan secara bertahap.
Sayangnya, program konversi belum tuntas dilakukan, baik menyangkut sosialisasinya maupun pembagian kompor dan tabung gasnya ke masyarakat, pasokan mitan keburu dikurangi. Akibatnya, terjadi antrian panjang di pangkalan mitan di hampir penjuru kota. Bahkan, beberapa kota yang suplai mitannya dari Pertamina belum dikurangi akibat program konversi mitan ke gas belum dilakukan, juga ikut-ikutan kena imbasnya. Sebab, para spekulen maupun konsumen mitan dari luar kota, juga datang menyerbu untuk mendapatkan mitan.
Termasuk menyerbu ke Mojokerto dan Jombang yang hingga kini belum tersentuh program konversi BBM. Akibatnya, mitan di daerah ini juga ikut-ikutan langka seperti yang terjadi di daerah yang program konversi BBM-nya sudah berjalan. Ini berarti, manajemen yang diterapkan Pertamina sangat buruk. Sebab, apa yang dilakukan BUMN yang memonopoli distribusi BBM di negara Indonesia ini telah menyengsarakan rakyat.
Begitu pula dengan pasokan energi listrik dari PLN ke para konsumen, juga berkurang. Bahkan, akibat sering telatnya pasokan BBM, jauh hari PLN sudah mengultimatum kepada para pelanggannya akan melakukan pemadaman bergilir. Setelah itu, secara mengejutkan, pada awal Maret lalu tiba-tiba PLN mengeluarkan program penghematan listrik dengan sistem tarif progesif. Yaitu, pemberian insentif (diskon) dan disintensif (penambahan beban pembayaran) bagi pelanggan. Dengan kata lain, pelanggan yang bisa berhemat dapat potongan tarif, sedang yang boros dikenai denda.
Namun, setelah program ini disorot oleh berbagai kalangan karena tidak pernah disosialisasikan, akhirnya PLN membatalkannya. Selanjutnya, muncul lagi pengumuman kalau program itu tidak dibatalkan tapi pemberlakuannya ditunda. Yang awalnya diberlakukan mulai 1 Maret 2008, ditunda satu bulan kemudian. Meski tujuan dari program ini sangat baik untuk menanggulangi krisis energi listrik, tapi hal ini jelas banyak merugikan konsumen.
Dengan target penghematan 20 persen, PLN menetapkan angka 80 persen dari rata-rata konsumsi listrik tahun 2007. Jika konsumsi listrik dalam satu bulan melebihi patokan 80 persen, pelanggan akan terkena disintensif. Sebaliknya, jika konsumsi listrik lebih kecil dari patokan, pelanggan akan mendapatkan insentif. Tapi, fakta yang ada di lapangan saat ini, dari 23,231 juta pelanggan di sistem kelistrikan Jawa-Bali, hanya 23,116 atau 0,1 persen pelanggan rumah tangga yang kemungkinan dapat insentif. Sisanya, bisa dipastikan kenaikannya bakal membengkak. Sedang untuk pelanggan rumah tangga seluruh Indonesia yang mecapai 34,104 juta pelanggan, hanya 9,33 persen yang kemungkinan mendapat insentif, selebihnya yang 90 persen lebih akan terkena denda.
Karenanya, cukup wajar kalau institusi seperti YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) menuding program ini tak ubahnya semacam kenaikan TDL (tariff dasar listrik) terselubung. Sebab, mayoritas pelanggan akan terkena denda. Apalagi gambaran rumah tangga hemat energi seperti yang dicontohkan PLN di beberapa media massa sangat tidak masuk akal. Misalnya untuk pelanggan rumah tangga 450 VA, pemakaian pompa air sehari hanya satu jam, lampu luar 2 jam dan daya kulkas hanya dihitung 55 watt.
Pada saatnya nanti, kalau pelanggan sudah membayar tagihan rekening listriknya, kemungkinan besar akan terjadi gejolak alias memunculkan banyak protes. Apalagi bila program tarif progresif ini tidak diimbangi dengan sosialisasi yang intensif dan meyakinkan dari PLN. Buktinya, sampai hari ini belum ada sosialisasi dari PLN ke pelanggannya, baik lewat iklan di media massa, brosur, ataupun media lain.
Masalah BBM dan energi ini, ke depan sepertinya masih akan terus ‘’bergolak’’ dan membuat rakyat tidak bisa hidup tenang. Sebab, pemakaian BBM maupun energi listrik akan semakin diperketat supaya kita semua bisa berhemat. Setelah ada program konversi mitan ke gas elpiji, disusul program tarif listrik progresif, kini pemerintah sedang menyusun program pembatasan konsumsi bensin dan solar. Cara-cara seperti itulah yang kemungkinan bakal akan terus dilakukan oleh pemerintah. Minimal hingga sebelum berlangsungnya pilihan presiden (pilpres). Sebab, pemerintah pusat khawatir kalau kenaikan harga BBM dilakukan sebelum pilpres, risikonya akan mematikan peluang calon dari incumbent untuk berkuasa kembali.
Melihat demikian urgennya persoalan BBM dan energi listrik untuk kebutuhan kita dan anak cucu kita, diperlukan adanya langkah alterntaif. Misalnya mengubah biji jarak menjadi biofuel, BBM pengganti solar. Alternatif lain, mengolah kotoran hewan atau manusia menjadi gas yang bisa dipakai untuk memasak, sumber listrik dan keperluan lain. Dan, yang lebih besar lagi memanfaatkan sinar matahari atau air menjadi energi listrik. Sayangnya, semua itu belum diupayakan secara maksimal oleh masyarakat maupun pemerintah.
Di Kabupaten Mojokerto misalnya, sudah ada pembangkit listrik tenaga micro hydro (PLTMH) di Seloliman Trawas yang dikelola oleh masyarakat setempat. Bahkan, daya listrik yang dihasilkan PLTMH melebihi kebutuhan yang diperlukan masyarakat setempat hingga bisa dijual ke PLN. Ini berarti bisa menambah pendapatan asli desa yang bisa digunakan untuk kemakmuran rakyat.
Selain di Seloliman Trawas, ternyata masih ada beberapa lokasi potensial di Kabupaten Mojokerto yang bisa dikembangkan menjadi PLTMH. Masing-masing di Dusun Sendi, Desa/Kecamatan Pacet; Desa Sajen, Pacet; Desa Tameng, Gondang; Desa Padi, Gondang; Desa Kedung Gede, Dlanggu; dan Dusun Balekambang, Desa Seloliman, Trawas. Lokasi itu sebagian besar sudah disurvei oleh rekan-rekan dari PPLH Seloliman yang cukup peduli dengan lingkungan, tinggal goodwill dari pemerintah. Sebab, untuk membuat satu PLTMH, dibutuhkan dana sekitar Rp 300 juta hingga Rp 500 juta.
Tapi dibandingkan manfaatnya yang bisa untuk menopang krisis listrik seperti yang terjadi saat ini tentu anggaran sebesar itu tidak terlalu besar. Coba bandingkan dengan anggaran makan minum anggota dewan selama setahun saja, masih di bawahnya. Apalagi, PLTMH itu bisa untuk memenuhi kebutuhan listrik anak cucu kita medatang. Sedang pemakaian anggara makan minum dewan, hasilnya sudah jelas, yaitu kotoran. Karena itu, pemerintah maupun para wakil rakyat kita seharusnya respon dan peduli dengan segala potensi yang ada di daerahnya. Semoga. (cho@jawapos.co.id)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nyapu Bareng

Memacu Minat Baca Masyarakat

Demokrasi Uang