Peduli Lingkungan

KOTA Mojokerto kembali meraih penghargaan Wahana Tata Nugraha (WTN) untuk kali ketiga dengan klasifikasi kota kecil. Penghargaan tertinggi tingkat nasional di bidang ketertiban lalu lintas dan angkutan kota tahun 2007 itu diserahkan langsung oleh Wakil Presiden Yusuf Kalla kepada Walikota Mojokerto Abdul Gani Suhartono di Jakarta, Kamis lalu. Ini berarti, setahun setelah memimpin Kota Mojokerto, Abdul Gani beserta jajaran DLLAJ dan polantas berhasil memperbaiki sekaligus mempertahankan kinerja di bidang lalu lintas dan angkutan jalan. Termasuk memperbaiki infrastruktur pendukungnya. Sehingga, secara berturut-turut mulai tahun 2005, 2006 dan 2007 mendapatkan penghargaan WTN. Dan, di tahun 2008 ini kesempatan meraih WTN untuk kali keempat masih terbuka.
Pengharaan ini juga tak lepas dari peranserta masyarakat Kota Mojokerto, khususnya dalam berprilaku tertib berlalu lintas. Meski, terkadang masih ada beberapa di antara mereka yang melanggar rambu lalu lintas. Seperti menerobos lampu merah, palang pintu kereta api, rambu larangan masuk dan larangan parkir. Itu semua menjadi tanggung jawab kita bersama untuk saling mengingatkan kepada saudara-saudara kita yang kesadaran berlalu lintasnya masih rendah. Dan, secara hukum juga menjadi tanggung jawab polisi untuk menindak dan menegakkan aturan.
Selain itu, keberhasilan itu juga tak lepas dari dukungan infrastruktur atau sarana prasarana yang memadai. Misalnya kondisi fisik jalan, trotoar, rambu-rambu lalu lintas, lampu penerangan jalan hingga kelayakan mobil angkutan kota yang beroperasi. Apalagi, beberapa jalan protokol di kota onde-onde ini tampak terlihat semakin cantik dan indah. Di beberapa sudut jalan kita jumpai taman beserta air mancurnya. Bunga-bunga nan indah menawan juga banyak menghiasi pot bunga di tepi jalan maupun di tengah-tengah pembatas jalan. Begitu pula kalau malam, suasana jalan di kota Mojokerto terlihat terang benderang.
Meski demikian, rasanya penghargaan WTN itu belum cukup kalau tidak diimbangi dengan penghargaan lain yang parameter penilaiannya tidak terlalu jauh dengan itu. Salah satunya, penghargaan Adipura, yang merupakan simbol tertinggi tingkat nasional untuk bidang kebersihan dan keasrian lingkungan. Kalau kita bisa menciptakan budaya berlalu lintas yang baik, mengapa kota kita tidak bisa menciptakan budaya hidup bersih dan peduli lingkungan?
Saya yakin pasti bisa. Asal ada kemauan, motivasi, kesadaran, kepedulian dan partisipasi dari seluruh pihak untuk saling bergotong royong memikirkan lingkungan kita. Jangan sampai tahun ini, Kota Mojokerto mendapat predikat kota terkotor seperti tahun-tahun kemarin. Apalagi, dari sisi administrasi pemerintahan, Kota Mojokerto ini merupakan kota paling kecil di Indonesia karena hanya terdiri dari dua kecamatan. Tentu, manajemen pegelolaannya akan lebih mudah dibanding kota lain yang memiliki banyak kecamatan.
Salah satu yang jadi sorotan gagalnya Kota Mojokerto meraih Adipura karena faktor alon-alon yang kotor dan amburadul, TPA sampah yang kurang terkelola dengan baik serta minimnya hutan kota dan fasilitas umum yang memadai. Sorotan terhadap alon-alon yang merupakan jantung kota dan tempat warga kota untuk refreshing ini sudah pernah saya kritisi di kolom ini edisi 4 Maret 2007. Sayangnya hingga kini tidak ada pembenahan sama sekali dari pemkot. Padahal, salah seorang petinggi pemkot dulu pernah bilang ke saya kalau di APBD 2007 dianggarkan biaya pembenahan alon-alon. Anehnya, tidak ada realisasinya.
Alon-alon yang setiap Sabtu malam dan Minggu pagi selalu dipenuhi warga kota ini masih terlihat semrawut PKL-nya. Halamannya di dalam masih banyak yang gundul dan berdebu. Kabel-kabel listrik di dekat air mancur berserakan dan membahayakan. Penanganan terhadap sampah sangat tidak maksimal sehingga terlihat jorok. Jalan paving yang ada di dalam dan sebagian di luar alon-alon sudah banyak yang lubang. Sebagai warga kota saya merasa malu, lebih-lebih bila alon-alon itu dipakai orang dari luar Mojokerto seperti untuk pemberangkatan Gerak Jalan Mojokerto – Surabaya maupun untuk balap sepeda Tour de Java yang diikuti peserta dari mancanegara.
Kenapa eksekutif dan legislatif tidak memprioritaskan pembenahan alon-alon? Ini yang saya tidak habis pikir. Konon kabarnya, kata salah seorang anggota dewan, dalam APBD 2008 juga tidak dianggarkan perbaikan alon-alon. Padahal, lokasi ini bisa dijadikan salah satu ikon yang bisa dibanggakan kepada warga kota maupun luar kota. Terlebih lagi, kota ini tidak memiliki potensi tempat wisata yang bisa dijual dan dijadikan sarana refreshing bagi warganya.
Minimnya kepedulian pemkot terhadap kenyamanan dan keasrian lingkungan juga terlihat dari minimnya hutan kota. Selain hanya memiliki satu hutan kota di dekat stadion yang arealnya sangat sempit, sebagian besar sekolah di Kota Mojokerto juga terlihat gersang. Kondisi ini tentu sangat berbeda jauh dengan di Kabupaten Mojokerto maupun Jombang. Apalagi di kedua kabupaten ini kerap sekali diadakan penghijauan yang melibatkan anak sekolah maupun warga masyarakat.
Bukti lain kurangnya komitmen Pemkot Mojokerto terhadap keasrian kota ini adalah, membiarkan adanya ruko baru di Jl Bhayangkara maupun di beberapa tempat lain tanpa ada tanaman. Selain terlihat gersang, kondisi ini tentu membuat lingkungan menjadi tidak sehat karena panas dan polusi udara di sekitar ruko itu tidak bisa diminimalisir. Semua lahan diperuntukkan untuk tempat parkir kendaraan. Faktor lain yang bisa mempercantik wajah kota seperti keasrian, keteduhan dan kesehatan tidak diakomodasi.
Masalah lingkungan lain yang membuat Kota Mojokerto tidak bisa meraih penghargaan Adipura adalah buruknya penanganan dan pengelolaan sampah. Meski di TPA Randegan sudah didirikan rumah kompos yang konon biayanya menelan ratusan juta, tetapi tidak berfungsi secara maksimal. Bahkan, beberapa waktu lalu rumah kompos ini sempat amburadul diterjang angin.
Menurut salah seorang rekan aktivis lingkungan yang biasa menjadi juri Adipura dan melatih pengelolaan sampah menjadi kompos, pengelolaan sampah yang dilakukan pemkot sangat tidak efisien dan tidak sungguh-sungguh. Sebab, rumah kompos yang sudah disiapkan dengan biaya cukup besar itu, tidak diimbangi dengan penyediaan SDM yang memadai. Akibatnya, rumah kompos itu tidak berfungsi secara maksimal. Padahal, untuk membuat rumah kompos dan pelatihan bagi tenaga pengelolanya, kata aktivis lingkungan itu, biayanya tidak semahal seperti yang telah dikeluarkan selama ini.
Karena itu, kepedulian terhadap lingkungan perlu ditumbuhkan kepada semua pihak. Mulai dari para petinggi eksekutif, legislatif, anak-anak sekolah, para pelaku usaha dan seluruh warga kota. Tentunya, semangat peduli lingkungan ini bukan semata-mata untuk mengejar penghargaan Adipura, melainkan ada tujuan yang lebih penting bagi kelanjutan anak cucu kita di masa mendatang. Bila dampak dari tumbuhnya kepedulian lingkungan bisa berbuah penghargaan Adipura, tentunya juga harus kita syukuri. (cho@jawapos.co.id)

Komentar

toni ahmad mengatakan…
Salam Kenal mas,
Sy juga dari Mojokerto...
seneng bisa baca artikel ini, tapi ada hal yang mengganjal bagi sy.
menurut sya, Masyarakat Mojokerto itu sangat tidak ramah lingkungan hidup, terutama sama hewan2 liarnya.
saya sangat peduli dengan semakin terancam punahnya beberapa jenis ikan sungai dan burung liar di Mojokerto.... adakah yang juga peduli?

Postingan populer dari blog ini

Nyapu Bareng

Memacu Minat Baca Masyarakat

Demokrasi Uang