Selamat Datang Bupati Baru

KABUPATEN Jombang dan Mojokerto kini memiliki bupati baru. Ali Fikri yang sebelumnya menjadi wakil bupati Jombang, sejak beberapa minggu lalu telah naik status sebagai plt bupati. Sebab, Bupati Suyanto yang kini macung kembali untuk merebut jabatan bupati periode kedua, sesuai aturan harus mengundurkan diri. Ali Fikri bakal menikmati jabatan bupati sekitar lima bulan, sesuai dengan berakhirnya masa jabatan pemerintahan Suyanto-Ali Fikri hasil Pilkada Jombang 2003.
Secara berkelakar Ali Fikri pernah menyatakan kepada wartawan, kalau statusnya kali ini tidak hanya sebagai bupati, tapi juga sebagai ’’penguasa tunggal’’ Jombang. Sebab, tidak hanya Bupati Suyanto yang telah mengundurkan diri, dua pejabat yang memiliki peran strategis dalam menggerakkan roda pemerintahan Jombang juga harus meletakkan jabatannya. Mereka adalah Ketua DPRD Halim Iskandar dan Sekretaris Daerah Widjono Soeparno. Kedua pejabat itu juga macung berebut jabatan wakil bupati dalam Pilkada Jombang yang bakal dihelat bersamaan dengan Pilgub Jatim 23 Juli mendatang. Widjono berpasangan dengan Suyanto, sedangkan Halim Iskandar digandeng Nyono Suherli.
Kondisi yang sama juga terjadi di Kabupaten Mojokerto. Wakil Bupati Suwandi juga naik kasta menjadi bupati menggantikan Achmady yang kini macung sebagai calon gubernur Jatim periode 2008–2013. Bedanya dengan di Jombang, masa jabatan yang bakal dipegang Suwandi masih cukup lama, sekitar 2,5 tahun lagi. Selain itu, untuk menggantikan posisi wakil bupati yang ditinggalkan, harus diisi dengan orang baru yang nantinya akan dipilih oleh anggota DPRD.
Sesuai dengan UU No 12/2008 sebagai perubahan kedua atas UU No 32/2004 tentang pemerintahan daerah, wakil bupati yang akan dipilih anggota DPRD itu harus dicalonkan oleh partai pengusung cabup dan cawabup terpilih (Achmady– Suwandi). Beberapa nama calon yang diusulkan partai itu diajukan kepada Bupati Suwandi untuk mendapatkan rekomendasi. Hasilnya, diajukan sebagai calon wakil bupati yang akan dipilih oleh anggota dewan. Siapa yang mendapatkan suara terbanyak dari hasil pemilihan, dialah yang akan menempati posisi wakil bupati Mojokerto.
Bagaimana kiprah kedua wakil bupati yang kini sudah naik kasta sebagai bupati dalam menjalankan roda pemerintahan ke depan? Karena masih baru beberapa hari menjabat, apalagi Suwandi masih berstatus plt (pelaksana tugas), masih belum penuh, alias masih menunggu turunnya surat pemberhentian Achmady sebagai bupati dari Mendagri, tentu kita agak kesulitan menilainya. Namun, dari performance dan perjalanan kinerja di birokrasi selama ini, sedikitnya kita bisa memperoleh gambaran tipologi kepemimpinan, peran, tugas, wewenang, kiat-kiat ataupun inovasi dari masing-masing wabup.
Secara umum, bila mengacu pada tupoksi, peran wabup di Jombang terlihat lebih ’’berdaya’’ dan dinamis dibandingkan peran wabup Mojokerto yang lebih banyak berfungsi sebagai ’’ban serep’’. Termasuk peran wakil Wali Kota Mojokerto juga tak beda jauh dengan wabup Mojokerto. Sebagian masyarakat umum ada yang berpandangan, kalau realita sebagai ’’ban serep’’ itu memang sengaja ’’diciptakan’’. Dengan kata lain, perannya memang dikebiri agar tak bisa leluasa bergerak.
Di sisi lain, ada juga yang berpandangan, kalau yang bersangkutan memang kurang bisa memanfaatkan peran sesuai dengan tupoksinya. Termasuk kalau perannya dikebiri, seharusnya yang bersangkutan juga harus punya kiat, inovasi maupun strategi untuk melepaskan diri dari pengondisian yang tidak sehat. Bahkan, kalau bisa, bagaimana melawan pengebirian itu dengan strategi jitu hingga tak sampai terlihat ada konflik di tingkat elite birokrasi. Selanjutnya, yang bersangkutan bisa menjalankan tupoksinya secara optimal hingga mendatangkan manfaat dan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Melihat dari perjalanan dan latar belakang seperti di atas, bupati baru Jombang tampaknya lebih dinamis dan menjanjikan dalam meneruskan tonggak kepemimpinan bupati sebelumnya. Bahkan, beberapa langkah berani juga sudah ditampakkan. Misalnya, setelah upacara memperingati Hari Kebangkitan Nasional, yang bersangkutan mengumpulkan jajaran SKPD (satuan kerja pemerintah daerah) yang terdiri atas kepala dinas, bagian, unit dan camat agar bersikap netral dalam menghadapi pilkada. Termasuk meminta jajarannya supaya mencopoti banner atau spanduk terkait dengan pencalonan bupati dan wakil bupati yang ada logo pemkabnya, meskipun sekarang pencopotan itu belum terealisasi seluruhnya.
Sementara bupati baru Mojokerto, saya belum bisa memberi penilaian. Termasuk arah kebijakan yang akan dikembangkan dalam membawa Kabupaten Mojokerto hingga tahun 2010. Mengingat, sejak menjadi wakil bupati hingga menjabat plt bupati yang baru berjalan beberapa hari ini, saya belum melihat ada gebrakan atau langkah konkret yang bisa dirasakan, baik langsung maupun tidak langsung. Termasuk, pernyataan-pernyataan yang terkait dengan pengembangan strategis Kabupaten Mojokerto ke depan. Mungkin masih malu-malu dan masih ada rasa ewuh pakewuh. Wallahu a’lam.
Harapan kita, itu semua masih dalam tahap proses. Artinya, masih tahap penyesuaian untuk menuju kepemimpinan yang lebih berdaya, bermartabat, disegani, demokratis dan dicintai oleh rakyatnya. Termasuk, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan juga membawa ke arah perbaikan, kemajuan bagi daerah dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Sehingga, kehadiran bupati baru ini benar-benar bisa dirasakan keberadaan dan sumbangsihnya. Tidak malah surut ke belakang alias semakin mengalami kemunduran atau jalan di tempat.
Untuk mewujudkan ke arah yang lebih baik, tentu beban itu tidak semuanya bisa diserahkan kepada bupati. Jajaran terkait di birokrasi juga harus ikut mendukung, bila ditunjuk menjadi leading sector. Termasuk, partisipasi dari warga masyarakat juga sangat diharapkan agar program pembangunan yang dicanangkan bisa secepatnya terealisasi. Kecuali, bila programnya merugikan masyarakat luas, maka harus dilawan dan diluruskan.
Semoga, di bawah kepemimpinan bupati baru, Jombang dan Mojokerto bisa berkembang lebih baik lagi. (cho@jawapos.co.id)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nyapu Bareng

Memacu Minat Baca Masyarakat

Demokrasi Uang