Ponari

NAMA Ponari, bocah kelas 3 SD asal Dusun Kedungsari, Desa Balongsari, Kecamatan Megaluh, Jombang, tiba-tiba melesat bak meteor. Dalam waktu hanya beberapa hari, nama bocah ingusan itu langsung menyebar ke penjuru Nusantara. Sebab, dia bisa mengobati orang sakit berkat ‘’batu petir’’ yang ditemukan di dekat rumahnya saat hujan disertai petir terjadi pada 17 Januari 2009 lalu.

Melalui ‘’batu petir’’ itulah Ponari bisa melakukan pengobatan. Caranya, ‘’batu petir’’ itu dicelupkan Ponari ke dalam air yang dibawa oleh pasien. Air itu kemudian diminum sebagai obat. Berkat kuasa Tuhan, banyak pasien yang sakitnya sembuh. Berita ini akhirnya menyebar luas. Terlebih lagi setelah diberitakan oleh media massa. Banyak warga berdatangan mencari Ponari.

Bocah lugu itu kian terkenal jadi ‘’dukun cilik’’ yang cukup mujarab. Yang datang untuk mencari kesembuhan tidak hanya dari masyarakat sekitar, tapi juga dari luar provinsi hingga luar pulau. Jumlahnya bisa mencapai puluhan ribu orang. Untuk bisa mengikuti pengobatan ala Ponari, mereka harus antri dengan cara beli kupon yang telah disediakan panitia setempat.

Karena begitu banyaknya orang yang datang ke rumah Ponari, akhirnya beberapa pengunjung ada yang pingsan, bahkan meninggal dunia. Pengobatan sempat ditutup beberapa hari untuk memperbaiki sistem antrian dan perbaikan jalan menuju tempat praktik Ponari. Sayang, setelah ada perbaikan sistem dan pemavingan jalan, korban yang tewas terus bertambah akibat kelelahan karena antri dan berdesakan. Selama Ponari buka praktik pengobatan, sudah empat orang yang mati sia-sia.

Untuk mengantisipasi hal-hal yang lebih fatal, akhirnya praktik ‘’dukun cilik’’ ini ditutup oleh aparat berwenang sampai batas waktu yang belum ditentukan. Meski demikian, masih banyak orang yang berdatangan ke rumah Ponari. Mereka berharap, Ponari masih buka praktik pengobatan lagi. Beberapa di antara mereka sempat frustasi akibat Ponari dilarang buka praktik lagi. Sampai-sampai beberapa pengunjung ada yang nekad mengambil air kran yang biasa dipakai mandi Ponari untuk pengobatan.
Yang lebih keterlaluan lagi, ada warga yang mengambil air hujan di atas terop yang selama ini dipakai tempat berteduh. Air kotor itu ditampung dalam gelas plastik, kemudian diminum untuk obat penyembuh sakitnya. Gila! Ini sudah benar-benar keterlaluan bin ngawur.

***
Kemunculan Ponari dengan ‘’batu petir’’nya yang cukup fenomenal itu bak super hero. Apalagi kehadirannya bisa membantu banyak orang yang sedang kesusahan atau sakit. Khususnya rakyat jelata yang tidak memiliki banyak uang untuk berobat secara medis. Tentu, ini semua merupakan perbuatan mulia. Apalagi untuk menolong sesama, Ponari tidak memberlakukan tarif sebagaimana yang dilakukan rumah sakit atau dokter. Yang ada hanya kotak amal untuk diisi seikhlasnya.

Keajaiban yang dialami Ponari beserta ‘’batu petir’’-nya bak cerita fiksi manusia super hero seperti spiderman (manusia laba-laba), batman (manusia kalelawar) atau Gundala (manusia petir) yang keberadaannya membantu umat manusia memerangi kejahatan. Meski secara fisik Ponari mengalami kelelahan, bahkan badannya sempat panas, tapi ia tetap bersedia melayani orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Ya, dia bisa disebut manusia super hero karena mengemban tugas mulia membantu orang-orang yang sedang mengalami penderitaan akibat penyakit.

Sementara membludaknya massa yang ingin berobat ke Ponari, salah satu diantaranya menunjukkan potret masyarakat miskin yang umumnya tak mampu membayar pengobatan ke dokter atau rumah sakit. Meski, tidak dipungkiri, ada pula pasien Ponari dari kalangan orang berada yang sudah berobat secara medis tapi penyakitnya tak kunjung sembuh sehingga ia memilih berobat alternatif ke Ponari.

Kondisi ini menunjukkan kalau program kesehatan murah yang dicanangkan pemerintah masih belum merata menjangkau masyarakat kecil. Terlebih lagi bila berobat ke dokter yang praktik mandiri atau di rumah sakit swasta, wow biayanya terus meroket. Dan, sepertinya sangat sedikit sekali ada dokter yang memberikan keringanan biaya kepada pasiennya yang secara ekonomi pas-pasan. Ini berarti jiwa sosial para dokter di negeri ini patut dipertanyakan juga.

Memang, secara psikologis seseorang yang sedang menderita sakit --apalagi bila sudah beberapa kali berobat tapi tak sembuh-- pasti panik. Motivasi ingin sembuh tiba-tiba bangkit saat mendengar ada orang yang bisa mengobati berbagai penyakit. Merekapun tentu ingin mencoba pengobatan ala Ponari yang kabarnya sudah banyak menyembuhkan orang sakit.

Namun, kalau dengan kondisi badan sakit dipaksakan datang dan harus berdesak-desakan dengan puluhan ribu orang yang antre, tentu malah celaka. Meski, panitia setempat sudah melakukan perbaikan sistem antrian dengan cara diberi kupon yang berisi nomor urut, jelas tak akan menyelesaikan masalah kalau pengunjungnya begitu banyak. Orang yang kepanasan, berdesak-desakan, apalagi dalam kondisi lapar, pasti akan nekad. Misalnya nekad menerobos antrean dan ingin secepatnya mendapat penanganan. Di sinilah yang menimbulkan kekacauan.

Maka langkah penutupan praktik pengobatan Ponari merupakan antisipasi yang tepat agar jumlah korban tidak semakin banyak. Tentu penutupan ini mengecewakan banyak pihak. Antara lain para pasien yang jauh-jauh datang dalam kondisi sakit dan ingin mendapat pengobatan dari Ponari. Selain itu, ada juga pihak-pihak lain yang selama ini mereguk keuntungan dari praktik pengobatan Ponari. Pihak inilah yang salah satunya ditengarai telah melakukan teror dan ancaman kepada wartawan yang meliput praktik pengobatan Ponari.

Bagaimana untuk meminimalisir kekecewaan masyarakat, khususnya dari para pasien yang begitu menggebu ingin mendapatkan pengobatan dari Ponari. Sebenarnya ada langkah taktis yang bisa dicoba. Yaitu memproduksi ‘’air Ponari’’ atau ‘’air batu petir Ponari’’ dalam kemasan. Langkah awal ini misalnya dengan menentukan beberapa titik lokasi penjualan air yang sudah dicelupi batu petir milik Ponari. Selain di tempat yang sudah ditentukan, tidak akan dilayani dan dianggap palsu. Hal ini untuk menghindari adanya pihak-pihak yang akan memalsu.

Sedangkan langkah jangka panjang, sebaiknya keluarga Ponari merelakan batu petir itu untuk diteliti secara ilmiah. Kalau hasil penelitian menunjukkan ada kandungan-kandungan obat atau zat lainnya yang memang bisa untuk terapi pengobatan, tentu itu menjadi hak Ponari untuk memanfaatkannya. Misalnya dengan memproduksi ‘’air Ponari’’ secara massal untuk dijual kepada masyarakat luas.

Saya pikir solusi seperti di atas bisa mengurangi kekecewaan para pengunjung akibat penutupan praktik ‘’dukun cilik’’ yang cukup fenomenal itu. Yang lebih penting lagi adalah, memberi pengertian kepada khalayak bahwa yang bisa menyembuhkan penyakit bukanlah air yang dicelupi batu petirnya Ponari, melainkan Tuhan Yang Maha Kuasa. Batu dan air hanyalah perantara saja. Ini untuk menghindari agar kita semua tidak menjadi musyrik. Wallahu a’lam bissawab. (cho@jawapos.co.id)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nyapu Bareng

Memacu Minat Baca Masyarakat

Demokrasi Uang