G-Land, Potensi Wisata yang Kurang Terurus




Oleh: A. Choliq Baya

NAMA pantai Plengkung atau lebih dikenal dengan G-Land yang berada di kawasan Alas Purwo, Banyuwangi Selatan, cukup lama menggelitik hati saya untuk datang ke sana. Cerita manis tentang indahnya ombak Pantai Plengkung yang banyak diminati wisatawan manca negara (wisman), khususnya penghobi surving atau selancar, semakin membuat hati saya kesengsem. Rasa penasaran itu semakin menggebu menjadi sebuah kecurigaan ketika dua kali saya punya kesempatan untuk masuk ke Plengkung, tapi gagal karena ada imbauan tak boleh ke sana. Padahal, saat itu saya sudah berada di Alas Purwo, tepatnya di pos Pancur atau sekitar sembilan kilo meter lagi menuju Plengkung, ternyata tetap tak kesampaian.

Ada apa ini? Adakah sesuatu yang disembunyikan? Begitulah pertanyaan yang sempat menggelitik hati saya. Mengingat, beberapa orang juga mengalami nasib serupa dengan saya, yakni tak bisa masuk pantai yang memiliki ombak terindah, tertinggi dan terpanjang di dunia setelah Pantai Hawai, Amerika. Adanya kesan ‘’dipersulit’’ oleh otoritas pengelola Taman Nasional Alas Purwo memang sempat mengemuka dan menimbulkan tanda tanya, tidak hanya bagi saya, tapi juga beberapa pihak.

Berbagai dugaan minor pun sempat muncul bak bola liar. Diantaranya kecurigaan adanya kongkalikong antara pengelola Taman Nasional dengan pengelola resort di Plengkung.

Sebab, ada yang menangarai, bisnis wisata di Plengkung selama ini tidak ada kontribusi pemasukan ke kas Pemkab Banyuwangi dari pengelola wisata maupun resort di sana. Selain itu, pemilik resortnya juga berasal dari luar Banyuwangi yang lebih banyak memenuhi kebutuhan wisman lewat ‘’jalur khusus’’ agar transaksi bisnis wisata itu tidak jatuh ke tangan pihak lain. Cukup pengelola resort dan Taman Nasional saja yang bias menikmatinya. Itu semua adalah praduga-praduga minor yang sempat berkembang.

Sulitnya memasuki areal Pantai Plengkung via Alas Purwo itu juga pernah saya pertanyakan ke pemangku otoritas Alas Purwo saat diskusi Forum Kemisan bertema Menggarap Potensi Pariwisata Banyuwangi di kampus Untag Banyuwangi beberapa waktu lalu. Sebab, dua kali saya ke Alas Purwo dengan harapan ingin bisa menikmati indahnya pantai Plengkung, akhirnya kembali dengan rasa kecewa. Cerita keindahan Pantai Plengkung tetap masih menjadi misteri bagi saya, juga beberapa awak media massa yang lain.

Kesempatan berkunjung ke Plengkung pertama kali datang saat saya bersama teman-teman Radar Banyuwangi diundang secara khusus oleh pengelola Taman Nasional Alas Purwo untuk mengenal lebih dekat isi taman nasional itu pada Januari 2010. Di sana kami diajak keliling melihat binatang-binatang yang dilindungi seperti banteng, rusa, burung merak, penyu, serta beberapa flora dan fauna lain. Termasuk melihat beberapa pantai, gua dan tempat pengembangbiakan penyu. Sayang, agenda ke Plengkung tiba-tiba dibatalkan karena alasan jalannya rusak dan ada jembatan yang putus.

Kesempatan kedua datang saat saya ikut rombongan off-road dari Surabaya, Malang dan Jember yang dipimpin Wagub Saifullah Yusuf didampingi Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas pada Oktober 2010. Kali ini, rombongan yang membawa kendaraan khusus untuk medan-medan berat dan terjal ini, juga tak bisa masuk ke Plengkung. Alasannya hampir sama, jalannya tidak memungkinkan alias rusak. Saya pun pasrah, memendam kekecewaan.

Meski demikian, saya tidak patah semangat untuk bisa menembus hutan belantara menuju G-Land yang telah ditetapkan sebagai salah satu dari tiga obyek wisata unggulan yang ditawarkan Pemprov Jatim ke wisman bersama Kawah Ijen dan Gunung Bromo. Akhirnya di kesempatan ketiga, impian saya untuk melihat G-Land secara langsung bisa terwujud. Tepatnya, pada hari Minggu kemarin, saat saya ikut rombongan Fam Trip 2011 yang dikoordinir oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jatim dan Banyuwangi bersama para pelaku wisata asal Jatim dan Bali. Salah satu tujuannya adalah mengenalkan sekaligus menjual obyek wisata yang ada di Banyuwangi.

Sehari sebelum ke G-Land dan Bedul yang terkenal dengan mangrovenya, rombongan diajak pelesir ke Kawah Gunung Ijen, rumah adat Osing, Perkebunan Kali Klatak dan pengolahan kopi di Perkebunan Lijen. Rombongan yang terdiri dari pengelola travel agent, pengurus PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia), pengurus ASITA (Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies), pemandu wisata dan awak media massa ini banyak yang kagum dengan potensi wisata di Banyuwangi. Sayangnya, infrastrukturnya sangat tidak mendukung. Baik akses jalan menuju ke lokasi wisata maupun pendukung lainnya yang bisa membikin wisman lebih nyaman.

Salah satu yang membuat lokasi G-Land ini menjadi ‘’terisolasi’’ dan sulit bisa ditembus lewat jalur darat dikarenakan akses menuju ke sana rusak berat. Untuk bisa ke G-Land, kami berangkat dari Banyuwangi menuju pos Pancur yang ada di Alas Purwo dengan menempuh jarak sekitar 75 km. Jalan itu masih bisa ditempuh dengan mobil mini bus atau station wagon. Dari Pancur, kami harus berganti kendaraan khusus karena medan yang bakal dilewati memang rusak parah. Jarak Pancur ke Plengkung sekitar 9 km, itupun hanya bisa ditempuh dengan kendaraan penarik roda ganda alias 4x4. Ternyata, itupun tetap tak bisa sampai ke lokasi yang biasanya dipakai para wisman untuk menikmati surving. Perjalanan masih harus dilanjutkan dengan berjalan kaki sekitar 800 meter lagi.

Setelah jalan kaki dengan medan yang agak licin dan becek, akhirnya sampai juga di Plengkung seperti yang saya idam-idamkan selama ini. Meski sudah mengamati hamparan pantai dengan pasir putihnya dan naik ke menara yang bisa melihat ke arah datangnya ombak di laut, saya belum menemukan keistimewaan yang bisa dibanggakan. Cerita manis soal indahnya Plengkung, seolah bertolak belakang dengan kenyataan di sana. Apalagi, saat saya ke sana kemarin, ombak G-Land yang katanya terindah nomor dua di dunia, juga tidak dalam kondisi saat-saat terindah. Sebab, ombak tinggi dan panjang yang sangat cocok bagi dunia surfing, biasanya terjadi antara bulan Mei hingga Oktober.

Mungkin karena tidak dalam kondisi bagus bagi kedatangan wisman, menjadikan pantai ini kurang begitu menarik bagi saya. Ombak yang menggulung hingga ke pantai maupun memecah batu cadas, sepengetahuan saya tak beda jauh kondisinya dengan beberapa pantai lain yang ada di Banyuwangi. Apalagi, jalan menuju ke sana cukup amburadul. Kondisi rumah tower juga kotor seperti tak terawat, termasuk kebersihan yang ada di sekitarnya. Empat resort atau surfing camp yang biasanya dijadikan tempat menginap di sana juga sepi aktivitas karena memang tidak ada wisman yang datang.

Tapi, beberapa peserta Fam Trip ada yang mengaku kagum dengan keindahan Plengkung, sayangnya infrastrukturnya rusak parah. Meski demikian, Plengkung tetap bisa dijual secara maksimal, terutama saat ombak lagi bagus-bagusnya untuk berselancar. Salah satu cara untuk mengoptimalkan dan menarik wisman datang ke sana adalah menyediakan paket sewa sepeda gunung atau sewa kuda. Terutama dari Pancur ke Plengkung yang jalannya rusak parah. Sebab, kalau hujan turun, kondisinya semakin parah dan tak bisa dilewati mobil.

Anehnya, dengan kondisi infrastruktur yang amburadul seperti sekarang ini, arus wisman ke Plengkung setiap tahunnya masih cukup lumayan tinggi. Rata-rata setiap tahunnya, tak kurang dari 1200 peselancar dari manca negara datang ke Plengkung untuk menyalurkan hobinya. Apalagi kalau di tempat itu juga digelar lomba surving tingkat dunia, pasti yang datang lebih ramai. Terlebih lagi bila jalan darat menuju ke sana diperbaiki, termasuk helipad dan beberapa fasilitas lain yang terkait dengan kenyamanan pengunjung, pasti akan semakin banyak wisman yang datang ke sana.

Meski demikian, melihat kondisi Plengkung yang relatif kurang terurus, bukan tidak mungkin para pelancong pindah ke tempat lain. Sebab, saat ini sudah ada 26 surf camp di dunia yang siap melayani para wisman penyuka selancar. Diantaranya yang mulai banyak diminati dan menjadi pesaing Plengkung adalah surf camp di Brasil, Haiti, Pulau Mentawai (Sumbar) dan Papua Nugini.

Karena itu, sudah waktunya pemerintah lebih serius menggarap potensi wisata yang ada di Plengkung. Meski secara alami sangat bisa diandalkan karena Plengkung memiliki ombak sangat bagus, tapi tetap harus ada upaya lain yang membuat tempat ini semakin banyak diminati wisman. Salah satunya pembangunan akses jalan, fasilitas pendukung, jaringan promosi, aneka event pendukung serta menciptakan paket wisata baru seperti perjalanan dengan sepeda gunung dan berkuda.

Harapan kita, ke depan, Plengkung bisa menggaet wisman lebih banyak. Termasuk, para wisman itu juga berkenan melancong ke beberapa tempat wisata lain yang ada di Banyuwangi. Sehingga, daerah dengan julukan Sun Rise of Java ini bisa menjadi alternatif baru arus wisman setelah mereka mengunjungi Bali atau Lombok. Semoga. (cho@jawapos.co.id)

Ditayangkan di Radar Banyuwangi pada Jumat, 25 Februari 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nyapu Bareng

Memacu Minat Baca Masyarakat

Demokrasi Uang