Gerakan Bersih-Bersih Pesisir Pantai


Oleh: A. Choliq Baya

SAAT masih tinggal dan bertugas di Kota Mojokerto, setiap Sabtu pagi saya selalu menyempatkan hunting dengan bersepeda gunung ke beberapa lokasi wisata, tempat kuliner, tempat produksi kerajinan, tempat-tempat bersejarah, dan tempat menarik lain. Biasanya saya bersepeda bersama para tetangga dalam satu kompleks perumahan. Sebagian besar dari komunitas bersepeda kami adalah mantan pensiunan PNS dan BUMN. Ada juga yang masih menjabat pimpinan sebuah perusahaan asuransi, bank, dan rektor perguruan tinggi. Tujuannya, selain untuk olah raga dan refreshing, juga ingin mengetahui lebih dekat tempat-tempat ‘’spesial’’ di daerah, termasuk kondisinya.

Ketika saya pindah tugas ke Banyuwangi sejak awal tahun 2010, baru akhir pekan kemarin saya berkesempatan bersepeda keliling ke beberapa tempat. Maklum, setiap akhir pekan, saya lebih banyak berada di luar Banyuwangi sehingga kesempatan ini saya anggap agak langka. Meski demikian, saya tidak bisa menempuh jarak terlalu jauh. Mengingat, tidak ada teman yang mendampingi, sehingga sedikit mengurangi semangat saya. Berangkat pukul 5.30 WIB, pukul 08.00 WIB sudah tiba kembali di rumah dengan total jarak tempuh tidak sampai 20 km. Padahal, saat di Mojokerto biasanya berangkat pukul 6.30 WIB kembali di rumah sekitar pukul 10.30 WIB, terkadang sampai lebih dengan jarak tempuh rata-rata 40 km.

Meski jarak tempuhnya tidak sejauh yang biasa kami lakukan seperti saat di Mojokerto, minimal agenda gowes sepeda ini bisa mengobati rasa kangen saya. Sebab, sudah lama keinginan kembali gowes sepeda ini saya idamkan dengan harapan ingin mengenal lebih dekat kondisi sosiokultur masyarakat Banyuwangi. Dan, alhamdulillah keinginan itu bisa terkabul minggu kemarin meski kondisi medan di sini lebih berat karena jalannya banyak naik-turun.

Pengalaman pertama bersepeda di Banyuwangi saya manfaatkan untuk blusukan ke beberapa pantai yang berada di pesisir timur Kota Banyuwangi dengan melewati perkampungan, mulai pantai Solong, Cacalan, Seranit, Ancol, Boom, hingga Pulau Santen. Selama ini saya juga sudah mengunjungi beberapa pantai yang lebih banyak digunakan untuk wisata, seperti pantai Brangsing, Watudodol, Blimbingsari, Trianggulasi, Pancur, Bedul, Plengkung, Pulau Merah, Grajagan, dan Muncar.

Hampir semua pesisir pantai di wilayah Banyuwangi kondisinya kotor dan banyak sampah berserakan. Bahkan, di pesisir yang dekat dengan perkampungan, selain kotor juga jorok dan kumuh. Sebuah pemandangan khas daerah pesisir yang sangat tidak sedap di pandang mata. Terkadang juga disertai dengan bau anyir alias tidak sedap. Kondisi seperti itu tak jauh berbeda dengan daerah tetangga, Situbondo.

Bahkan, persoalan sampah yang merusak keindahan pantai juga melanda kawasan wisata internasional Pantai Kuta, Bali. Itu karena pemerintah setempat kurang peduli terhadap keberadaan sampah di Pantai Kuta, hingga majalah Time edisi 1 April lalu memuat berita berjudul Holidays in Hell: Bali’s Ongoing Woes. Tentu itu sebuah pukulan telak bagi pengelola pariwisata di Bali. Sebab, bisa merusak citra dunia pariwisata di sana, termasuk bisa mengurangi minat para wisatawan berkunjung ke sana.

Banyaknya sampah di kawasan pesisir pantai ini juga menjadi problema sosial dan budaya bagi Banyuwangi yang memiliki garis pantai cukup panjang, yakni 175,8 km, dan Situbondo yang memiliki garis pantai sekitar 150 km. Akankah selamanya kondisi kawasan pesisir yang kotor dan kumuh itu dibiarkan? Tidak adakah upaya mengubah wajah kawasan pesisir yang kotor, jorok, dan baunya tak sedap, itu menjadi bersih dan berseri? Kapan ya angan-angan memiliki pantai atau lingkungan di kawasan pesisir yang indah dan bersih seperti di negara-negara benua Eropa, Amerika, atau Australia menjadi kenyataan di sini?

Sejatinya, segala sesuatu yang tidak baik itu bisa diubah menjadi baik senyampang ada niat dan upaya memperbaiki. Kita semua tentu punya angan-angan yang cukup muluk bisa melihat pesisir kita bersih, rapi, dan indah, di pandang mata. Lebih bersyukur lagi kalau permukiman di sekitar pesisir juga tertata rapi, indah, dan bersih. Termasuk, kondisi sungai-sungai yang mengalir ke laut juga terlihat bersih dan jernih.

Untuk membersihkan sampah di pantai dan mengubah wajah pesisir yang kumuh memang tidak bisa simsalabim seperti tukang sulap. Sebab, ini menyangkut budaya, kebiasaan, pola pikir, dan kepedulian masyarakat. Oleh karena itu, perlu dimulai dan dibiasakan.

Untuk memulai itu semua diperlukan gerakan massal yang melibatkan segenap elemen masyarakat, di antaranya melalui bersih-bersih pantai, kawasan pesisir, dan sungai. Yang dilibatkan tidak hanya warga masyarakat di sekitar pesisir, tapi semua elemen masyarakat diajak cancut tali wanda, mulai pelajar, guru, TNI/Polri, anggota ormas, parpol, LSM, PNS, pegawai swasta, pedagang, pegawai kantor, aktivis peduli lingkungan, dan lain sebagainya.

Selain menyumbang tenaga, diharapkan juga ada yang menyumbang konsumsi berupa air minum, snack, atau nasi bungkus. Termasuk, menyumbang peralatan kebersihan, kantong sampah, dan alat transportasi pengangkut massa dan pengangkut sampah. Yang terkait sumbangan non-tenaga, kita berharap perusahaan-perusahaan peduli lingkungan menyisihkan anggaran CSR-nya untuk gerakan mulia ini. Seperti perusahaan rokok, perbankan, telekomunikasi, semen, minyak, perkapalan, pelabuhan, perikanan, perkebunan, dan lain sebagainya.

Meski ini acara warga, pemerintah harus tetap ikut mengoordinasi dan bertindak selaku leading sector. Pemerintah melalui instansi terkait harus mengeluarkan peralatan berat yang dimiliki untuk mempercepat bersih-bersih. Termasuk, mengeruk endapan-endapan lumpur yang mengganggu aliran air dengan alat berat dan membuang sampah yang sudah terkumpul di pantai ke tempat pembuangan sampah (TPS). Tugas lain pemerintah adalah menerbitkan perda yang mengatur batasan dan sanksi terhadap warga yang tidak mau diajak hidup tertib dan bersih, termasuk yang membuang sampah sembarangan.

Ketika masih bertugas di Radar Mojokerto, institusi saya pernah mengadakan acara bersih-bersih Kali Brantas yang didukung Pemkab dan Pemkot Mojokerto serta Pemkab Jombang. Saat itu, tak kurang dari 10 ribu warga berpartisipasi, sebagian besar berasal dari kalangan pelajar. Mereka tidak hanya berasal dari Mojokerto dan Jombang, tapi juga dari Sidoarjo dan Surabaya. Termasuk, tiga kepala daerah juga hadir untuk menyemangati warganya yang ikut bersih-bersih.

Sebagian besar instansi antusias mengirimkan anggotanya untuk menunjukkan kepedulian. Apalagi, nama institusi mereka dipampangkan di media massa, baik yang menyumbang tenaga maupun kebutuhan terkait agenda itu. Prinsipnya, menjalin kerbersamaan dengan tujuan mulia.

Melalui gerakan bersih-bersih massal seperti ini, diharapkan bisa menumbuhkan kesadaran dan kepedulian terhadap kebersihan dan pelestarian lingkungan. Termasuk, juga meningkatkan partisipasi, solidaritas, dan kebersamaan warga dalam membangun daerah. Sebab, kalau upaya membersihkan sampah dan sosialisasi penataan lingkungan hanya dilakukan pemerintah, saya yakin akan membutuhkan waktu cukup lama dan anggaran yang besar.

Kalau memang agenda ini bisa dijadikan salah satu solusi untuk menata lingkungan pesisir menjadi lebih bersih dan sehat, tidak ada salahnya dicoba. (cho@jawapos.co.id)

Komentar

INFO NIAGA MOJO mengatakan…
hehe...he...he...pak cho sudah dapat komisi berapa dari bisnis online??? saya dari dua tahun kemarin sampai sekarang baru dapat 9.600 rupiah tok gak bergerak, nunggu ada yang ngeklik iklan, btw tampilan blog terkesan sangar tapi oke...success pak cho
INFO NIAGA MOJO mengatakan…
he...he...he... pak cho udah dapat komisi buanyak dari bisnis adsense ya..??? saya dari dua tahun kemarin cuma dapat Rp 9.600,- gak bergerak blas...BTW blognya sangar tapi bagus kok...ngenomi...salam success selalu...
purwowi mengatakan…
Baru dapat Rp 5.500 dan gak nambah-nambah he.. he... Thanks masukannya

Postingan populer dari blog ini

Nyapu Bareng

Memacu Minat Baca Masyarakat

Demokrasi Uang