Selamat Datang Fokker-50

Oleh A. Choliq Baya

KABAR gembira berembus dari Lapangan Terbang (Lapter) Blimbingsari, Rogojampi, Banyuwangi. Tak lama lagi landasan pacu lapter sepanjang 1400 meter itu bakal digunakan untuk penerbangan komersial dengan pesawat yang lebih besar, yaitu Fokker-50 berkapasitas 48 penumpang. Senin lalu (25/4), Fokker-50 milik maskapai penerbangan Sky Aviation itu telah mendarat di Lapter Blimbingsari dalam rangka uji kelayakan (provit flight). Uji coba kelayakan itu sekaligus sebagai persiapan menjelang dibukanya rute penerbangan komersial Solo–Surabaya–Banyuwangi–Denpasar, yang direncanakan mulai dibuka Rabu (4/5) pekan depan.

Selama ini, penerbangan komersial di Lapter Blimbingsari hanya dilayani pesawat Grand Caravan yang berkapasitas 9 penumpang. Tiga kali dalam seminggu (Senin, Rabu, dan Jumat), Grand Caravan melayani penumpang dari Banyuwangi–Surabaya dan Banyuwangi–Denpasar, dan juga sebaliknya. Meski tergolong sebagai transportasi baru yang beroperasi mulai akhir tahun 2010, tapi antusias penumpang lumayan tinggi. Sehingga, pemilik maskapai penerbangan berani menyediakan pesawat lagi dengan kapasitas penumpang yang lebih besar.

Dengan akan beroperasinya pesawat baru yang dilengkapi toilet dan dua pramugari itu, diharapkan bisa mendongkrak animo penumpang lebih banyak. Sebab, ada sebagian calon penumpang yang merasa takut naik pesawat kecil. Sebab, goncangannya dinilai terlalu keras saat pesawat tertiup angin, terutama saat take off dan landing. Sehingga, mereka yang nyalinya pas-pasan lebih memilih menggunakan jalur transportasi darat daripada memendam rasa ketakutan di atas pesawat.

Pertanyaan soal goncangan dalam pesawat kecil saat terbang juga sering dilontarkan beberapa kawan saya. Mereka banyak yang ragu mencoba transportasi udara dengan pesawat kecil berkapasitas 9 penumpang. Apalagi, setelah mereka tahu bahwa di pesawat itu tidak ada copilot, teknisi mesin, dan pramugari. Kalau dipaksakan naik, beban psikologis yang harus ditanggung orang-orang bernyali kecil tentu cukup berat. Bahkan, saat pesawat kecil itu uji coba dengan beberapa awak media pada akhir 2010, ada seorang reporter radio yang menangis saat pesawat terbang di udara.

Selain faktor keselamatan yang lebih terkait pada urusan nyali, pertanyaan lain yang banyak mengemuka dari kawan-kawan saya adalah soal mahalnya tiket. Beberapa catatan saya tentang beroperasinya Lapter Blimbingsari di harian ini pada akhir tahun lalu dan awal tahun ini, saya posting di Facebook dan di Blog http://www.choliqbaya.co.cc. Beberapa teman menanyakan harga tiket pesawat. Setelah saya beri tahu bahwa harga tiket pesawat Rp 700 ribu untuk rute Surabaya–Banyuwangi dan Rp 400 ribu untuk rute Banyuwangi–Denpasar atau sebaliknya, mereka sangat kaget. Bahkan, ketika saya beritahu ada program promo dengan harga tiket Rp 500 ribu untuk rute Surabaya–Banyuwangi dan Rp 300 ribu untuk rute Banyuwangi-Denpasar, masih dianggap terlalu mahal.

Sebagian besar dari mereka membandingkan tiket pesawat komersial dengan rute-rute gemuk antar kota besar, seperti Surabaya–Jakarta, Surabaya–Denpasar, Surabaya–Makasar, dan lain-lain. Meski jaraknya lebih jauh, tapi tiketnya lebih murah. Bahkan, ada maskapai penerbangan yang rutin mempromosikan tiket murahnya di media massa dengan harga jauh lebih murah. Sehingga, apa yang dia ketahui itu dijadikan tolok ukur perbandingan.

Padahal, tidak sesederhana itu parameternya. Dari sisi bisnis, untuk rute gemuk yang banyak penumpangnya dan dilayani banyak maskapai, tentu harga tiket lebih kompetitif alias lebih murah. Sementara itu, di Banyuwangi yang tergolong masih baru, masih merintis, dan penumpangnya belum banyak, jelas tiketnya lebih mahal. Apalagi, kalau dikaitkan biaya operasional dan perawatan pesawat yang melayani, pasti keuntungannya sangat tipis sekali, bahkan bisa jadi tekor. Sebab, maskapai yang buka jalur di daerah-daerah terpencil, pada awalnya rata-rata mengalami kerugian cukup besar. Tak jarang mereka harus membuat komitmen dengan pemda setempat agar ikut memikirkan risiko yang bakal terjadi. Termasuk, risiko sepinya penumpang yang menyebabkan perusahaan penerbangan rugi.

Untungnya di Banyuwangi tidak sampai mengalami kerugian seperti yang terjadi di beberapa daerah di luar Jawa. Sebab, jumlah penumpang stabil, sehingga Pemkab Banyuwangi tidak perlu menyubsidi anggaran untuk menutup biaya operasional maskapai penerbangan. Seandainya penumpang tidak memenuhi target sekalipun, Pemkab Banyuwangi juga tetap tidak perlu nomboki. Pasalnya, sudah ada investor yang menjamin, yaitu pihak yang diberi wewenang melayani penjualan tiket. Sinergi seperti inilah yang memang harus dikembangkan untuk meminimalisasi pengeluaran anggaran.

Sejatinya, dengan kehadiran pesawat yang lebih besar, harga tiket harus lebih murah. Pihak maskapai rencananya mematok Rp 400 ribu sampai Rp 700 ribu untuk tiket jurusan Surabaya–Banyuwangi atau sebaliknya. Untuk rute Banyuwangi–Denpasar atau sebaliknya harga tiketnya Rp 195 ribu sampai Rp 400 ribu. Untuk rute baru Surabaya–Solo atau sebaliknya tiketnya dipatok Rp 350 ribu sampai dengan Rp 600 ribu. Pemberlakuan harga tiket berdasarkan sub class beli lebih awal lebih murah.

Dengan kehadiran pesawat baru Fokker-50, penerbangan komersial dari Lapter Blimbingsari yang biasanya seminggu tiga kali ditambah menjadi empat kali, yaitu Senin, Rabu, Jumat, dan Minggu. Dengan tambahan jam terbang, diharapkan semakin banyak para pelaku bisnis, wisatawan, dan para pejabat di luar daerah asal Banyuwangi maupun pejabat luar daerah yang bertugas di Bumi Blambangan memanfaatkannya. Harapan lain, bisa memacu investasi dan kunjungan wisatawan ke Banyuwangi.

Secara fisik, kondisi Lapter Blimbingsari yang dibangun sejak 2002 hingga 2010 dengan anggaran sebesar Rp 103,7 miliar itu cukup memenuhi syarat untuk penerbangan pesawat Fokker-50. Selain itu, lapter yang memiliki run way (landasan pacu) sepanjang 1400 meter ini juga bisa didarati pesawat DHC-6 Twin Otter, Casa-212, DASH-7, Skyvan dan CN-235. Tak hanya itu, keberadaan lapter yang berada di posisi 08°18’43” LS dan 114°20’16” BT itu sangat strategis karena terletak sekitar 20–30 meter di atas permukaan laut. Termasuk, jarak dengan pusat Kota Banyuwangi yang hanya terpaut sekitar 21 km dengan melewati jalan provinsi sepanjang 15 km dan jalan kabupaten 6 km.

Meski demikian, masih ada beberapa kekurangan yang belum terpenuhi terkait fasilitas lapter. Hal itu harus secepatnya dipenuhi pemerintah. Jangan sampai investor yang sudah nekat mengoperasikan armadanya di sini, bahkan mendatangkan pesawat yang lebih besar, tidak diimbangi prasarana yang baik. Beberapa kekurangan di Blimbingsari yang harus dipenuhi pemerintah, antara lain sarana navigasi dan light runway (lampu landasan pacu) untuk penerbangan malam hari. Selain itu, apron (tempat parkir pesawat) dan terminal penumpang kurang luas.

Semoga dengan adanya perbaikan sarana-prasarana, fasilitas, layanan prima, dan hadirnya pesawat Fokker-50, semakin banyak investor yang datang ke Banyuwangi untuk menanamkan modal. Beberapa waktu lalu sudah ada investor yang tertarik membangun hanggar perbaikan pesawat di Lapter Blimbingsari. Ada juga yang berniat membuka sekolah penerbangan untuk pembibitan calon pilot. Itu semua berkah yang patut disyukuri dan jangan sampai disia-siakan, apalagi dipersulit dengan urusan birokrasi, sudah bukan zamannya lagi. (cho@jawapos.co.id)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nyapu Bareng

Memacu Minat Baca Masyarakat

Demokrasi Uang