Menunggu Dewa Penyelamat Persewangi


Oleh: A. Choliq Baya

PERJALANAN punggawa Persewangi, klub sepak bola kebanggaan masyarakat Banyuwangi yang berkiprah di pentas divisi utama Liga Prima Indonesia Sportindo (LPIS) semakin terseok-seok. Selain karena faktor kekurangan suplai anggaran yang tidak kunjung dapat sponsor, beberapa pemainnya juga mulai hengkang ke klub lain. Ini terjadi karena mereka menganggap masa depannya di Persewangi kurang jelas dikarenakan gajinya tersendat sampai tiga bulan, bahkan kontraknya banyak yang direvisi ulang.

Ada tiga pemain pilar yang sudah angkat kaki dari klub yang diarsiteki Yudi Suryata ini. Masing-masing kiper utama David Ariyanto yang sebelumnya merumput di Persiwa Wamena, kini hijrah ke Barito Putra, klub divisi utama Liga Indonesia. Dua punggawa lain yang memilih hengkang dari Persewangi adalah mantan pemain PSIS Semarang Modestus Indra Setiawan dan Ilham Sadat. Sejak putaran kedua divisi utama LPIS yang digelar PSSI, keduanya sudah hijrah ke Persis Solo.

Bukan tidak mungkin gelombang eksodus pemain bakal terus berlanjut. Beberapa pemain bahkan dikabarkan mulai memikirkan mencari klub baru. Alasan yang mereka persoalkan sama, yakni menunggu realisasi janji manajemen terkait dengan pemenuhan terhadap hak-hak pemain yang belum direalisasikan.

Yang lebih fatal lagi, Persewangi juga mulai kehilangan dukungan dari para supporter fanatiknya. Terbukti, dua pertandingan terakhir saat Persewangi menjamu Persipro di piala Indonesia dan menjamu Madiun Putra di putaran kedua divisi utama LPIS, jumlah penonton yang biasanya memadati stadion Diponegoro semakin berkurang. Akibatnya, di pertandingan home itu Persewangi tidak bisa meraih poin maksimal karena ditahan seri oleh tamunya.

Bahkan di leg kedua Piala Indonesia saat bertanding melawan Persipro di stadion Banyuangga Probolinggo, Rabu lalu, Laskar Blambangan sudah terlihat kurang kompak dan kurang bersemangat. Termasuk koordinasi persiapan dan keberangkatan ke Probolinggo yang dilakukan oleh manajemen Persewangi juga  asal-asalan. Sehingga, pemain yang ikut ke Probolinggo hanya 12 orang. Itupun, satu-satunya kiper yang ikut ke Probolinggo, Catur Adi Nugroho, tidak mau turun lapangan. Terpaksa pemain belakang Agung Yuda diplot jadi penjaga gawang. Persewangi pun akhirnya takluk 1-0.

Persewangi sepertinya sengaja tidak tampil ngotot di Piala Indonesia. Sebab, kalau sampai berambisi meraih kemenangan, berarti ia akan terus bertanding ke putaran berikutnya. Dengan demikian, anggaran yang akan dikeluarkan pasti akan lebih banyak lagi. Sementara untuk menyokong biaya kompetisi divisi utama PSSI yang kini sudah memasuki putaran kedua, kantong Persewangi sudah kembang kempis. Setiap bertemu saya, manajer Persewangi Nanang Nur Ahmadi selalu mengeluh dan curhat karena harus memikul beban yang demikian berat. Padahal, dia membawa nama besar Banyuwangi tapi tak mendapat dukungan yang signifikan dari Pemkab Banyuwangi.

Apalagi pada pertandingan selanjutnya, tim Laskar Blambangan bakal melakukan laga tandang ke luar pulau yang tentunya memakan biaya cukup besar. Misalnya, untuk bertanding melawan Perseman Manokwari, biaya transportasi dan akomodasi yang harus dikeluarkan bisa mencapai sekitar Rp 400 juta. Besarnya pengeluaran itu diperoleh dari tim Gresik United yang sudah bertanding ke Manokwari pada putaran pertama. Belum lagi kalau bertanding ke markas Persbul Buol dan Persemalra Maluku Tenggara. Jadi, masih butuh amunisi anggaran cukup besar.

Ironisnya, Persewangi tidak memiliki sumber anggaran yang bisa diandalkan. Sebab, hingga kini tidak ada sponsor yang mau bergabung seperti pernah digembar-gemborkan manajemen Persewangi di koran ini saat putaran pertama baru beberapa kali digelar. Persewangi hanya mengandalkan perolehan hasil tiket pertandingan saat menjadi tuan rumah. Itupun masih harus dipotong pajak tontonan oleh Dispenda. Padahal, di beberapa daerah lain, pajak tontonannya dibebaskan sebagai bentuk dukungan terhadap tim daerah yang membawa misi mengharumkan nama daerah.

Selain itu, manajemen juga terus menyoal peran Bupati Banyuwangi bersama jajarannya yang dianggap tidak memiliki kepedulian terhadap nasib Persewangi. Walhasil, pemkab akhirnya memfasilitasi menggelar malam penggalangan dana untuk Persewangi di pendopo kabupaten. Pada acara itu terkumpul dana Rp 738 juta. Dari jumlah itu sebesar Rp 500 juta berasal dari Forpimda (Forum Pimpinan Daerah) Banyuwangi, sisanya dari para donatur. Meski demikian, hasil penggalangan dana yang berlangsung 9 Maret 2012 itu hingga kini masih nyantol. Menurut manajer Persewangi, yang sudah cair dan mengucur ke Persewangi baru Rp 50 juta.

Meski sudah ada suntikan dana dari donatur, kondisi Persewangi tidak semakin membaik, tapi justru semakin amburadul. Buktinya, beberapa pemain hengkang, hak-hak pemain banyak tidak dipenuhi, dan koordinasi manajemen dengan pemain semakin melemah. Semuanya bermuara pada minimnya anggaran untuk membiayai operasional tim.

Kalau tidak ada dewa penyelamat, terutama yang bisa membantu suntikan dana untuk menopang operasional Laskar Blambangan, saya tak yakin tim ini bisa eksis sampai kompetisi divisi utama LPSI berakhir. Bisa jadi, langkah Persewangi akan berhenti di tengah jalan, bahkan kemungkinan bisa bubar. Kalau ini yang terjadi, tentu sangat tragis.

Sejatinya, permasalahan yang dihadapi Persewangi juga banyak menimpa klub lain, baik yang berlaga di liga divisi utama LPSI maupun di Liga Primer Indonesia (LPI). Selaku klub sepak bola profesional seharusnya manajemen sudah bisa mencari uang sendiri untuk menghidupi kubnya, tidak terus berharap bantuan dari pemerintah. Apalagi sudah tahu ada larangan dari Mendagri, klub profesional dilarang menerima kucuran dana APBD.

Kalau manajemen tidak berusaha mencari terobosan dengan membuat badan usaha yang bisa menghasilkan profit, jangan coba-coba berspekulasi ikut kompetisi. Sebab, itu berarti memaksakan diri. Akibatnya, akan mencederai pemain karena manajemen tidak bisa memenuhi hak-haknya. Apalagi sampai nekat mengontrak para pemain asing dengan nilai kontrak yang terpaut cukup jauh dengan pemain lokal. Ini berarti manajemen tidak bisa berpikir rasional.

Terlebih lagi melihat kondisi organisasi pengendali sepak bola di tanah air, yaitu PSSI, kondisinya masih amburadul. Dan, itu juga berimbas ke PSSI di tingkat bawah yang juga ikut tercabik-cabik dan terkotak-kotak oleh kepentingan golongan, ambisi, duit dan politik. Rasanya kita semua muak dengan tontonan yang dimainkan orang-orang PSSI. Semoga kasus ini bisa dijadikan pelajaran dan dipetik hikmahnya oleh para pengelola sepak bola di tanah air, termasuk manajemen Persewangi. (cho@jawapos.co.id)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nyapu Bareng

Memacu Minat Baca Masyarakat

Demokrasi Uang