Rangsangan Hotel

MENGGELAR rapat di hotel, rupanya sudah menjadi ketergantungan bagi anggota DPRD Kabupaten Mojokerto. Bahkan, para wakil rakyat periode 2004–2009 ini boleh dibilang telah menciptakan sejarah baru sebagai legislator yang paling sering menyelesaikan tugas-tugasnya di hotel. Nyatanya, sudah berkali-kali mereka menggelar rapat di hotel. Umumnya di Malang, Batu, Pandaan dan Tretes yang udaranya cukup sejuk dan ’’menyegarkan’’.
Meskipun sudah berkali-kali rapat di hotel itu disorot oleh beberapa pihak, tapi mereka sama sekali tak peduli. Bahkan, terus mengulang dan mengulang lagi. Yang terakhir, lembaga penampung dan penyalur aspirasi rakyat itu kembali menggelar rapat di Hotel Regent Malang pada Juli 2008 kemarin. Tidak tanggung-tanggung, tiga panitia khusus (pansus) diboyong untuk menyelesaikan tugasnya di hotel. Masing-masing Pansus KUPA-PPAP (19–20 Juli), Pansus Raperda (29–30 Juli) dan Pansus Panlih Wabup (30–31 Juli). Biaya yang dikeluarkan untuk rapat tiga pansus di hotel Regent itu mencapai Rp 790 juta.
Rupanya, mereka telanjur keasyikan dengan fasilitas hotel, sehingga gedung DPRD sudah tidak menarik dan dianggap tidak representatif lagi untuk dipakai tempat rapat. Apalagi, selain bisa menikmati fasilitas dari hotel, para anggota dewan juga dapat uang perjalanan dinas dan uang representasi. Mungkin itu yang juga membuat mereka lebih bersemangat untuk memilih rapat di hotel. Yang kita belum tahu, apakah dalam membahas materi yang dirapatkan di hotel, mereka juga lebih bersemangat dibandingkan rapat itu digelar di gedung dewan?
Jangan-jangan karena di hotel udaranya lebih sejuk, fasilitasnya nyaman dan banyak ’’pemandangan’’ baru, konsentrasi mereka ke materi rapat malah terganggu. Kalau ini yang terjadi, berarti tujuan mendasar dari rapat sudah gagal dan takkan menghasilkan keputusan atau kebijakan yang optimal. Selain itu, rakyat merasa dirugikan, karena uangnya dipakai untuk membiayai rapat di hotel hingga ratusan juta rupiah. Padahal, bila rapat itu digelar di gedung dewan, paling banyak biayanya hanya berkisar belasan juta.
Saya tak habis mengerti dengan motivasi para wakil rakyat Kabupaten Mojokerto yang hobi rapat di hotel. Apakah hati mereka masih belum terbuka, meskipun ada rekannya yang tidak setuju rapat itu digelar di hotel? Padahal, mereka mengakui kalau rapat di hotel itu tidak efektif dan tidak efisien. Lebih banyak muspro-nya daripada manfaatnya. Besarnya anggaran yang dikeluarkan juga tidak sebanding dengan hasil yang dirasakan publik.
Sejatinya, masih banyak pertanyaan minor yang lain dari kebiasaan buruk rapat di hotel. Apakah mereka tidak memiliki kepekaan sosial dalam situasi ekonomi yang serba sulit ini? Apakah mereka juga tidak peduli dengan efisiensi dalam menggunakan uang rakyat? Apakah mereka tidak punya malu disorot beberapa kali di media? Atau, jangan-jangan mereka memang sudah kebal, karena hati nuraninya sudah tertutup oleh kepentingan lain.
Seandainya rapat di hotel itu digelar karena gedung dewannya sedang direnovasi atau sedang dipakai kegiatan lain yang lebih penting atau mendesak, mungkin rakyat masih bisa mengerti dan memahami. Tapi, kalau rapat itu terlalu sering diselenggarakan di hotel berarti yo kebangeten. Benar-benar keterlaluan. Apalagi, tidak sekali dua kali saja agenda itu dikritisi oleh internal anggota dewan sendiri, kalangan LSM maupun media massa, tetapi tetap saja mereka tutup kuping rapat-rapat alias tidak peduli.
Ingin tahu alasan mendasar rapat dewan digelar di hotel? Menurut Sekretaris DPRD Kabupaten Mojokerto Nurhayati Maulidiyah, untuk merangsang kehadiran anggota dewan. Sebab, kalau tidak ada rangsangan jalannya rapat tidak maksimal karena kehadiran anggota sangat minim. Alasan inilah yang beberapa kali dijadikan tameng agar rapat tetap bisa digelar di hotel.
Ini sungguh teramat memalukan. Sebab, ini sama saja dengan membuka kebobrokan kinerja anggota dewan. Ternyata, wakil rakyat yang kita harapkan bisa membawa kemaslahatan daerah ini banyak yang pemalas. Untuk menghadiri rapat saja mereka harus diberi tambahan ’’rangsangan’’. Padahal, itu sudah menjadi bagian tugasnya, dan juga mereka sudah digaji oleh negara cukup tinggi. Tapi, mengapa tugas-tugas yang menjadi kewenangannya tidak dijalankan secara optimal?
Kenyataan ini akan menjadi catatan merah bagi rakyat yang menjadi konstituen mereka. Rakyat pasti tidak akan tinggal diam bila tahu kalau para wakilnya ternyata pemalas. Kalau sekarang mereka tidak memiliki daya untuk menghujat, apalagi menurunkan dari kursi dewan, tapi dalam pemilu nanti pasti tak akan tertarik lagi untuk memilihnya.
Rakyat yang sudah tahu track record dan sepak terjang anggota dewan yang kini berkuasa pasti sudah bisa memilah dan memilih yang lebih baik. Rakyat yang belum melek politik, menjadi kewajiban kita semua untuk membantu memberi tuntunan yang baik. Khususnya dalam mengarahkan pilihannya saat pemilu legislatif, agar tidak jatuh ke politisi busuk ataupun ke politisi pemalas yang orientasinya hanya mau kerja kalau ada duit.
Kita harapkan parpol yang mewadahi mereka juga mengevaluasi kader-kadernya yang duduk di legislatif bila masih ingin mendapat dukungan rakyat. Terlebih di saat masa rekrutmen caleg seperti sekarang ini. Hendaknya secara transparan diumumkan sejak dini kepada publik untuk mendapatkan respons dan masukan. Jangan sampai salah memilih orang.
Bagi anggota dewan yang merasa masuk dalam kategori pemalas –hanya mau mendatangi rapat kalau ada rangsangan– hendaknya mulai menyadari perilaku buruknya. Entah disadari atau tidak, anggota dewan adalah pejabat publik yang perilaku dan sepak terjangnya selalu dalam pantauan dan jadi suri tauladan. Kalau apa yang dilakukan selama menjadi wakil rakyat bisa membawa kemaslahatan dan memenuhi harapan konstituennya, maka ia akan menuai buah dari kebaikan yang telah diperbuatnya. Begitu pula sebaliknya. (cho@jawapos.co.id)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nyapu Bareng

Memacu Minat Baca Masyarakat

Demokrasi Uang