Menggali Potensi Wisata

DI usianya yang genap 90 tahun pada 20 Juni 2008 kemarin, Kota Mojokerto di bawah kepemimpinan Abdul Gani Suhartono bertekad akan terus berbenah diri. Salah satu potensi yang sedang digali adalah mengembangkan pariwisata. Sedang program yang terkait dengan kinerja aparat pemerintah adalah meningkatkan pelayanan publik. Hal ini sejalan dengan tema hari jadi ke-90, yaitu meningkatkan kebersamaan dan pelayanan publik untuk kesejahteraan masyarakat.
Ada beberapa tempat wisata yang sudah dibangun oleh pemkot, diantaranya tempat bermain anak-anak di alun-alun, pusat jajan dan olah raga di Jogging Track Mojokerto (JTM) di tepi sungai Brantas, hutan kota di Jl Raya Ijen dekat stadion dan kawasan olah raga sekaligus wisata keluarga di Jl Benteng Pancasila. Tempat lain yang dibangun dan dipersiapkan untuk obyek wisata adalah pembangunan kolam renang di Magersari dan rencana membangun wisata air di Kedungsari.
Apa yang sudah ataupun sedang dalam persiapan pengembangan potensi wisata yang dilakukan Pemkot Mojokerto, menurut hemat saya nilai plusnya sangat kecil. Ini bila dilihat dari daya tarik dan pemasukan untuk menambah PAD (penghasilan asli daerah) Kota Mojokerto. Misalnya, seberapa besar dari hasil menyewakan lahan alun-alun untuk sarana bermain anak-anak? Berapa besar retribusi yang didapat dari penjual makanan dan minuman di JTM? Adakah pemasukan dari pembukaan hutan kota dan jalan kembar Benteng Pancasila?
Untuk investasi yang manfaatnya cukup signifikan seperti pelestarian hutan kota sebagai paru-paru kota dan jalan kembar Benteng Pancasila sebagai akses untuk kepentingan umum, memang tidak ada masalah. Dan, semestinya akses seperti ini harus diperbanyak. Meski begitu, eksekutif dan legislatif juga harus bisa menentukan kawasan yang lebih tepat agar segenap potensi yang ada di kota kecil ini bisa terangkat secara terarah. Karena itu, konsep dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) juga harus dijadikan acuan. Jangan sampai arah pembangunan mengikuti kemauan penguasa semata.
Bagaimana dengan alun-alun dan JTM? Untuk pengembangan alun-alun sebagai alternatif empat wisata keluarga, rasanya masih jauh dari harapan. Kondisinya sekarang boleh dikatakan amburadul. Mulai dari kondisi fisiknya yang kumuh, kotor dan jorok, penataan PKL yang smrawut, hingga arena bermain anak-anak yang kumuh. Meski sudah digembar-gemborkan berulangkali akan dibenahi, tapi hingga kini belum dimulai juga. Bahkan, untuk memberikan support kepada pemkot dan masyarakat luas, Radar Mojokerto pernah menggelar dialog publik membahas penataan alun-alun. Dengan harapan, pemkot segera membenahi alun-alun dan masyarakat ikut berpartisipasi memberikan masukan dan dukungan.
Saat itu, pemkot sudah membuatkan konsep penataan terpadu. Bahkan, ada sebuah LSM yang juga sudah menyiapkan konsep serupa dalam bentuk gambar detail. Ini berarti, ada kepedulian yang begitu tinggi dari masyarakat terhadap kondisi alun-alun Kota Mojokerto yang memang sangat memprihatinkan. Padahal, kalau wajah alun-alun kita cantik dan asri, tentu ini menjadi tempat jujugan wisata keluarga yang cukup mengesankan. Apalagi bila para PKL yang ada di situ tertata rapi, tertib dan teratur. Pasti semua pihak menjadi nyaman, senang dan aman. Sayangnya, hingga kini harapan itu belum diketahui kapan bisa diwujudkan pemerintah. Padahal, sebagian masyarakat sudah berpartisipasi memberikan masukan dan support yang tidak bisa dianggap remeh.
Sementara untuk pengembangan JTM juga kurang maksimal. Bahkan, pusat makanan dan jajanan di JTM yang dimodel ala Kya Kya seperti di Kembang Jepun Surabaya (kini sudah dipindah ke Pasar Tambakrejo), juga tidak berjalan mulus alias mandeg. Begitu juga dengan olah raga jetsky yang pernah dijajaki investor dari Surabaya dengan cara mencoba Sungai Brantas depan dermaga JTM, juga tidak ada kelanjutannya. Konon kabarnya pemkot kurang sreg. Padahal, itu juga bisa dijadikan andalan wisata dengan melihat keterbatasan SDA yang ada di Kota Mojokerto.
Selain itu, pemkot juga masih bisa memanfaatkan Sungai Brantas sebagai lokasi wisata air dengan cara menyediakan perahu wisata yang bisa mengangkut orang-orang ataupun anak-anak yang ingin menyusuri Brantas. Misalnya menyebrang dari JTM ke SOR yang ada di utara sungai, yang dulunya juga dipakai Pemkab Mojokerto untuk mengembangkan tempat wisata serupa. Sayangnya, penggarapan terhadap potensi yang ada ini saja kedua pemerintah (kota dan kabupaten) kurang melakukannya secara maksimal.
Di sisi lain, saya melihat, arah pengembangan potensi wisata seperti yang digembar-gemborkan pemkot masih belum sinkron dengan kondisi yang ada. Termasuk dalam penentuan prioritas terhadap proyek-proyek pembangunan berskala besar. Di antaranya rencana pemkot membangun tempat wisata air di Kedungsari. Ini sangat ironis dan bertolak belakang dengan kenyataan yang ada. Dimana Pemkot saat ini sudah memiliki kawasan wisata Tirta Suam di Sekar Putih hasil kerjasama dengan investor dari Jombang. Tapi, anehnya, tempat wisata itu sama sekali tidak berkembang. Saya tak tahu mengapa bisa seperti itu. Ini sama saja dengan menyia-nyiakan potensi sekaligus membuang-buang uang negara.
Melihat kenyataan ini, muncul keraguan di benak saya, mungkin juga di benak masyarakat Kota Mojokerto, apa kalau sudah bisa membangun kawasan wisata air Kedungsari yang kabarnya minimal membutuhkan dana Rp 5 miliar, pemkot mampu mengelolanya? Apa nasibnya tidak lebih buruk dari Tirta Suam? Sebab, ada kebiasaan buruk yang melekat di negara kita, biasanya segala usaha yang langsung dikelola sendiri oleh aparat pemerintah justru tidak menghasilkan pendapatan, alias pas-pasan, atau bisa jadi justru malah tekor. Artinya, agar tempat wisata itu tetap eksis, harus ada suplai dana APBD setiap tahunnya. Dan, ini sangat tidak lazim dalam kamus dunia usaha. Sebab, ini menunjukkan lemahnya manajemen pengelolaan.
Kenyataan lain yang tidak sejalan dengan semangat efisiensi anggaran dan prioritas program pembangunan, banyaknya proyek-proyek pembangunan besar yang mangkrak. Salah satu faktor penyebabnya adalah arah kebijakan program pembangunan yang tidak fokus. Mungkin juga tidak sesuai dengan konsep rencana strategis (renstra) atau RPJMD Kota Mojokerto. Itu bisa dilihat dengan mangkrak-nya pembangunan sport center di Surodinawan yang lahannya sudah diuruk sejak beberapa tahun lalu. Juga proyek Pusat Industri Kecil (PIK) di kawasan Bypass Mojokerto. padahal, sudah miliaran uang APBD digelontorkan untuk kedua proyek itu, tapi mana kelanjutannya? Padahal, kedua proyek besar itu juga bisa dikembangkan untuk tempat wisata.
Sekali lagi, kalau pemkot ingin mewujudkan proyek baru wisata air Kedungsari, ada kekhawatiran manakala pembangunannya juga akan mangkrak seperti dua proyek di atas. Yang jadi pertanyaan, kenapa pemerintah tidak fokus pada satu proyek yang lebih diprioritaskan lebih dulu untuk diselesaikan sampai tuntas? Misalnya, tahun ini menuntaskan pembangunan RSUD dr Wahidin Sudirohusodo di Surodinawan dan membenahi alun-alun. Selanjutnya fokus membangun wisata air kedungsari dan ruang pameran atau PIK. Tahun berikutnya membangun sport center, dan seterusnya. Tentu itu semua harus mengacu atau menyesuaikan dengan konsep RPJMD Kota Mojokerto. Termasuk proyek-proyek kecil yang manfaatnya sangat ditunggu oleh masyarakat luas juga tetap dijalankan sesuai dengan kemampuan anggaran yang dimiliki kota ini.
Melihat potensi sumber daya alam (SDA) yang dimiliki Kota Mojokerto, saya sangat setuju dengan upaya pemkot dalam memprioritaskan pembangunan sumber daya manusia (SDM). Sebab, dengan meningkatkan kualitas SDM yang ada di kota ini, tentu akan banyak muncul ide-ide kreatif dan inovatif yang bisa dijadikan bahan untuk membangun kota ini. Termasuk, bagaimana memanfaatkan lahan tidur yang dulu pernah diinventarisir oleh pemkot. Juga, bagaimana upaya pemkot bisa memikat investor untuk tertarik mengembangkan wisata belanja.
Begitu pula dalam pengembangan sentra industri kerajinan yang menjadi ciri khas Kota Mojokerto untuk lebih diarahkan menjadi daerah tujuan wisata. Misalnya memoles sentra kerajinan sepatu, perahu phinisi, jajanan khas onde-onde dan keciput, batik tulis, cetakan kue dan pengrajin gips. Tempat-tempat itu bisa dijadikan jujugan wisatawan bila dipoles secara khusus. Apalagi, beberapa sentra kerajinan seperti perahu phinisi dan sepatu juga sudah beberapa kali didatangi wisatawan asing maupun para buyer dari luar negeri. Seharusnya pemkot bisa menangkap peluang ini untuk dikembangkan menjadi jujukan wisata. Jangan justru memprioritaskan membangun tempat wisata baru yang membutuhkan biaya besar dan belum jelas kontribusi pemasukannya bagi PAD.
Semoga, masukan ini bisa bermanfaat bagi pengembangan wisata dan program-program pembangunan lain di Kota Mojokerto. (cho@jawapos.co.id)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nyapu Bareng

Memacu Minat Baca Masyarakat

Demokrasi Uang