Demokrasi Harmoni

PEMILIHAN Bupati Situbondo baru saja berlalu. Meski secara resmi hasilnya belum ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), tapi pemenangnya sudah bisa ditebak. Sudah hampir bisa dipastikan yang akan berkuasa memimpin kota santri Situbondo masa bakti lima tahun mendatang adalah pasangan Daulat. Yakni, Dadang Wigiarto dan Rachmad yang bakal menjadi bupati dan wakil bupati.

Kenyataan itu berdasarkan hasil quick count (penghitungan cepat) KPU Situbondo sebagaimana dilansir Radar Banyuwangi, kemarin. Dimana pasangan yang diberangkatkan PKNU dan Partai Golkar ini berhasil meraih suara 43,36 persen atau 145.125 suara dari total suara sah sebesar 334.704. Sementara empat pasangan yang lain, masing-masing Sofwan Hadi – Sukarso (Soka) meraih suara 33,04 persen; Hadariyanto – Basoenondo (Rido) 11,19 persen; Wahyu Teguh Wiyono – Syamlawi Madjid (Wali) 6,33 persen; dan Herman – MA Junaidi (Maju) 6,08 persen.

Kepada pasangan yang menang saya ucapkan selamat. Harapan kami, jangan terlalu larut dalam euforia kegembiraan yang berlebihan. Sebab, Anda harus siap-siap mengemban dan menjalankan amanah yang cukup berat. Yakni, memajukan Kabupaten Situbondo dan menyejahterakan warganya. Manakala amanah itu tidak berhasil Anda lakukan, maka Anda harus mempertanggungjawabkan secara vertikal maupun horizontal. Yakni, kepada rakyat Situbondo yang memilih Anda dan kepada sang khaliq di akhirat kelak.

Kepada pasangan yang kalah, Anda tak perlu berkecil hati. Tunjukkan bahwa Anda benar-benar seorang ’’pemimpin’’ yang demokratis. Siap menerima kemenangan maupun kekalahan secara fair, sportif dan ksatria. Sebab, yang namanya pertarungan pasti ada yang menang dan kalah. Termasuk para kontestan pemilukada Kabupaten Banyuwangi yang akan berpesta demokrasi pada 14 Juli mendatang, kita harapkan juga berlangsung kondusif.

Apalagi, sebelumnya para calon yang akan maju dalam pemilukada juga sudah berikrar dan menandatangani kesepakatan pemilu damai, siap menang siap kalah di hadapan Muspida. Yakni, bersedia menerima kemenangan ataupun kekalahan dengan jiwa besar demi terciptanya situasi yang tertib, aman dan nyaman. Mari kita pegang dan kita tegakkan bersama konsistensi dan komitmen itu.

Kalah yang saya maksud di sini tentu tidak hanya dalam ’’pertandingan’’, tapi juga kalah sebelum bertanding. Artinya, karena sebab-sebab tertentu; apakah persyaratan administrasinya kurang terpenuhi, tidak lulus verifikasi, tidak lulus tes kesehatan, atau prosedur yang dilakukan tidak sesuai dengan tahapan dan teknis aturan main yang telah ditetapkan, maka dia tidak bisa menjadi kontestan atau peserta pemilukada. Padahal, segala upaya telah dikerahkan ’’hingga titik darah penghabisan’’. Ternyata, masih tetap tak bisa lolos. Ini berarti, dia sudah kalah sebelum bertanding. Dan, beban psikologis yang ditanggung tentu juga sama dengan calon yang kalah dalam ’’pertandingan’’.

Memang, yang namanya kekalahan dalam suatu kompetisi di panggung ’’politik’’ terasa sangat menyakitkan. Sebab, tidak hanya tenaga, pikiran dan harta yang terkuras habis, tapi secara psikologis juga memunculkan tekanan mental yang demikian dahsyat. Rasa malu, masgul, gengsi, marah, benci, hingga dendam, acap kali ikut merongrong jiwa orang-orang yang kalah. Sehingga, seringkali akal sehatnya tidak bisa menerima kekalahan itu. Apalagi, bila ada pihak yang memanas-manasi untuk menolak kekalahan dengan berbagai dalih pembenar, tentu bisa memunculkan masalah baru.

Dan, ini berarti akan berimbas pada kerawanan sosial. Kalau sudah ada gejala seperti ini, aparat kemanan harus lebih intens untuk melakukan antisipasi yang lebih serius. Sebab, kalau sampai kerawanan ini meletus, pasti akan merugikan masyarakat secara luas. Kita semua tak menginginkan aparat keamanan kecolongan seperti kasus yang terjadi dalam pemilukada Kabupaten Mojokerto. Dimana, pihak-pihak yang tidak puas dengan proses pemilukada bisa melampiaskan emosinya secara anarkhis dengan memolotov puluhan mobil yang diparkir di areal kantor Pemkab Mojokerto saat acara pemaparan visi misi cabup – cawabup di Gedung DPRD setempat.

Selain itu, beberapa calon yang kalah beserta para pendukung setianya, terkadang masih menyimpan dendam. Mereka tidak melakukan tindakan anarkhis saat dinyatakan kalah, tetapi mereka akan terus merongrong dan mencari celah kelemahan saat rivalnya sudah berkuasa. Misalnya melaporkan ke aparat penegak hukum atau menyoal setiap program dan kebijakan yang ditengarai agak bermasalah dengan mengundang wartawan agar ditulis di media massa. Termasuk mengungkit kasus-kasus lama untuk menurunkan kredibilitas penguasa.

Dalam proses pembangunan daerah, yang namanya kritik memang sangat diperlukan. Termasuk mengkritisi program atau kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Apalagi kalau ditemukan adanya penyimpangan yang melanggar hukum, sudah selayaknya dilaporkan ke aparat penegak hukum dan media massa. Rakyat pasti akan memberi jempol terhadap pihak-pihak yang konsisten menjadi ’’oposisi’’. Tapi kalau kritikan yang dilontarkan hanya asbun (asal bunyi) atau dicari-cari, tentu rakyat tidak akan bersimpati.

Kembali soal keamanan dan keharmonisan, agar kasus anarkhis seperti di Mojokerto tidak terulang, ketegasan dari aparat sangat dibutuhkan. Apalagi, petinggi Polda Jatim juga sudah memberikan contoh dan memberikan perhatian yang cukup serius saat pemilukada Situbondo berlangsung dua hari lalu. Dimana Kapolda terjun langsung melakukan pengawasan dengan blusukan ke beberapa TPS tanpa dikawal secara berlebihan. Karena itu, aparat yang ada di lapangan hendaknya tidak ragu lagi menindak para pengacau atau perusuh yang ingin mengganggu atau menggagalkan pemilukada.

Kita semua berharap hingga masa penetapan suara dan penetapan calon terpilih oleh KPU nanti, suhu politik tetap terkendali, aman dan tertib. Kita juga berharap, pasangan calon yang kalah juga bisa legawa menerima keunggulan calon lain tanpa harus menghasut atau memanas-manasi pendukungnya untuk melakukan perlawanan. Kalau menemukan adanya pelanggaran, sebaiknya diselesaikan secara hukum. Kedewasaan berpolitik dari para kontestan pemilukada sangat diharapkan, terutama dalam menerima kekalahan.

Alangkah indah, damai dan harmonisnya manakala pasangan yang kalah mau bersikap ksatria dengan cara memberi ucapan selamat kepada pasangan yang menang. Sikap Wahyu Teguh Wiyono, selaku cabup Situbondo yang kalah dengan mendatangi kediaman dan mengucapkan selamat atas kemenangan Dadang Wigiarto, patut diapresiasi dan diacungi jempol. Semua pihak pasti setuju dan mendukung manakala sikap seperti itu bisa dibudayakan dan dilestarikan di negeri kita. Kedewasaan berdemokrasi ini pasti akan menjadi teladan yang positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Akhirnya, saya mengucapkan selamat kepada calon bupati dan wakil bupati Situbondo terpilih. Semoga Anda bisa menjadi pemimpin yang amanah, bisa mengayomi seluruh rakyat serta bisa menyejahterakan masa depannya. Kepada masyarakat Banyuwangi yang akan menggelar pemilukada 14 Juli mendatang, mari kita ciptakan kerukunan dan keamanan bersama agar pesta demokrasi berlangsung lancar, tertib dan aman. (cho@jawapos.co.id)

*) Radar Banyuwangi, 25 Juni 2010

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nyapu Bareng

Memacu Minat Baca Masyarakat

Demokrasi Uang