Pusat Penjualan Produk Khas Daerah

BULAN Oktober kemarin, Radar Banyuwangi menjadi tuan rumah rapat evaluasi triwulan ketiga tahun 2010 koran Radar Jawa Pos group yang berada di bawah manajemen PT Radar Media Nusantara (Ramen). Ada lima belas perusahaan surat kabar dari beberapa daerah di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Bali yang ikut rapat evaluasi di sebuah hotel di Banyuwangi. Masing-masing perusahaan koran diwakili oleh lima personel, terdiri dari direktur/general manager, pemimpin redaksi, manager keuangan, manager iklan dan manager pemasaran koran.

Dalam ajang seperti ini, biasanya tuan rumah selalu memberikan servis yang terkait dengan ‘’rasa khas’’ daerahnya. Apakah itu diajak ke tempat wisata, tempat kuliner, tempat penjualan souvenir atau diberi hidangan pertunjukan kesenian daerah. Tentu dengan catatan kalau waktunya sangat memungkinkan. Bisa juga tuan rumah memberi buah tangan yang bernilai khas daerah seperti souvenir atau jajanan khas produk lokal. Meski, seusai rapat atau menjelang kembali ke daerahnya masing-masing, biasanya para peserta rapat minta antar ke tempat-tempat penjualan souvenir dan jajanan khas untuk oleh-oleh kerabatnya.

Karena agenda acaranya hanya dua hari satu malam, pada hari pertama panitia punya kesempatan mengajak peserta menikmati makan malam di Pantai Blimbingsari Rogojampi yang sangat terkenal dengan ikan bakarnya. Meski hujan gerimis ikut menemani jamuan makam malam di pinggir pantai, seluruh peserta sama sekali tidak ada yang kecewa. Mereka malah banyak yang memuji aneka menu ikan laut yang disajikan. Bahkan, ada yang berkeinginan datang kembali ke pusat kuliner ikan laut di Blimbingsari bersama keluarganya. Pusat kuliner ikan laut Blimbingsari yang kini sudah tertata rapi dengan jalan berpaving benar-benar membawa kesan mendalam bagi mereka.

Demikian pula dengan obyek wisata pantainya. Sebagian peserta yang datang dari jalur utara (Situbondo), beberapa diantaranya ada yang sempat menikmati indahnya pantai Watudodol. Termasuk juga ada yang menikmati aneka makanan di warung-warung kecil maupun restoran di sana. Karena terbatasnya waktu, panitia tidak bisa mengajak mereka ke tempat wisata lain yang kondisinya jauh lebih indah dan menarik. Hanya sedikit jajanan khas produk Banyuwangi yang bisa disertakan sebagai tali asih untuk ‘’mengikat’’ agar mereka terpikat dan mau kembali mengunjungi Bumi Blambangan.

Meski demikian, ada perasaan sedih dan kecewa yang terbersit di benak kami ketika menjelang pulang mereka minta antar mencari tambahan oleh-oleh. Sebab, panitia sempat bingung, mau diantar kemana? Sebab, Banyuwangi tak punya tempat khusus yang tersentral untuk penjualan souvenir maupun jajanan khas, termasuk pasar murah yang bisa dibanggakan untuk belanja para turis. Yang ada hanya beberapa toko berjualan jajanan dan souvenir yang tempatnya terpisah-pisah. Termasuk, tempat jualan makanan khas Banyuwangi seperti rujak soto, nasi tempong, sego cawuk, pecel rawon, dan lain sebagainya, tidak ada tempat tersentral dan mudah dicari.

***

Kalau pemerintah daerah tanggap, kondisi seperti ini seharusnya tidak boleh terus berlangsung. Apalagi, Banyuwangi merupakan daerah perlintasan para wisatawan lokal maupun mancanegara yang akan berlibur ke Bali. Selain itu, Banyuwangi juga banyak menerima limpahan turis mancanegara dari Pulau Dewata yang ingin menikmati lokasi wisata di beberapa tempat di sini. Tentunya mereka juga ingin memperoleh kenang-kenangan atau cindera mata khas dari daerah ini untuk dibawa pulang.

Saya pernah berdiskusi dengan Sekdakab Banyuwangi Sukandi dan Bupati Abdullah Azwar Anas mengenai tidak adanya sentra penjualan yang bernuansa khas Banyuwangi. Apakah itu berjualan barang kerajinan, jajanan maupun makanan. Pemkab Banyuwangi baru berencana membangunnya di daerah Rogojampi, tak jauh dengan lapangan terbang Blimbingsari. Diharapkan, setelah lapter Blimbingsari beroperasi, tempat itu akan bisa dijadikan jujukan para turis mancanegara maupun dalam negeri yang menggunakan jasa bandara udara maupun yang lewat darat dari arah Jember.

Itu memang baru rencana dan semoga secepatnya bisa segera diwujudkan. Sebab, rencana itu memang masih jauh dari kenyataan karena belum ada lahannya. Termasuk, letak lokasi yang paling tepat dan strategis untuk mewujudkan keinginan itu. Entah berapa lama hal itu bisa diwujudkan, jangan-jangan hanya sebatas wacana yang tidak kunjung tuntas realisasinya. Apalagi masih harus menunggu persetujuan anggota dewan.

Menurut hemat saya, ada langkah taktis yang bisa dilakukan oleh Pemkab Banyuwangi terkait dengan upaya mewujudkan sentra penjualan produksi khas daerah. Diantaranya dengan menyiapkan tempat semi permanen di lahan kosong yang ada di sekitar Pantai Watu Dodol hingga Pelabuhan Ketapang. Saya melihat masih banyak lahan kosong di situ, terutama di dekat terminal bus Tanjungwangi. Bahkan, kalau tidak salah, di era Bupati Ratna Ani Lestari, pernah didirikan pasar agro di utara Terminal Tanjungwangi yang akhirnya berubah menjadi pasar senggol karena kurang maksimalnya perencanaan dan pembinaan terhadap pedagang, sehingga terkesan apa adanya.

Kini pemkab bisa menata ulang lokasi itu atau memanfaatkan lokasi lain yang ada di sekitar Watu Dodol hingga Pelabuhan Ketapang. Caranya dengan membangun stan-stan semi permanen yang tertata rapi lengkap dengan tempat parkir kendaraan. Termasuk, adanya informasi yang cukup mencolok dalam bentuk baliho kalau di situ sebagai pusat penjualan produk khas Banyuwangi. Standnya pun bisa dikelompok sesuai produk yang dijual, antara lain produk kerajinan atau souvenir, jajanan khas dan hasil agro, tempat kuliner, arena bermain dan tempat ibadah.

Sarana itu untuk membidik para pelancong yang akan pergi maupun datang dari Pulau Bali. Mereka tentu butuh waktu untuk istirahat, beribadah, makan maupun mencari oleh-oleh tambahan. Apalagi, di waktu-waktu tertentu, penyebrangan ke arah Bali terkadang berpotensi memacetkan jalan. Sehingga, keberadaan tempat seperti ini jelas sangat dibutuhkan. Para rombongan pelancong juga lebih banyak yang berhenti memilih tempat seperti ini untuk makan, beribadah, buang hajat maupun istirahat sejenak dari pada berhenti di restoran.

Untuk membangun sentra penjualan produk daerah itu tentu bisa dilakukan bertahap dengan anggaran yang tidak besar. Misalnya, membangun bidak-bidak semi permanen dulu, kalau misalnya sekarang sudah ada belasan bidak dan tempat parkir kendaraan, bisa dialihkan untuk membangun toilet. Termasuk membuat tulisan yang cukup mencolok kalau di situ ada sentra penjualan produk khas Banyuwangi yang bisa terbaca pemakai jalan. Selanjutnya, kalau dirasa cukup ramai bisa dikembangkan dan dibangun sarana lain yang lebih memadai.

Dengan adanya sentra penjualan produk daerah itu, akan banyak keuntungan yang didapat oleh berbagai pihak. Antara lain, menciptakan lapangan kerja baru, menghidupkan pelaku usaha kecil dan menengah, mengenalkan produk dan makanan khas Banyuwangi ke pihak luar, serta menambah pendapatan asli daerah (PAD) dari hasil restribusi parkir kendaraan dan sewa stand. Dan, masih banyak lagi imbas keuntungan lain dari adanya pusat penjualan produk khas daerah ini. Termasuk, pemkab juga bisa mendirikan pusat informasi wisata di situ untuk mengenalkan potensi wisata yang ada di Banyuwangi ke pihak luar.

Selama saya bertugas di Banyuwangi sejak Januari 2010, saya belum menemukan adanya pusat penjualan produk khas Banyuwangi sebagaimana yang ada di beberapa daerah lain. Misalnya, beberapa sentra penjualan hasil agro dan holtikultura seperti yang ada di beberapa tepi jalan di Batu, Malang, Pandaan Pasuruan, Probolinggo, Solo, Jogja dan masih banyak lagi. Yang saya tahu di Banyuwangi hanya ada pusat kuliner ikan laut di Pantai Blimbingsari dan pusat penjualan hasil kerajinan perkakas rumah tangga dari bahan aluminium di Kalibaru.

Padahal, daerah ini sangat dikenal hasil agro dan holtikulturanya, mulai dari kopi, coklat, karet, manggis, jeruk, durian, kelapa, pisang, mangga, cabe, padi dan masih banyak lagi. Juga aneka hasil laut berupa aneka macam jenis ikan. Termasuk produksi kerajinan bambu di Desa Gintangan yang konon kabarnya sudah merambah pasar ekspor. Semua hasil bumi Banyuwangi itu bisa diversifikasi produk atau dimodifikasi dalam bentuk lain, juga produk kerajinannya, untuk dipasarkan.

Semakin banyak sentra-sentra penjualan produk lokal itu, tentu potensi pengembangan yang berimbas pada peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat akan semakin besar. Dengan demikian, geliat perekonomian di daerah ini akan lebih hidup. Dan, tentu kondisi seperti ini yang sangat kita inginkan bersama. Semoga tulisan ini bisa menginspirasi para pembuat kebijakan untuk mengangkat potensi yang ada di Banyuwangi. (cho@jawapos.co.id)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nyapu Bareng

Memacu Minat Baca Masyarakat

Demokrasi Uang